Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.
Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.
Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Keluarga Yang Saling Mendukung
Rayven masih duduk di tepi ranjangnya, lampu kamar sengaja dibuat redup. Kepalanya dipenuhi bayangan wajah Alendra, tangisannya, dan rasa bersalah yang semakin menyesakkan dada. Ia berulang kali mengacak rambutnya sendiri, mencoba menenangkan diri, tapi justru semakin kacau.
Suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya.
Tok... tok...
“Ven, ini Abang.” Suara Kaelan terdengar dari luar.
Rayven buru-buru menghapus keringat dingin di keningnya, lalu menjawab, “Iya, ada apa, bang?”
Pintu terbuka, Kaelan masuk sambil membawa gelas berisi air putih. Tatapannya langsung jatuh pada adiknya yang tampak pucat. Ia duduk di kursi dekat ranjang sambil menghela napas.
“Lo kenapa sih akhir-akhir ini? Mamah sampai nanya-nanya terus, lo keliatan murung banget. Jangan bilang ada masalah di sekolah atau… sama cewek?” Kaelan menatap serius, seakan bisa membaca pikiran Rayven.
Rayven menelan ludahnya. Degup jantungnya semakin cepat. “Nggak, bang… gue cuma kecapekan. Basket lagi padat latihannya.”
Kaelan menyipitkan mata. “Capek basket? Ven, kamu dari kecil aku yang selalu lihat, sekeras apapun latihan, kamu nggak pernah sampai murung kayak gini. Jujur aja sama aku. Ada masalah apa?”
Rayven memalingkan wajahnya. Ia takut kalau menatap mata kakaknya, semua rahasia akan terbongkar begitu saja. Dalam hatinya, ia ingin berteriak, "Bang… gue takut. Gue takut Alendra hamil, gue takut semua kebongkar. Gue nggak tahu harus gimana!"
Tapi bibirnya justru kelu.
“Nggak ada, Bang. Beneran cuma kecapekan,” jawab Rayven lagi, kali ini sambil memaksakan senyum tipis.
Kaelan masih menatapnya lama, jelas tidak percaya. Tapi ia memilih tidak mendesak terlalu jauh. Ia hanya menghela napas berat, lalu menepuk bahu adiknya.
“Oke… kalau lo nggak mau cerita sekarang, nggak papa. Tapi ingat, Ven… apapun masalah lo, Lo bisa ngomong sama gue dulu sebelum sama siapa pun. Gue kakak lo. Gue nggak bakal ninggalin lo sendirian."
Rayven hanya mengangguk pelan, pura-pura tenang. Tapi setelah Kaelan keluar dari kamar, matanya langsung berkaca-kaca. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, napasnya tersengal.
“Gue nggak bisa cerita, Bang… gue takut… gue bener-bener takut…” bisiknya pelan.
Di sisi lain, bayangan tentang kemungkinan Alendra hamil terus menghantui pikirannya. Dan jika itu benar-benar terjadi… semua akan hancur.
---
Setelah berjam-jam menangis sampai suaranya parau, Alendra akhirnya terdiam. Matanya sembab, hidungnya merah, dan tubuhnya lemas seakan semua tenaga terkuras. Ia menatap kedua orang tuanya dengan pandangan yang dipenuhi rasa bersalah.
“M-maaf, Bu… Yah…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar. “Alen nggak bisa jaga diri… Alen udah bikin Ibu sama Ayah kecewa…”
Larissa langsung menarik putrinya ke dalam pelukan hangat. Ia menggeleng kuat-kuat, air mata kembali jatuh di pipinya.
“Jangan pernah ngomong begitu lagi, Nak. Kamu nggak salah. Kamu korban. Yang salah itu orang jahat yang udah ngerusak kamu.”
Ardian yang sejak tadi diam dan mencoba tegar, akhirnya ikut bicara. Suaranya bergetar menahan amarah.
“Ayah nggak pernah merasa kecewa sama kamu, Len. Ayah justru bangga kamu bisa berani cerita, meski itu berat. Kamu harus tahu… Ayah sama Ibu bakal ada buat kamu. Apa pun yang terjadi.”
Alendra tak kuasa menahan tangisnya lagi. Ia memeluk kedua orangtuanya, tubuhnya bergetar hebat dalam dekapan mereka. Tapi jauh di dalam hatinya, ketakutan besar masih menggerogoti. Bayangan tentang janin dalam rahimnya membuat napasnya tercekat.
“A-apa… apa aku beneran hamil, Bu? Yah? Alen takut… Alen takut banget…” ucapnya lirih, suaranya dipenuhi kepanikan.
Larissa kembali mengelus rambut putrinya, mencoba menenangkan. “Kalau pun itu benar… kita akan hadapi bersama-sama, sayang. Kamu nggak sendirian.”
Namun, setelah kata-kata itu keluar, Larissa menunduk, menyembunyikan wajahnya. Ia tahu, dalam hatinya ada badai besar: amarah, kesedihan, dan rasa tak berdaya.
Ardian mengepalkan tangannya kuat-kuat, wajahnya menegang penuh amarah. Siapa pun bajingan yang udah melakukan ini ke anakku… dia harus bayar.
Di sisi lain, Alendra masih terisak pelan. Ia mencoba percaya pada kata-kata orangtuanya, tapi rasa takut itu tetap ada. Rasa malu, rasa hina, rasa hancur yang membuatnya seakan kehilangan jati diri.
“Nanti… gimana sekolah Alendra?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Alen nggak mau berhenti sekolah, Bu. Alen pengen lulus SMA…”
Larissa menatap putrinya dengan hati perih. Ia tahu betapa besar cinta Alendra pada pelajaran, betapa gigih anak itu bermimpi meski hidup mereka pas-pasan. Larissa menarik napas panjang, lalu mencoba bicara setenang mungkin.
“Kamu tenang saja, Nak. Untuk sekarang kamu tetap sekolah dulu. Perutmu kan belum kelihatan. Nanti kalau sudah mulai terlihat… baru kita pikirkan bagaimana baiknya. Kalau pun harus berhenti sementara, nggak apa-apa. Pendidikanmu bisa dilanjutkan lagi nanti. Yang penting sekarang kamu kuat dulu.”
Mata Alendra kembali basah. Ia mengangguk kecil, meski hatinya tak sepenuhnya tenang. Baginya, sekolah adalah satu-satunya jalan menuju masa depan yang lebih baik. Kehilangan itu terasa seperti kehilangan segalanya.
Sementara itu, Larissa hanya bisa memeluk putrinya lebih erat. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia tak hanya memikirkan anaknya yang sedang terluka, tapi juga masa depan cucu yang kini ada dalam kandungan Alendra. Bagaimana mereka akan membesarkannya? Bagaimana jika tetangga tahu?
Bukan soal malu—Larissa tak peduli cibiran orang. Tapi ia takut anaknya semakin terpuruk jika dihina dan dipandang rendah. Di rumah sederhana di pinggiran kota ini, gosip bisa menyebar lebih cepat dari api.
Ardian pun tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia hanya seorang pedagang di pasar, penghasilannya pas-pasan bahkan sering kali kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagaimana ia bisa menafkahi keluarga, sekaligus menanggung beban tambahan seorang bayi?
Namun, tatkala ia melihat wajah putrinya yang begitu rapuh, tekadnya langsung mengeras. Apapun caranya, aku akan jaga mereka. Aku akan kerja keras, siang malam pun nggak masalah. Yang penting anakku dan cucuku nanti nggak kekurangan.
Malam itu, rumah kecil mereka penuh dengan doa, tangisan, dan janji dalam hati. Larissa dan Ardian berjanji tidak akan pernah melepaskan tangan putrinya, apa pun yang terjadi. Sementara Alendra, meski masih takut, mulai mencoba percaya bahwa ia tidak sendirian.
---
Keesokan paginya, sinar matahari masuk lembut melalui celah jendela rumah sederhana itu. Burung-burung berkicau riang, seakan membawa sedikit semangat baru. Alendra membuka matanya dengan perasaan lebih baik daripada kemarin. Meski masih ada rasa lelah, hatinya sedikit lega karena tahu ia tidak sendiri.
“Pagi, Bu,” sapa Alendra lirih ketika melihat ibunya di dapur sedang menyiapkan sarapan. Senyum kecil terukir di bibirnya.
Larissa menoleh, terkejut sekaligus lega melihat putrinya bisa tersenyum pagi ini. “Pagi, Sayang. Alhamdulillah kamu bangun dengan wajah lebih segar.”
Tanpa menunggu lama, Alendra pun ikut masuk ke dapur, hendak membantu. Ia meraih panci besar berisi nasi di atas dandang untuk dipindahkan. Namun Larissa segera menahan gerakannya.
“Eh, jangan angkat yang berat-berat!” ucap Larissa cepat sambil menghampiri.
Alendra menoleh, sedikit kebingungan. “Enggak berat kok, Bu. Kan Alen udah biasa.”
“Iya, mungkin kamu biasa. Tapi sekarang… kamu nggak sendirian, Nak. Ingat, di perut kamu ada baby. Jadi jangan sampai kamu kecapekan.” Suara Larissa terdengar lembut, tapi penuh kekhawatiran seorang ibu.
Mendengar itu, Alendra terdiam sejenak. Ada rasa aneh di dadanya—campuran perih, takut, sekaligus haru. Ia mengangguk pelan. “Iya, Bu… Alen bakal hati-hati.”
Larissa lalu menepuk bahunya, tersenyum meski matanya masih berkaca-kaca. “Kamu udah nggak papa kan? Ada yang mual atau pusing lagi?”
Alendra menggeleng. “Udah enggak, Bu. Tadi pagi malah lumayan enakan.”
“Syukurlah…” Larissa menarik napas lega. “Nanti siang Ibu bakal cariin susu khusus buat ibu hamil, biar kamu dan debay-nya lebih kuat.”
Mata Alendra memanas. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Bukan karena sakit, tapi karena terharu—orangtuanya sama sekali tak mencaci, tak menyalahkan, justru terus mendukung. Padahal ia sudah merasa dirinya hancur.
“Ibu…” suaranya lirih. “Makasih… udah sayang sama Alen.”
Larissa langsung memeluknya erat, mengelus punggungnya. “Kamu anak Ibu, Len. Nggak ada yang bisa ubah itu. Apa pun yang terjadi, kamu tetap berharga.”
Sementara itu, di depan rumah, Ardian tengah sibuk menyiapkan gerobak dagangannya. Beberapa kantong berisi sayuran dan buah sudah tersusun. Ia bekerja dengan wajah serius, meski sesekali menoleh ke arah dapur, memastikan keadaan Alendra.
Di sampingnya, Ezriel, adik bungsu Alendra yang baru berusia sembilan tahun, duduk sambil memeluk lutut. Matanya polos memperhatikan sang ayah menata barang dagangan.
“Ayah…” panggil Ezriel tiba-tiba.
“Hmm?” Ardian menoleh.
“Kenapa kemarin Kak Alen nangis lama banget?” tanyanya polos, kepala miring ke samping.
Pertanyaan itu menusuk hati Ardian. Ia terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil sambil mengusap kepala anaknya. “Kakak lagi sakit, Nak. Tapi kamu jangan khawatir, Ayah sama Ibu jagain Kakak. Ezriel cuma perlu rajin sekolah, doain Kakak biar kuat, ya.”
Ezriel mengangguk cepat, meski belum sepenuhnya mengerti. “Iya, Yah. Aku bakal doain Kak Alen tiap malam.”
Ardian menghela napas panjang. Hatinya perih, tapi ia berusaha tetap tegar. Dalam hati ia berjanji, sekuat apa pun badai yang akan datang, ia akan berdiri di depan keluarganya.