Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Pemilihan Tempat Duduk.
Suasana kelas TK A1 pagi itu seperti pesta kecil yang baru saja dimulai—dinding berwarna pastel peach lembut memantulkan cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar berbentuk lonceng, membuat ruangan tampak hangat dan hidup seperti taman bunga yang mekar. Sinar matahari membentuk pola-pola cahaya di lantai kayu yang licin, seolah bintang-bintang kecil yang turun ke bumi. Meja-meja kecil berbentuk setengah lingkaran tersusun rapi, permukaannya dihiasi gambar bunga dan hewan lucu, sedangkan kursi warna-warni—merah, biru, kuning, hijau—berjajar rapi seperti undangan untuk petualangan sehari penuh yang menanti.
Begitu semua anak masuk melalui pintu kayu yang bergeser dengan suara “slorrrp…”, suara tap-tap-tap langkah kaki kecil memenuhi ruangan, bercampur dengan bisikan-bisikan halus, tawa yang ceria, dan rasa gugup yang khas hari pertama sekolah. Beberapa anak memegang tas dengan kuat, beberapa lagi melihat sekeliling dengan mata yang bersinar penuh rasa penasaran. Udara di kelas terasa segar dan berbau lilin wangi yang disemprotkan oleh guru, membuat semua orang merasa nyaman.
Guru baru mereka, Miss Ayu—wanita muda ramah dengan rambut kecoklatan bergelombang yang diikat setengah dengan ikat rambut berbentuk bunga mawar—bertepuk tangan dengan lembut, “thap… thap… thap…”. Senyum lebar terlihat di wajahnya, membuat matanya yang berwarna coklat muda terlihat lebih cerah. Dia berdiri di depan papan tulis yang bersih, tangan memegang tongkat hitam yang tipis.
“Baik, anak-anak! Semua sudah masuk ya? Silakan pilih tempat duduk kalian sendiri! Ingat ya, yang rapi dan sopan—jangan berebut ya!” panggilnya dengan suara yang ceria dan penuh kasih, suaranya terdengar seolah musik yang indah.
“YAAAA!!” seru Haken paling keras di antara semua anak—“dekel…—suaranya bergema sedikit di ruangan, membuat beberapa anak melompat kaget. Dia berdiri dengan tegak, rambut ikal ungu gradasi merah nya terlihat lebih rapi hari ini, mata kuning nya menyala dengan semangat.
Remi yang berdiri di sebelah Haken terkejut sampai bahunya naik mendadak—“thump…—dia memegang dada dengan tangan kecilnya, mata hijau muda nya membelalak. “A-ah! Kaget aku, Haken!” bisiknya dengan suara pelan.
Matsu yang berdampingan dengan Remi langsung menutup telinga dengan kedua tangan, matanya menyipit karena suara Haken yang terlalu kencang. “HAKEN!! Kupingku pusing banget!! Jangan berisik gitu dong!” katanya dengan suara yang sedikit marah tapi lucu, menatap Haken dengan ekspresi kesal.
Haken malah tertawa keras—“hahaha… HAHAHA…—badan nya bergoyang-goyang karena tawa. “Maaf, maaf! Aku cuma senang banget bisa pilih tempat duduk sendiri!” dia berkata sambil mengusap air mata yang keluar karena tertawa terlalu keras.
Catalina yang berdiri di sudut ruangan menyipitkan mata, bibirnya melengkung naik membentuk senyum licik yang khas. “Senyum licik mode ON!” pikirnya dengan bangga, pipinya sedikit memerah karena kegembiraan. Rambut putih-pink gradasinya berkilau terkena cahaya matahari yang masuk jendela, membuatnya terlihat seperti awan muda yang menyala. Dia melirik ke pojok ruangan, di mana Shinn sudah duduk sendirian—dia duduk dengan posisi yang rapi banget, badan lurus, tangan dilipat rapi di atas meja, tatapan mata merah tajam nya lurus ke papan tulis tanpa melihat siapa pun. Wajahnya tetap tenang dan dingin, seolah dia ada di dunia sendiri.
“Ahhh… suki…,” Catalina menjerit dalam hati, pipinya memerah semakin parah sampai mirip buah ceri. Dia merasa jantungnya berdebar-debar cepat, seolah mau melompat keluar dari dada. Dia selalu merasa terpesona dengan kesantai dan keanggunan Shinn, bahkan saat dia hanya berdiri atau duduk.
Dengan langkah percaya diri—“tap… tap… tap…—ia berjalan menuju Shinn seperti kucing yang sudah menemukan tempat tidurnya yang paling nyaman. Setiap langkahnya terasa ringan, tapi dia berusaha menyembunyikan kegembiraan yang meluap. Saat dia mendekat, Shinn menoleh sedikit… hanya sedikit… rahangnya tidak bergerak, tapi mata nya sedikit menyamping untuk melihat Catalina.
Tatapannya datar. Dingin. Misterius. Seolah dia tidak peduli siapa yang akan duduk di sebelahnya, tapi juga seolah dia sudah menunggu Catalina.
Catalina langsung meletakkan tas kecilnya yang berwarna pink dengan gambar bunga mawar di kursi sebelah Shinn, “thump…—suaranya lembut sehingga tidak mengganggu. Dia berdiri di depan kursi, menatap Shinn dengan senyum cerah yang tidak pernah pudar.
“Shinn~ aku duduk di sini ya! Boleh kan?” katanya dengan suara yang cerah dan sedikit manis, seolah meminta izin meskipun dia sudah meletakkan tasnya.
Shinn berkedip sekali—hanya sekali—mata nya kembali menatap papan tulis. “…Terserah.” jawabnya dengan suara yang tenang dan sedikit mendalam, suaranya terdengar seolah angin malam yang lembut.
Catalina langsung meleleh dalam hati—“KYAAAAAAAAAAAAAAA!!! Dia cool banget!! Bahkan jawabannya aja bikin gemas!!” pikirnya, menahan teriakan yang hampir keluar dari mulut. Dia duduk dengan cepat, tubuhnya sedikit mendekat ke Shinn tapi tidak terlalu dekat, tangan nya diletakkan di atas meja dengan rapi. Dia menatap Shinn dari sudut mata, pipinya masih memerah, dan merasa bahagia seperti berada di surga.
Kasemi berdiri tidak jauh dari Mayuri, menatapnya dengan senyum lembut yang selalu ada di wajahnya. Rambutnya yang hitam panjang yang diikat dengan ikat rambut putih terlihat rapi, mata ungu gelap nya terlihat penuh kasih. Dia ingin mendekat tapi takut membuat Mayuri marah.
“Hm, Mayuri? Mau duduk bareng aku? Kursinya di sini nyaman loh.” tanyanya dengan suara halus yang bikin siapa pun merasa nyaman, suaranya terdengar seolah embun yang lembut.
Wajah Mayuri yang sudah sedikit merah langsung memerah seperti tomat matang—bahkan telinganya juga merah. Dia memalingkan wajah cepat-cepat, rambut panjang putih yang dikuncir dua nya melayang di udara. “A-apaan sih! B-bukan mau duduk sama kamu! Aku cuma… ya… terserah di mana aja… yang penting tidak terlalu ramai!” katanya dengan suara yang kencang tapi penuh malu, tubuhnya sedikit membungkuk.
Tapi kakinya… otomatis melangkah ke kursi di sebelah Kasemi, langkahnya lambat dan ragu-ragu tapi pasti. Dia berdiri di depan kursi, masih memalingkan wajah, tidak berani melihat Kasemi.
Kasemi hanya tersenyum kecil, wajahnya penuh kebahagiaan. Dia menarik kursinya sedikit mendekat ke Mayuri, “krek…—suaranya lembut. “Baiklah, kalau begitu kita duduk sini ya. Jangan khawatir, aku tidak akan ganggu kamu.”
Mayuri melihat itu dari sudut mata, blush-nya tambah parah sampai wajahnya terlihat menyala. Dia menoleh tajam ke arah Kasemi, tapi matanya tidak berani menatap mata nya. “H-hei!! Jangan dekat-dekat gitu!! Aku cuma duduk di sini karena kursinya nyaman dan tidak ada kursi lain!! Bukan karena mau duduk sama kamu!!” teriaknya dengan suara yang sedikit kecil, menutupi wajah dengan kedua tangan.
Kasemi mengangguk santai, senyumnya masih ada. “Iya, iya~ aku percaya kok, Mayuri. Tenang saja.”
Mayuri menutup wajah lebih erat, mengerutkan alis. “Aaaaaaa jangan baik-baik banget gitu!! Bikin aku bingung!!” bisiknya dengan suara yang bergetar, tapi terdengar sangat lucu.
Remi yang sudah melepaskan Haken mengintip Yoru seperti anak kucing pemalu—dia berdiri sedikit jauh, tangan memainkan jari telunjuknya satu sama lain, tubuhnya sedikit gemetar. Yoru berdiri dengan tenang, rambut hitam pendek nya terlihat rapi, mata kiri kuning cerah dan mata kanan biru tua nya terlihat datar seperti biasa. Dia sedang melihat sekeliling ruangan, seolah mencari tempat duduk yang cocok.
“Y… Yoru…” panggil Remi dengan suara yang sangat pelan, hampir tidak terdengar. Dia mengangkat kepala sedikit, mata hijau muda nya menatap Yoru dengan harapan. “Mmm… boleh aku duduk di… sampingmu? Kalau kamu tidak keberatan ya…”
Yoru mengangkat alis sebentar, seolah kaget ditinggali Remi. Lalu dia mengangguk kecil, matanya terlihat sedikit lembut. “Tentu saja, Remi. Silakan.” jawabnya dengan suara yang tenang tapi penuh keyakinan.
Remi langsung memasuki “sparkling mode”—mata nya menyala dengan cahaya yang terang, senyum lebar muncul di wajahnya sampai menimbulkan kerut di sudut mata. “Benarkah!? T-terima kasih banyak, Yoru!! Kamu baik banget!!” serunya dengan suara yang ceria, langkahnya cepat menuju kursi di sebelah Yoru.
Yoru yang biasanya datar sedikit tersenyum—senyum kecil yang hanya terlihat di sudut bibirnya. Dia menarik kursi untuk Remi, membuat Remi semakin bahagia. “Sama-sama. Kita temen kan?” jawabnya dengan suara yang lebih lembut.
Asuna berdiri di sudut ruangan yang paling tenang, tubuhnya sedikit membungkuk, tangan memegang tasnya dengan kuat sampai jari-jari nya memerah. Rambut pendek pink emas nya terlihat lucu, mata aqua nya terlihat cemas dan takut. Dia adalah orang yang paling pemalu di antara semua anak, dan dia takut memilih tempat duduk sendiri karena takut tidak ada yang mau duduk dengan dia.
Dheon yang berdiri tidak jauh dari Asuna berjalan mendekati nya dengan langkah pelan—“tap… tap…—dia tersenyum tenang, rambut hijau jade mengkilap nya terlihat lebih cantik terkena cahaya matahari. Mata hijau jade nya yang paling kalem terlihat penuh kasih, seolah memahami perasaan Asuna.
“Asuna, boleh aku duduk di sini sama kamu? Kalau kamu tidak keberatan ya.” tanyanya dengan suara yang lembut dan tenang, suaranya terdengar seolah bisa menenangkan semua kekacauan.
Asuna langsung freeze—seluruh tubuhnya kaku seperti patung es yang dilempar ke kulkas. Dia tidak bisa bergerak sama sekali, mulutnya sedikit terbuka tapi tidak bisa mengeluarkan suara. Setelah beberapa detik, dia baru bisa mengeluarkan kata-kata yang bergetar: “U-um… a-a-a… te-tentu… s-silakan… k-kamu mau duduk di mana saja…”
Dheon duduk di kursi sebelah Asuna dengan lembut, “krek…—dia melihat Asuna yang masih kaku dengan senyum lembut. “Kamu nggak usah gugup banget ya, Asuna. Aku nggak gigit kok—bahkan aku juga suka diam-diam. Kita bisa diam-diam bersama saja.” katanya dengan suara yang penuh kasih, membuat Asuna merasa lebih tenang.
Asuna makin kejang—tubuhnya sedikit gemetar, pipinya memerah samar. “A-a-a-a… t-terima kasih… Dheon…” bisiknya dengan suara yang sangat pelan, tidak berani melihat Dheon.
Haken yang sudah selesai tertawa langsung melompat ke kursi sebelah Matsu—“thump…—badan nya mendarat dengan keras, membuat meja sedikit bergoyang. Dia tersenyum lebar, mata kuning nya menyala dengan semangat.
“MATSU!! Aku duduk di sini ya!! Kita bisa main bareng pas istirahat!!” serunya dengan suara yang kencang, menggedor meja dengan tangan besarnya—“DUM!!”
Matsu melompat kaget, tubuhnya terbangun sedikit dari kursi. “Haken!! Jangan ribut gitu!! Guru lihat tuh!! Nanti kita di marahi!!” teriaknya dengan suara yang marah tapi lucu, menutup telinga lagi karena suara menggedor meja yang terlalu keras.
Haken menyeringai dengan penuh kebanggaan, memegang dagu nya. “Biarin aja! Yang penting seru! Kita bisa main lari-lari atau lempar bola di istrahat nanti!!”
Matsu menghela napas panjang—“fuuuhh…—ekspresi wajahnya terlihat frustasi tapi juga lucu. “Ya ampun… kenapa aku harus duduk sama kamu ya…” bisiknya dengan suara pelan, tapi dia tidak benar-benar marah.
Kurumi berdiri bingung di tengah ruangan, memegang tasnya dengan kedua tangan erat. Mata kirinya yang seperti berlian hijau memantulkan cahaya matahari, membuatnya terlihat mencolok. Dia merasa takut duduk sendirian, tapi juga takut mendekati teman-teman karena takut mereka akan melihat mata nya dan merasa jijik.
“Um… aku duduk di mana ya… semua kursi sudah ada yang mau…” bisiknya dengan suara yang bergetar, menundukkan kepala sehingga rambut abu abu panjang lembut nya menutupi wajahnya.
Rintaro yang sedang mencari tempat duduk melihat Kurumi yang bingung. Dia langsung mendekat dengan langkah cepat—“tap-tap-tap…—tersenyum ramah dengan mata biru cerahnya yang menyala. Dia menggenggam tangan Kurumi dengan lembut, jari-jari nya menepuk tangan mungil Kurumi untuk menenangkannya.
“Kurumi! Jangan bingung! Duduk sama aku aja! Kursi di sebelah aku masih kosong!” katanya dengan suara yang ceria dan penuh semangat. Dia menarik Kurumi dengan lembut ke arah kursi yang ada di dekat jendela.
Kurumi terkejut—tubuhnya tersentak kecil, mata kanan coklat muda nya membelalak. “H-hah! A-aku boleh?” bisiknya dengan suara yang bergetar, tidak percaya bahwa Rintaro mau duduk dengan dia.
Rintaro mengangguk cepat, senyumnya semakin lebar. “Ya dong! Kamu temen ku kan? Ayo, mari duduk! Dari sini kita bisa lihat taman sekolah yang cantik!” dia berkata, menarik Kurumi sampai mereka sampai di kursi.
Kurumi menunduk, pipinya memerah samar. “Ba… baik… terima kasih, Rintaro…” bisiknya dengan suara tulus, merasa lega dan bahagia karena ada yang mau duduk dengan dia.
Setelah semua anak menemukan tempat duduknya, Miss Ayu melihat mereka dengan senyum lega. Dia bertepuk tangan lagi—“thap… thap… thap…—suaranya menarik perhatian semua anak.
“Wah! Hebat banget anak-anak! Semua sudah menemukan teman tempat duduk kalian dengan baik! Hari pertama yang bagus banget ya! Sekarang, mari kita mulai hari ini dengan menyanyi lagu hari baru ya!” panggilnya dengan suara yang ceria, memulai menyanyi lagu yang meriah.
Anak-anak serentak menjawab, “YAAAAAA!!” dengan semangat, mulai menyanyi bersama Miss Ayu. Suara menyanyi mereka yang ceria memenuhi ruangan, membuat suasana semakin hangat dan meriah.
Tapi di antara keramaian itu: Catalina cuma memandangi Shinn dengan pipi merah, matanya penuh kegembiraan; Mayuri melirik Kasemi sambil cepat-cepat memalingkan wajah, pipinya masih merah merona; Asuna masih gemetar sedikit tapi sudah lebih tenang dengan kehadiran Dheon; Haken masih ngocol dan bercanda dengan Matsu; Matsu frustasi tapi tetap tersenyum; Remi bersinar kayak malaikat kecil sambil mendekati Yoru; Yoru tenang tapi mata nya terlihat gemas; Kurumi malu-malu tapi senyum di wajahnya; Rintaro bangga bisa membantu Kurumi; dan Dheon santai sambil melihat sekeliling ruangan.
—dan hari pertama TK mereka pun dimulai dengan kekacauan manis yang penuh kasih dan persahabatan.