tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pemuda bandit
Adu mulut diantara dua kubu berjalan cepat, Dipa tidak bersedia menyerahkan barangnya, dan para bandit harus merebutnya jika menginginkanya, kekuatan para bandit itu tidak terlalu besar, satu orang melawan satu pengawal, kami semua bisa membantu sebagai pasukan pengeroyok, aku merasa bandit-bandit ini cukup mudah diatasi.
" habisi saja mereka semua " kata bandit yang tadi di tunjuk guru, benar perkiraan guru dia ketua kelompoknya.
masing-masing mengangkat pedangnya, aku menahan nafas tegang menunggu apa yang akan terjadi, tapi keanehan terjadi, keempat orang pengawal itu berbalik ...
" kalian adalah komplotan " teriak Dipa, aku terkejut, guru tidak kalah kaget, mereka sekarang berdelapan dan tidak tahu sampai dimana kekuatan mereka, guru tampak menelan ludah dan sedikit pucat, tidak menyangka akan begini.
Tanpa banyak bicara mereka meringkus rombongan juragan, Dipa hilang kegaranganya mengetahui bahwa kami tidak seimbang, di pihak kami hanya ada Dipa, Paman juragan, dua orang kusir, paman dan kedua putranya serta kami dua orang perempuan.
" ambil saja semua, jangan ada yang dilukai " kata paman juragan, nadanya bergetar seperti menahan sesuatu yang sakit di hatinya,
" Kenapa tidak dari tadi kalian selembut ini " kata salah satu bandit menertawakan posisi kami yang lemah, dua orang kusir menyerahkan dengan sukarela pedatinya, beberapa orang pengawal menggeledah kami yang bukan termasuk team paman juragan, guru menyerahkan buntalan yang dibawanya, juga punyaku yang kubawa berisi beberapa keping uang dan baju ganti yang menjadi bekalku, andai saja kakek Tanjar disini, kenapa guru diam saja, apakah guru sebenarnya takut kepada para bandit ini ?
berang kami sudah dirampas, tapi melihatku seseorang yang pada awalnya mengaku pengawal melihatku dengan tatapan yang menjijikan,
" Kau gadis yang cantik " katanya sambil mendekat, aku mundur kebelakang,
" jangan ganggu wanita, bawa saja apa yang kalian mau tapi jangan orangku " kata paman Juragan ternyata paman juragan yang irit bicara itu tahu melindungi orang seseorang segera menempelkan pedang di leher paman juragan , Dipa tampak maju juga untuk melindungiku, tapi seseorang menempelkan pucuk pedangnya di tubuh Dipa bergerak sedikit pedang itu akan menembus dadanya, pemuda itu terpaku diam, semua orang diam, guru juga diam, apa-apaan ini.
" ikutlah denganku, aku akan membuatmu bahagia " kata orang itu, aku memejamkan mataku dan mencoba bersabar mengingat guru juga tidak melakukan apapun, tapi kemudian tangan kasar itu menyentuh pipiku aku membuka mataku dan melihat betapa dekatnya wajahku dengan gigi-gigi kuning , aku mual, kesabaranku benar-benar habis.
"jijik ... " ucapku spontan sambil mendorong bandit itu dengan semua tenagaku, entah karena dia tidak siap dengan kekuatanku atau bagaimana bandit itu terdorong terlempar beberapa meter kemudian kepalanya menabrak batu yang cukup besar, aku sendiri tidak yakin kekuatan itu, semua mata memandangku, tapi guru tertawa terbahak-bahak.
" gadis Madura biasanya tidak sesabar kamu " katanya sambil mengeluarkan celuritnya, aku juga mengeluarkan celuritku yang lebih besar dari kepunyaan Guru.
semua meraba senjatanya masing-masing,
" muridku keberatan pipinya dipegang, kami tidak jadi menyerahkan harta kami " kata guru seperti sedang mempermainkan perasaan para bandit.
tanpa banyak bicara mereka maju serempak untuk menyerang kami berdua, mereka sadar kalau kami tidak seperti yang mereka perkirakan sebelumnya,
" majulah di depan aku akan melindungimu " kata guru, dengan guru di belakang aku menjadi lebih percaya diri,
" pranggggg " kedua senjata bertemu mengeluarkan pijar api , pedang milik salah satu bandit kutangkis dengan celuritku, aku mengenal dengan baik senjataku, dengan ini aku bisa bergerak menangkis, tapi ujung runcing masuk ke dalam juga bukan hanya sekedar hiasan menggores musuh, darah mulai menetes, aku merasa cukup puas, hanya saja aku masih belum bisa mengatur kekuatan, aku memanfaatkan semua tenagaku dalam setiap tangkisan maupun serangan dan guru melihat celah itu,
" ukur kekuatanmu, jangan terlalu menghabiskan tenaga" teriak guru, aku mulai mengurangi kekuatan.
di sisi lain aku melihat guru sedang melawan dua orang, salah satunya pengawal dan ketua bandit, baru saja aku menyadari keduanya cukup mirip, mungkin kakak beradik, paman juragan dan Dipa sedang mengeroyok salah satu pemuda bandit, paman yang bersama kami juga mengeroyok seorang pengawal, kedua kusir menghadapi musuh satu orang , sedangkan satu orang sudah terkapar dengan kepala bocor kudorong tadi, satu orang yang menghadapiku mengalami robek pada bagian perut dan tidak memungkinkan lagi untuk bertarung, aku melihat siapa yang harus kubantu dulu, walaupun guru posisinya dikeroyok bukan berarti guru butuh bantuan, melihatku bingung guru segera kembali memberikan aba-aba.
" kurangi jumlah mereka dengan segera, jangan kebanyakan melamun " teriak guru, aku segera mendatangi Dipa dan ayahnya, aku tertawa menyeringai,
" Kau mau menggoda gadis Madura " celuritku kembali bergerak, orang itu terpojok, sebenarnya kami tidak kalah jumlah. secepat mungkin aku berusaha menekan lawan, Dipa juga pandai bermain pedang, walau masih belepotan dan tanpa tenaga. sebuah siulan nyaring terdengar, kemudian perlawanan mereka dipercepat, sesaat aku kelabakan tapi ternyata itu adalah isyarat mereka untuk mundur, tanpa terasa aku tergiring untuk mengejar,
" berhenti, jangan kejar lagi " ah aku kenapa terpancing untuk menjauh dari arena sebelumnya.
ternyata inilah yang disebut pengalaman, sebelumnya dalam pelatihanku yang berat aku belum pernah menemui hal yang demikian, para bandit segera menghilang diantara rerimbunan hutan yang pekat, beberapa orang yang terluka juga tidak mereka tinggalkan, mereka cukup setia kawan.
Tapi ada seorang pemuda bandit yang agak terlambat karena kedua kusir itu sama sekali tidak melepaskanya, jadi dia agak tertinggal diantara temannya, aku tersenyum miring dan merogoh pinggangku, dengan sekali tarik aku mendapatkan belatiku, aku tidak pernah gagal dalam lemparanku beberapa tahun ini, apalagi dengan sasaran sebesar ini.
" hupppp " pemuda bandit itu terjerembab, pisauku menancap sempurna di punggungnya, pisau itu hanya pisau kecil biasa, yang kupergunakan untuk mengupas buah apapun, atau melakukan hal-hal kecil lainnya, aku dengan senang hati mendatangi pemuda bandit itu.
" mau lari kemana kau " tanyaku, kali ini akulah yang tertawa, mungkin benar dengan tertawa akan lebih menekan lawan, bandit itu berbalik dan aku tepat diatasnya, mengacungkan celuritku, sebenarnya aku sudah terbiasa melihat luka di daerahku yang sering terjadi bentrok atau carok, tapi ternyata ketika lawan sudah tidak berdaya aku tiba-tiba hatiku menjadi jeri, apalagi pemuda itu menatapku dengan tatapan yang entahlah, menjadikanku lemah sesaat, kasihan bercampur menjadi satu, tapi aku tetap ingin menakutinya dan membuatnya lari, pemuda itu terus menatapku mungkin dia berpikir aku akan sanggup menancapkan celuritku yang sudah berlumuran darah di tubuhnya, aku menghardik dengan bahasa madura kasar.
" matilah kau " aku mengangkat celuritku
" Gemiiiii ... " teriak pemuda bandit itu, tanganku tetap menggantung di udara, aku terkesima dalam sekejap ingatanku kembali ke masa lampau.