NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa Tidak Aman

Jam dinding di ruang tunggu berdetak pelan, terlalu pelan, seolah waktu sengaja melambat untuk menguji kesabaran. Bau antiseptik menusuk hidung Feni, bercampur dengan aroma kopi pahit dan kain rumah sakit yang lembap. Semua terasa asing. Semua terasa menekan.

Feni duduk memeluk lututnya, pandangannya kosong menatap lantai. Sejak beberapa menit lalu, dadanya terasa sesak tanpa alasan yang jelas. Ia mengusap lengannya sendiri, berusaha menenangkan getar halus yang tak mau pergi.

Lalu perasaan itu datang lagi.

Seperti ada yang memperhatikannya.

Feni mengangkat kepala perlahan. Matanya menyisir ruang tunggu—beberapa orang duduk diam, seorang perawat berjalan cepat mendorong troli, seorang pria paruh baya berdiri di dekat jendela sambil memainkan ponsel. Tak ada yang terlihat mencurigakan.

Tapi jantungnya berdetak lebih cepat.

“Lang…” suaranya nyaris tak terdengar.

Erlang yang duduk di sebelahnya langsung menoleh. “Kenapa?”

“Aku nggak nyaman,” bisik Feni. Tangannya refleks mencengkeram lengan baju Erlang. “Rasanya kayak… kayak ada yang ngelihatin aku.”

Erlang mengikuti arah pandangnya. Ia memperhatikan sekitar dengan saksama, wajahnya tetap tenang, tapi matanya waspada. Setelah beberapa detik, ia kembali menatap Feni.

“Di sini aman,” ucapnya pelan, meyakinkan. “Ada banyak petugas. Aku di sini.”

Feni mengangguk, tapi rasa itu tidak sepenuhnya hilang.

Erlang bergeser lebih dekat, mengurangi jarak di antara mereka hingga bahu mereka bersentuhan. Tanpa berkata apa-apa, ia menggenggam tangan Feni, ibu jarinya mengusap pelan punggung tangan itu dengan gerakan berulang—kecil, konsisten.

Gerakan sederhana itu entah bagaimana membuat napas Feni sedikit lebih teratur.

“Maaf,” gumam Feni. “Aku jadi penakut banget sekarang.”

Erlang tersenyum tipis. “Kamu cuma lagi capek dan takut. Itu wajar.”

Ia mengangkat tangan Feni perlahan, menautkan jari mereka. “Kamu nggak sendirian, Fen. Aku ada.”

Feni menatap wajah Erlang. Mata itu—yang sejak awal selalu ia kenal tenang—kini dipenuhi sesuatu yang lebih dalam. Kepedulian. Kekhawatiran. Cinta yang tidak ribut, tapi nyata.

Dadanya menghangat, meski situasi di sekitar masih dingin.

Feni menggeser tubuhnya, bersandar di bahu Erlang. Erlang membiarkannya, bahkan merangkul pundaknya dengan lengan satu, menarik Feni lebih dekat. Kepala Feni jatuh pas di lekuk leher Erlang, mendengar detak jantung yang stabil.

Detak itu menenangkan.

“Aku takut kehilangan kalian,” suara Feni serak. “kak Rima… Andre… kamu.”

Erlang menunduk sedikit, keningnya menyentuh rambut Feni. “Aku nggak ke mana-mana,” ucapnya lirih. “Aku janji.”

Feni menutup mata. Untuk beberapa detik, dunia seakan mengecil—tinggal mereka berdua, di antara suara mesin dan langkah kaki asing.

Namun perasaan tidak aman itu belum sepenuhnya pergi.

Saat Feni membuka mata lagi, pandangannya kembali tertuju ke ujung lorong. Pria paruh baya yang tadi berdiri di dekat jendela sudah tidak ada. Digantikan oleh sosok lain—seorang pria berjaket gelap, berdiri terlalu lama di dekat mesin minuman.

Mata mereka sempat bertemu.

Hanya sepersekian detik.

Tapi cukup untuk membuat tengkuk Feni meremang.

Ia refleks mencengkeram jaket Erlang lebih erat.

“Lang…” bisiknya lagi, kali ini nyaris panik.

Erlang langsung menoleh ke arah yang ditunjuk Feni. Pria itu sudah membuang muka, berjalan menjauh seperti tak terjadi apa-apa.

Erlang tidak tersenyum kali ini.

Ia merapatkan pelukannya pada Feni, satu tangan mengusap rambutnya dengan gerakan protektif. “Dengar aku,” katanya pelan tapi tegas. “Apa pun yang kamu rasain, bilang ke aku. Jangan dipendam.”

Feni mengangguk, wajahnya tertanam di dada Erlang.

Di balik sikap tenangnya, Erlang menatap lorong itu lebih lama dari seharusnya.

Karena untuk pertama kalinya sejak tiba di rumah sakit, ia juga merasakan hal yang sama dengan Feni.

Mereka tidak benar-benar sendirian.

Dan di tengah bau antiseptik dan lampu putih yang dingin, cinta mereka menjadi satu-satunya hal yang terasa hangat—

sekaligus satu-satunya hal yang ingin ia lindungi, apa pun risikonya.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!