Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Ulat Berantai
Angin siang berembus pelan, menggoyangkan dedaunan pohon besar yang menaungi mereka. Empat cowok itu kembali menunduk pada lembar latihan Bahasa Inggris yang tebal setelah jeda singkat.
“Siap sesi kedua,” gumam Gayus, mengetuk-ngetuk kertas dengan ujung pulpen. “Bahasa Inggris. Grammar.”
Asep menghela napas panjang, dramatis.
“Hidup udah susah, kenapa tenses masih dibikin ribet.”
Vicky terkekeh sambil menyandarkan tubuh. “Namanya juga hidup, Sep. Masa lalu, masa kini, masa depan, semuanya diuji.”
Raska tak menanggapi. Ia fokus pada soal, ekspresinya datar seperti biasa. Di sampingnya, Elvara duduk santai, satu tangan memegang buku, tangan lain merogoh keripik tanpa rasa bersalah.
Dari kejauhan, seseorang melangkah mendekat.
Asep yang pertama menyadari. Ia menyipitkan mata. “Eh… itu Bella ngapain ke sini?”
Vicky langsung menegakkan punggung, menoleh setengah malas. “Hmm. Dari cara jalannya? Percaya diri. Target jelas.”
Gayus seperti biasa, pura-pura membetulkan kacamata yang tidak ada di hidungnya. Matanya mengikuti buku yang dibawa Bella.
“Menurut analisis singkat, kemungkinan besar dia akan bergabung belajar. Tapi berdasarkan histori interaksi sosial… motif utamanya kemungkinan besar adalah Raska.”
Raska mengangkat wajahnya. Alisnya langsung berkerut tipis. Rasa tak suka jelas, tanpa perlu kata.
Elvara melirik sekilas, lalu—
Krauk.
Keripiknya berbunyi nyaring. Ekspresinya tetap datar, seolah dunia boleh ribut asal cemilannya aman.
Bella berhenti tepat di depan mereka. Senyumnya lebar, percaya diri.
“Gue gabung belajar, ya.”
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menurunkan tubuh, hendak duduk di antara Raska dan Elvara.
Tiga pasang mata cowok itu langsung menegang.
Asep mengepalkan tangan. "Ini anak pengen ditimpuk pakai sepatu, sumpah."
Vicky menarik napas dalam, senyum tipis tapi rahangnya mengeras. “Berani juga dia.”
Gayus mengamati dengan wajah serius. “Situasi ini berpotensi mengganggu stabilitas kelompok.”
Namun sebelum Bella benar-benar duduk—
Raska bergerak. Tenang. Cepat. Tanpa suara. Ia bergeser ke samping, duduk lebih dekat ke Elvara. Terlalu dekat. Bahu mereka bersinggungan.
Trio komentator langsung membelalakkan mata.
Asep nyaris keselek ludah sendiri. "Buset—"
Vicky menutup mulut, menahan senyum. "Ini pangeran es apa lagi error sistem?"
Gayus menatap adegan itu dengan serius. “Fenomena menarik.”
Elvara melirik Raska dari sudut mata. Alisnya naik sedikit. Hanya sedikit, lalu ia kembali ke keripiknya.
Krauk.
Tenang. Santai. Cuek level dewa.
Bella terdiam sepersekian detik. "Sial."
Umpatan itu menggema di kepalanya. Senyum percaya diri yang tadi sempat terangkat kini membeku setengah jalan. Rahangnya menegang. Satu tangannya mengepal tanpa sadar, sementara tangan lainnya mencengkeram buku terlalu erat, sampai ujung-ujung jarinya memutih.
Posisi yang ia incar… sudah lenyap.
Dengan terpaksa, Bella melangkah dan duduk di sisi lain Raska. Namun rasa kesal itu belum sempat reda ketika Raska, tanpa menoleh dan tanpa ekspresi, meletakkan buku miliknya, lalu buku Elvara dan Gayus, di sela mereka. Sebuah barikade rapi. Jelas. Sengaja.
Jarak di antara mereka kini bukan sekadar ruang kosong, melainkan batas yang kasatmata.
"Serius?"
Bella menahan napas, dadanya naik turun. Matanya melirik sekilas, lalu kembali lurus ke depan.
"Dia… lebih milih duduk nempel sama karung beras daripada sama aku?"
Amarah dan rasa tak terima berdesakan di dadanya. Selama ini, tak ada yang berani menempatkannya di posisi kedua. Apalagi oleh gadis yang, menurut standar Bella, bahkan tak layak masuk persaingan.
Raska tetap datar. Tak menoleh. Tak membuka percakapan. Tak memberi celah sedikit pun. Seolah keberadaan Bella tak pernah ada sejak awal.
Asep akhirnya menyeringai puas. “Belajar lanjut, ya. Grammar.”
Vicky terkekeh kecil. “Welcome to the cold zone.”
Gayus menunduk ke bukunya lagi. “Secara sosial, ini disebut penolakan halus tapi mematikan.”
Di bawah pohon rindang itu, satu hal jadi makin jelas bagi trio komentator:
Raska mungkin dingin dan sulit didekati, tapi ketika harus memilih posisi, ia tak pernah salah duduk.
Asep menghela napas berat sambil menatap lembar latihan. “Present tense… past tense… future tense…”
Ia mendongak, frustrasi.
“Hidup gue kayak tense yang salah semua.”
Raska baru saja hendak menyuruhnya fokus ketika—
PLOK!
Sesuatu jatuh tepat di tengah buku Asep.
Seekor ulat gemuk. Menggeliat pelan. Hidup.
Asep membeku. Wajahnya memucat satu tingkat.
“Bro…” suaranya gemetar. “Bro… bro…” Ia menelan ludah.
“WHAT. IS. THIS?”
Dalam sepersekian detik, ketenangan pecah total.
“AAAH!”
Asep reflek melempar bukunya begitu saja.
Ulat itu terbang, pelan, dramatis, seperti slow motion film horor murahan—
PLOK!
Mendarat sempurna di buku Vicky.
Vicky yang sedari tadi sok cool langsung kehilangan wibawa. “WHAT THE FU—FROG IS THAT?!”
Ia menjerit dengan aksen Inggris kacau.
“GET IT OFF! GET IT OFF!”
Tangannya menepuk-nepuk buku tanpa arah, lalu mengibaskannya keras.
Ulat itu kembali terlempar.
PLOK.
Kali ini, tepat di paha Gayus.
Gayus menunduk. Menatap. Otaknya blank.
“Oh my Godness—” Ia menarik napas tajam.
“—my godNESS. MY GOD NEST!”
Ia melonjak panik, menendang lututnya sendiri, dan dengan gerakan refleks yang sama sekali tidak ilmiah, ulat itu kembali terbang.
Dan…
PLOK!
Mendarat manis di dada Bella.
“Akhh! Ulat! Ulat!”
Bella menjerit, meloncat mundur sambil mengibaskan seragamnya dengan histeris, wajahnya pucat antara jijik dan panik.
Ulat itu jatuh lagi.
Dan kali ini, tanpa ampun, tanpa salah sasaran—
PLOK.
Tepat di atas kertas tugas Raska.
Semua membeku. Udara mendadak senyap. Lima pasang mata menatap ulat itu.
Lalu, perlahan menatap Raska.
Raska menunduk. Wajahnya tetap datar. Tangannya menegang.
Trio komentator dan Bella membeku.
Raska mengangkat wajah perlahan, ekspresi gelap seperti habis disiram kegelian dan kekesalan sekaligus.
“...Serius?” suaranya berat.
Tapi sebelum Raska sempat gerak atau marah—
Tangan Elvara muncul dari samping. Dengan sangat santai, ia mengambil ulat itu memakai tisu. Gerakannya tenang, rapi, tanpa ekspresi.
Trio komentator sampai mendongak seperti melihat malaikat turun dari langit.
Elvara berdiri, berjalan pelan ke tong sampah, lalu menjatuhkan ulat itu.
Ia kembali ke tempat duduknya dan membuka buku, wajah datar seperti biasa.
“Kalian heboh kayak… ayam disiram air panas,” ucapnya tenang.
Asep memegang dada seperti abis lari marathon. “Gue… hampir mati, Vara.”
Vicky mengusap muka. “Ulat itu… melanggar privasi gue.”
Gayus mendesah panjang. “Secara ilmiah, reaksi gue tadi… tidak ilmiah.”
Raska menatap Elvara lama.
“…Cuma ulat.”
Elvara menyalakan pulpen. “Iya. Cuma ulat.”
Lalu ia menatap Bella dan tiga komentator itu bergantian.
“Kalian lebih ribut daripada ulatnya.”
Empat cowok itu langsung terdiam seperti kena setrum.
Bersamaan, mereka cuma bisa berkata dalam hati:
“Ini manusia apa tank?”
Bella berdiri kaku di tempatnya.
Wajahnya pucat setengah detik sebelum berubah merah padam, bukan karena takut, tapi karena malu dan harga diri yang tercabik.
Tangannya masih gemetar, napasnya belum stabil.
Ia menatap Elvara yang sudah duduk kembali dengan tenang, lalu ke tong sampah, lalu ke Raska.
Raska bahkan tidak menoleh ke arahnya. Tidak panik. Tidak khawatir. Tidak peduli. Pandangan Raska masih tertambat pada Elvara. Singkat, tapi jelas.
Dan itu cukup.
Bella mengepalkan tangannya di balik rok.
"Jadi… bahkan di situasi kayak gini pun… aku tetap bukan pilihan."
Ia duduk perlahan, mencoba mengembalikan wibawa, tapi pundaknya kaku. Tidak ada lagi senyum percaya diri. Tidak ada lagi aura ratu sekolah.
Yang tersisa hanya diam, dan rasa kalah yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Di bawah pohon rindang itu, satu hal menjadi sangat jelas bagi semua orang:
Elvara tidak bersaing. Tidak menyerang. Tidak merebut.
Ia hanya ada.
Dan entah kenapa, itu mematikan daripada apa pun.
Dan belajar pun berlanjut… dalam diam yang penuh rasa malu. Dalam gengsi yang runtuh. Dan dalam kekaguman yang tak terucap.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Sepertinya tidak diterima belajar bersama secara halus Rasa malunya tipis - kebanyakan rasa iri terhadap Elvara. Maunya mendekati Raska, Raska tak bergeming sedikitpun.
Bisa-bisanya ikut gabung belajar bersama lima temannya yang jelas tak menyukai dirinya.
tatapan mata Raska ke Elvara sangatlah berbeda😍
ngapain sih si Bella, jadi pengganggu aja. kehadirannya udah di tolak masih aja nekat duduk, ga tau malu dia
apapun kapanpun Lo bukan pilihan..
udah cabut sana,malu maluin aja
haddoooooh sakit perut ku ketawa kk Thor 🤣🤣🤣🤣🤣🤣
nyungsep deh si Raska ke dasar jurang
kena batang idung sendiri kan.. 🤷🏻♀️🤷🏻♀️🤷🏻♀️🤷🏻♀️🤷🏻♀️