NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 35: KETIKA PENYESALAN DATANG TERLAMBAT**

# **

Malam kedua di rumah sakit. Alara sudah tidur—napasnya lebih teratur, wajah sedikit lebih berwarna setelah dua hari infus nutrisi dan obat. Tapi masih lemah. Masih rapuh.

Nathan duduk di kursi yang sama—kursi yang tidak ia tinggalkan sejak Alara masuk. Ia belum mandi, belum ganti baju, belum makan proper—hanya terima makanan yang dibawakan sekretarisnya dan makan asal-asalan.

Karena ia tidak mau—tidak sanggup—meninggalkan Alara. Bahkan untuk sebentar.

Tangannya tidak pernah lepas dari tangan Alara—genggaman yang lembut tapi konstan. Seolah dengan menggenggam, ia bisa memastikan Alara tidak pergi. Tidak hilang.

Jam menunjuk pukul 2 dini hari. Rumah sakit sunyi—hanya terdengar bunyi monitor jantung yang ber-beep teratur, bunyi langkah perawat yang sesekali lewat di koridor, dan napas Alara yang pelan.

Nathan menatap wajah Alara yang tidur—wajah yang damai tapi terlihat sangat lelah. Lingkaran hitam di bawah mata belum hilang. Pipi yang semakin tirus. Bibir yang kering walau sudah diberi pelembab.

Dan sesuatu di dada Nathan... remuk.

*Ini salahku. Semua ini salahku.*

Air matanya—yang sudah berkali-kali jatuh dua hari terakhir—jatuh lagi. Kali ini lebih deras. Isak yang tertahan akhirnya pecah—isak yang dalam, yang penuh penyesalan yang menghancurkan.

"Maafkan aku," bisiknya—suara yang bergetar hebat di keheningan ruangan. "Maafkan aku, Alara..."

Ia menunduk—dahi menyentuh tangan Alara yang ia genggam—menangis dengan isak yang tidak bisa ia tahan lagi.

"Aku... aku brengsek," isaknya. "Aku punya kamu—kamu yang sempurna, yang nggak pernah menyerah, yang bertahan walau aku terus sakitin kamu—tapi aku masih... aku masih terjebak di masa lalu. Aku masih takut. Aku masih membandingkan."

Setiap kata keluar di antara isak yang dalam.

"Dan kamu... kamu hancur karena aku. Kamu sakit karena aku. Kamu..." Suaranya putus—terlalu sesak untuk melanjutkan.

Ia menangis lebih keras—menangis dengan cara yang tidak pernah ia lakukan sejak ayahnya meninggal. Menangis dengan cara yang sangat jarang dilakukan pria—menangis karena menyesal, karena takut kehilangan, karena sadar bahwa ia hampir merusak hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya.

"Aku mencintaimu," bisiknya di antara tangis. "Aku sangat mencintaimu. Lebih dari yang aku pikir mungkin. Lebih dari yang pernah aku rasakan untuk siapa pun—bahkan untuk Kiara."

Pengakuan itu keluar—jujur, menyakitkan untuk diakui, tapi nyata.

"Kiara adalah cinta pertama. Tapi kamu... kamu adalah cinta terakhir. Cinta yang seharusnya. Cinta yang aku butuhkan." Nathan mengangkat wajahnya—menatap wajah Alara yang masih tidur dengan mata yang merah dan basah. "Dan aku bodoh—aku sangat bodoh—karena baru sadar sekarang. Setelah hampir kehilangan kamu."

Ia mengusap pipi Alara dengan ibu jari yang gemetar—sentuhan yang sangat lembut, yang penuh kasih sayang.

"Kumohon bangun," bisiknya. "Kumohon buka mata dan... dan marah sama aku. Teriak ke aku. Tampar aku. Apa pun. Asal kamu... asal kamu nggak ninggalin aku."

Tangan Alara bergerak sedikit—refleks dalam tidur. Tapi cukup untuk membuat jantung Nathan berdegup lebih keras.

"Aku janji," lanjut Nathan—suara yang lebih stabil walau masih bergetar. "Aku janji akan lepas dari masa lalu. Aku akan hapus semua foto Kiara. Aku akan blokir nomornya. Aku akan... aku akan lakukan apa pun yang kamu mau. Asal kamu bertahan. Asal kamu nggak pergi."

Ia mencium tangan Alara—ciuman yang lama, yang basah oleh air mata.

"Maafkan aku... kumohon jangan tinggalkan aku."

Kata-kata itu keluar—putus asa, hancur, penuh dengan ketakutan yang paling dalam.

Ketakutan kehilangan.

Ketakutan sendirian.

Ketakutan bahwa ia sudah terlambat—terlambat untuk memperbaiki, terlambat untuk berubah, terlambat untuk menunjukkan pada Alara betapa ia dicintai.

Nathan merebahkan kepalanya di tepi tempat tidur—masih menggenggam tangan Alara—dan menangis sampai matanya perih, sampai suaranya serak, sampai tidak ada air mata lagi.

Dan di tengah tangisannya, ia tidak sadar—mata Alara perlahan terbuka. Sedikit. Berat. Tapi terbuka.

Alara mendengar semuanya.

Mendengar setiap kata. Setiap isak. Setiap penyesalan.

Air matanya jatuh—mengalir ke samping wajahnya—karena mendengar Nathan—Nathan yang selalu kuat, yang selalu tegar—hancur seperti ini.

Tangannya—yang masih lemah—bergerak. Menyentuh rambut Nathan yang tertunduk dengan lembut.

Nathan tersentak—mengangkat wajah dengan cepat. Dan melihat—melihat mata Alara yang terbuka, yang menatapnya dengan tatapan yang... lembut walau penuh air mata.

"Alara..." bisiknya—suara yang hampir tidak terdengar karena shock.

"Aku dengar," bisik Alara—suara yang sangat lemah, sangat serak. "Aku dengar semuanya."

Nathan membeku—tidak tahu harus bilang apa. Takut bahwa apa yang baru saja ia katakan—yang keluar dari hati paling dalam—akan membuat Alara lebih terluka.

"Maafkan aku," bisik Nathan lagi—reflex. "Aku nggak bermaksud bikin kamu terjaga—"

"Nathan," Alara memotong—tangannya yang lemah menyentuh pipi Nathan yang basah. "Berhenti minta maaf."

Nathan menatapnya dengan pandangan tidak mengerti.

"Aku lelah mendengar kamu minta maaf," lanjut Alara—suara yang bergetar tapi jelas. "Aku nggak butuh maaf. Aku butuh kamu... kamu berubah. Beneran berubah."

"Aku akan berubah. Aku janji—"

"Jangan janji," bisik Alara sambil menggeleng lemah. "Buktikan."

Nathan menatapnya—menatap dengan tatapan yang penuh tekad. "Aku akan buktikan. Setiap hari. Sampai kamu percaya. Sampai kamu... sampai kamu bisa cinta aku lagi tanpa takut disakiti."

Alara tersenyum—senyum yang gemetar, yang lemah, tapi tulus. "Aku nggak pernah berhenti cinta kamu, Nathan. Walau sakit. Walau lelah. Aku nggak pernah berhenti."

Kata-kata itu membuat Nathan menangis lagi—tapi kali ini air mata lega. Air mata berterima kasih.

Ia mencium dahi Alara—ciuman yang lama, yang penuh perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Aku cinta kamu," bisiknya di dahi Alara. "Aku sangat cinta kamu. Dan aku nggak akan biarkan kamu ragu lagi. Nggak akan."

Alara menutup mata—merasakan kehangatan ciuman Nathan, merasakan genggaman tangan Nathan yang tidak pernah lepas, merasakan... harapan.

Harapan bahwa mungkin—mungkin—mereka bisa memperbaiki yang rusak.

Harapan bahwa cinta mereka—cinta yang terluka tapi tidak mati—bisa sembuh.

"Aku juga cinta kamu," bisik Alara sebelum tidur lagi—kali ini tidur yang tenang, yang damai, karena ia tidak sendirian lagi.

Nathan duduk di sana—menggenggam tangan Alara—dengan senyum kecil di wajah yang lelah. Mata yang masih merah, tapi ada cahaya di sana.

Cahaya harapan.

Cahaya tekad untuk menjadi lebih baik.

Cahaya cinta yang akhirnya—akhirnya—ia berani akui sepenuhnya.

Tapi mereka berdua tidak tahu—tidak bisa tahu—bahwa di luar sana, Kiara belum menyerah.

Bahwa rencana terakhirnya sudah bergerak.

Dan ketika rencana itu mencapai klimaks, Nathan dan Alara akan menghadapi ujian terbesar dalam hubungan mereka.

Ujian yang akan menentukan—apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan.

Atau apakah trauma masa lalu akan menang pada akhirnya.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 36]**

---

**CATATAN:**

Bab ini fokus pada momen penyesalan mendalam Nathan—momen di mana ia benar-benar menyadari bahwa ketakutannya hampir merenggut hal terpenting dalam hidupnya. Emosi yang dibangun adalah: penyesalan yang menghancurkan, ketakutan kehilangan, dan akhirnya—cahaya harapan ketika Alara memberi kesempatan.

Ini adalah turning point dalam karakter Nathan—dari pria yang masih terjebak trauma, menjadi pria yang siap melawan trauma itu demi cinta.

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!