Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
merawat luka tuan Duke
Kembali di pos penjagaan, Emelia memaksa Duke untuk segera naik ke kamarnya. Dia mengabaikan protes Duke bahwa tabib militer bisa mengurusnya.
Di dalam kamar, di bawah cahaya lampu minyak yang terang, Emelia melihat luka itu. Itu hanya goresan yang dalam, bukan tusukan fatal, tetapi tetap saja mengeluarkan banyak darah dan terlihat menyakitkan.
"Duduk di sini!" perintah Emelia, menunjukkan kursi di dekat perapian. "Aku akan ambilkan air panas dan perban."
Duke duduk dengan kaku, mengamati Emelia yang bergerak cepat, sisi efisien Nyonya Adipati yang dipadukan dengan kecerdasan darurat seorang rekan misi.
"Emelia," panggil Duke, suaranya sedikit lebih lemah dari biasanya. Emelia berhenti di ambang pintu kamar mandi portabel.
"Tolong, obati lukanya."
Emelia menahan napas. "Tabib..."
"Aku tidak butuh tabib militer," potong Duke, pandangannya intens dan tulus. "Aku butuh kau. Tolong, Nyonya Adipati. Kurasku lukanya."
Kata 'kau' yang diucapkan dengan penekanan itu membuat hati Emelia menghangat di tengah kekhawatiran. Dia mengangguk, segera mengambil baskom berisi air, handuk bersih, dan perban.
Dengan tangan gemetar, Emelia mulai membersihkan luka di dada Duke. Kulitnya yang hangat dan berotot di bawah sentuhannya membuat pipi Emelia memerah, tetapi dia fokus pada tugasnya.
"Maafkan kecerobohan anak buahku," gumam Duke, menatap lurus ke matanya saat Emelia mengoleskan salep herbal.
"Bukan salahmu," balas Emelia lembut.
Saat Emelia selesai membalut lukanya, keheningan canggung namun sarat makna melingkupi mereka. Duke Gideon meraih tangan Emelia yang masih memegang perban.
"Terima kasih, Emelia," kata Duke, suaranya rendah dan penuh rasa terima kasih. Kali ini, tidak ada topeng bangsawan yang dingin, hanya kehangatan dan kerentanan seorang pria yang diselamatkan—dan dirawat—oleh istrinya.
Saat Emelia hendak menarik tangannya kembali setelah menyelesaikan balutan, Duke Gideon menahannya dengan lembut namun pasti. Keheningan di antara mereka terasa berat, penuh dengan emosi yang tidak terucapkan dan momen-momen yang telah mereka lalui bersama.
Cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip dan kehangatan dari perapian melukiskan suasana yang intim di dalam kamar pos penjagaan yang sederhana itu.
Duke tidak melepaskan tatapannya dari Emelia. Intensitas matanya yang abu-abu membuat Emelia kesulitan bernapas, jantungnya berdebar kencang melebihi saat penyergapan tadi.
"Gideon," bisik Emelia, menggunakan nama depan suaminya untuk pertama kalinya, sebuah keberanian baru yang muncul dari keintiman merawat lukanya.
Sebuah senyum tipis muncul di bibir Duke, senyum lembut yang penuh afeksi.
"Emelia," balas Duke, suaranya kini nyaris seperti bisikan. Dia perlahan menggerakkan tangannya yang bebas, menyentuh pipi Emelia dengan punggung jarinya. Sentuhan itu ringan, namun membakar kulit Emelia.
"Aku... aku senang kau baik-baik saja," kata Emelia, mencoba mengendalikan suaranya yang bergetar.
"Aku juga senang kau aman," jawab Duke, matanya melembut. "Kau tahu, Emelia... pernikahan kita dimulai dengan cara yang salah."
Emelia menatapnya, menahan napas, takut momen ini akan berlalu begitu saja.
"Aku melihatmu hanya sebagai kewajiban, jaminan hutang. Sesuatu yang pragmatis," lanjut Duke, kejujuran yang langka mengalir dari bibirnya. "Tapi kau bukan itu. Kau adalah keberanian, kecerdasan, dan... cahaya." Dia berhenti sejenak, mengumpulkan kata-kata yang sulit diucapkan oleh pria sedingin dia. "Kau membuat duniaku yang kelam dan penuh perhitungan ini menjadi... lebih hidup."
Air mata haru mulai menggenang di mata Emelia. Semua rasa sakit karena kata-kata Duke di masa lalu sirna oleh pengakuan tulus ini.
Duke Gideon semakin mendekat, mencondongkan tubuhnya dari kursi. "Malam itu, di kamar tidur di wilayah Baron, aku bertindak karena kepanikan dan kebodohanku sendiri. Aku takut dengan apa yang kurasakan saat melihatmu, Emelia. Takut dengan perasaan yang tidak bisa kukendalikan."
"Gideon..."
"Aku tidak ingin mempercepat apa pun, Nyonya Adipati," kata Duke, menatapnya dengan penuh harap. "Tapi aku ingin ini benar-benar menjadi kemitraan, dalam segala hal."
Dengan lembut, Duke Gideon menyatukan bibir mereka. Ciuman itu dimulai dengan ragu, sebuah pertanyaan, tetapi segera berubah menjadi jawaban yang penuh gairah. Tidak ada lagi paksaan, tidak ada lagi tugas. Hanya ada kehangatan, kelembutan, dan janji akan masa depan yang romantis di antara dua jiwa yang disatukan oleh intrik politik dan petualangan.
Saat ciuman itu mereda, mereka tetap berdekatan selama beberapa saat, menikmati kehangatan dan keheningan yang baru. Emosi yang meluap-luap membuat dunia di sekitar mereka seolah berhenti berputar. Duke menyandarkan dahinya ke dahi Emelia, napas mereka berbaur dalam keheningan kamar.
Beberapa menit kemudian, Duke Gideon menarik diri sedikit, meskipun tangannya masih memegang erat tangan Emelia dan tangan satunya di pinggang wanita itu. Wajahnya kembali menunjukkan ekspresi serius—kali ini bukan dingin, tapi penuh pertimbangan logistik yang khas.
"Emelia," kata Duke, suaranya tenang dan tegas. "Kita tinggal di sini selama lima hari lagi, ya."
Emelia menatapnya, bingung sejenak, tersentak dari momen romantis mereka kembali ke realitas misi yang belum sepenuhnya selesai. "Lima hari? Kenapa?"
Duke melepaskan pelukannya perlahan dan berjalan ke meja di mana peta-peta masih terhampar. Emelia mengikutinya, rasa romantisnya sedikit mereda digantikan oleh rasa ingin tahu taktis.
"Meskipun kita sudah menangkap Dargo dan Finn, jaringannya lebih luas dari yang kita duga," jelas Duke, menunjuk ke beberapa titik di peta perbatasan. "Interogasi awal mengungkapkan bahwa ada pemasok lain dan pembeli lain di kota ini. Mereka beroperasi secara terpisah dari Dargo, tapi kita curiga mereka terkait."
"Jadi, kita belum selesai?" tanya Emelia, sedikit kecewa karena harus menunda kepulangan mereka, tetapi juga bersemangat dengan prospek petualangan baru.
Duke Gideon menoleh ke Emelia, senyum tipis terukir di bibirnya. "Kita tidak bisa meninggalkan sarang ular ini hanya dengan memotong kepalanya, Nyonya Adipati. Kita harus membakar seluruh sarangnya."
Dia mengulurkan tangan lagi, kali ini bukan untuk sentuhan romantis, tapi isyarat kemitraan kerja. "Kau siap untuk lima hari lagi, rekan kerjaku?"
Emelia tersenyum, menerima tangan suaminya. Meskipun dia menantikan kenyamanan kastil utama mereka, dia juga menyadari bahwa di sinilah, di tengah kekacauan dan bahaya, ikatan mereka benar-benar berkembang.
"Tentu saja, Tuan Duke. Kita tim yang hebat, kan?"
Duke mengangguk setuju, dan malam itu, mereka kembali ke mode perencana strategis, meskipun ada kelembutan baru dan janji yang tak terucapkan di antara setiap diskusi tentang rute patroli dan target berikutnya.
Lima hari berikutnya berlalu dengan cepat, penuh dengan aktivitas intelijen dan operasi penangkapan kecil-kecilan. Emelia dan Duke bekerja bahu-membahu, sinergi mereka semakin kuat. Mereka menemukan bahwa jaringan penyelundupan itu memang rumit, melibatkan beberapa pedagang lokal dan bahkan seorang pejabat kota rendahan.
Emelia, dengan kemampuan sosialnya yang alami, berhasil mendapatkan informasi dari istri para pedagang yang tidak sadar, sementara Duke menggunakan taktik interogasi dan penyamaran untuk membongkar detail logistik. Setiap malam, mereka kembali ke pos penjagaan dengan kemenangan kecil, dan setiap malam, keheningan di antara mereka terasa semakin nyaman dan penuh makna.
Pada malam kelima, semua target telah diamankan. Pos penjagaan dipenuhi dengan tahanan, bukti-bukti, dan rasa puas akan tugas yang terselesaikan. Emelia dan Duke berdiri di ruang peta, menatap peta perbatasan yang kini dipenuhi tanda silang merah.
"Sarangnya sudah bersih," kata Duke, suaranya dipenuhi kepuasan.
Emelia tersenyum, menyandarkan kepalanya sebentar di bahu Duke. "Kita melakukannya, Gideon."
Duke menoleh, menatap Emelia dengan mata yang memancarkan kebanggaan dan sesuatu yang lebih dalam. "Ya, kita melakukannya. Sekarang, kita bisa kembali ke rumah."
Perjalanan kembali ke kastil utama terasa sangat berbeda dari perjalanan datang. Tidak ada lagi kecanggungan. Emelia dan Duke duduk bersebelahan di kereta kuda, bukan berhadapan. Mereka berdiskusi santai, tertawa, dan berbagi cerita dengan cara yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.
Saat mereka tiba di gerbang kastil, Emelia merasakan debaran di dadanya. Kali ini, bukan karena takut pada pernikahan tanpa cinta, tetapi karena harapan akan rumah baru dan masa depan bersama pria di sampingnya.
Duke Gideon meraih tangan Emelia sebelum mereka turun. "Petualangan kita mungkin selesai untuk saat ini, Nyonya Adipati," ujarnya, senyum tipis terukir di bibirnya, "tapi kemitraan kita baru saja dimulai."
Emelia tersenyum tulus. Dia tahu, di bawah atap kastil yang megah itu, atau di wilayah-wilayah lain yang membutuhkan bantuan mereka, kisah mereka akan terus berlanjut. Bukan lagi tentang hutang atau kewajiban, tapi tentang dua jiwa yang menemukan satu sama lain di tengah kekacauan, dan memilih untuk membangun masa depan bersama, satu petualangan penuh bahaya dan cinta dalam satu waktu.