“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Jejak dibalik tirai
Fajar baru saja merekah di langit timur, namun istana Samudra Jaya masih diselimuti bayangan duka. Kabut pagi turun perlahan, menutupi halaman dan taman-taman kerajaan seolah ikut berduka apa yang dialami sang permaisuri. Burung-burung enggan berkicau, dan udara terasa berat, dan suasana penuh kecemasan di seluruh istana bahkan sejak pagi awan mendung berkumpul di negeri Samudra Jaya.
Raden Arya berdiri di serambi paviliun permaisuri dengan wajah muram. Ia menatap pelataran yang masih basah oleh embun, sementara pikirannya terus berputar mencari petunjuk. Di belakangnya, langkah lembut Putri Dyah terdengar mendekat.
“Adimas belum tidur?” tanyanya lirih.
Raden Arya menggeleng tanpa menoleh. “Bagaimana mungkin aku bisa tidur, Mbak Yu, sementara ibunda masih berjuang antara hidup dan mati... dan pelaku kejahatan itu mungkin masih berkeliaran bebas di dalam istana ini.”
Putri Dyah menarik napas panjang. “Aku tahu hatimu gelisah. Aku pun demikian. Tapi jangan terburu-buru menuduh. Istana ini penuh mata-mata. Sekali saja kita salah bicara, bisa jadi mereka akan membalikkan keadaan.”
Raden Arya menatap kakak tirinya, wajahnya menegang. “Aku takkan tinggal diam, Mbak Yu. Aku akan menyelidiki sendiri. Mulai dari dapur kerajaan. Aku ingin tahu siapa yang terakhir kali menyentuh makanan ibunda sebelum sakit.” Putri Dyah menatap adiknya lama, kemudian mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi aku akan ikut. Aku tidak akan membiarkanmu berjalan sendiri dalam bahaya ini.” Beberapa saat kemudian, keduanya berjalan menuju dapur utama istana. Suara langkah mereka menggema di lorong panjang, disertai desir lembut kain kebesaran yang mereka kenakan. Para dayang yang mereka lewati menunduk hormat, namun di balik sikap patuh itu, terselip ketegangan dan rasa takut. Begitu sampai di dapur, aroma arang dan rempah masih tercium samar. Seorang juru masak tua segera memberi hormat, wajahnya pucat karena gugup.
“Ampun Gusti... hamba tidak tahu apa-apa soal penyakit Baginda Permaisuri...” katanya terbata.
Raden Arya menatapnya dalam. “Aku tidak datang untuk menuduh. Aku hanya ingin tahu apa yang disajikan untuk Permaisuri pada hari beliau jatuh sakit.”
Juru masak itu mengangguk cepat, memanggil salah satu dayang. “Sima... kemari. Kau yang bertugas hari itu, bukan?” Sima melangkah maju dengan tangan gemetar. Wajahnya pucat, mata bengkak karena kurang tidur dan takut. Ia berlutut, menunduk dalam.
“Ampun, Gusti... benar, hamba yang mengantarkan santapan terakhir Baginda Permaisuri. Tapi hamba bersumpah... hamba tidak mencampurkan apa pun ke dalamnya!”
Putri Dyah menatapnya dengan lembut. “Kami tidak menuduhmu, Sima. Kami hanya ingin tahu, siapa yang mempersiapkan makanan itu sebelum sampai di tanganmu.”
Sima menelan ludah, lalu berkata pelan. “Hamba tidak tahu apa-apa Gusti, hamba hanya menyiapkan makanan seperti biasa,”
Tapi Raden Arya curiga dengan gelagat Sima melihat dayang itu meremas kedua tangannya dengan gemetar pasti ada yang disembunyikan dari istana.
“Kau yakin tidak melakukan apa pun pada makanan Gusti Permaisuri?” tanya Raden Arya pelan tapi kata-kata itu cukup menusuk isi hatinya. Sima tetap menunduk menahan gemetar di tubuhnya.
“Tidak Gusti, hamba tidak menambahkan apa pun dimakanan Gusti Permaisuri,”
“Menambahkan? Menambahkan apa, aku tadi tidak bilang menambahkan bukan....?” pertanyaan Raden Arya membuat Sima semakin gelagapan dan langsung menutup mulutnya, bahkan keringat dingin mulai mengucur deras dipelipisnya.
“Ti-ti-tidak yang mulia, maksud hamba....”
“Sudah cukup,” potong Raden Arya membuat Sima terdiam, tapi Putri Dyah seperti kurang puas dengan introgasi tersebut.
“Ayo mbak yu kita kembali,” Raden Arya berbalik tapi begitu berbalik dia bersitatap dengan Puspa membuat darahnya berdesir, Puspa pun langsung menundukkan pandangannya. Sementara Raden Arya kembali ke paviliun diikuti oleh Putri Dyah Anindya.
“Adimas, kenapa adimas tadi menghentikan introgasinya kau lihat dayang tadi, dia gugup pasti dia tahu sesuatu,” ucap Putri Dyah, Raden Arya tersenyum tenang mendengarnya.
“Mbak yu sabar, memang dia terlihat gugup dan mbak yu juga lihat bukan kalau tadi dia keceplosan bicara, saya hanya menggiring dia secara tidak langsung untuk menunjukkan siapa pelaku yang sebenarnya,”kata Raden Arya tenang.
“Jadi maksud adimas.....?”
“Perintahkan Aruna dan dua prajuritnya untuk mengawasi dayang itu nanti malam, dia pasti akan membawa kita ketempat tuannya,” Putri Dyah mengangguk, dia tahu adik tirinya itu pintar dan cerdik karena itu dia mempercayakan sepenuhnya pada sang adik tiri.
“Mbak yu, ada suatu hal yang harus ada tahu dan lakukan,” kata Raden Arya yang menatap lekat kakak perempuannya.
“Apa itu adimas?”
“Saya mohon jangan percaya siapa pun dengan semua yang di istana termasuk saya, karena tahta itu membutakan segalanya. Bahkan isi hati dan fikiran mbak yu saja sering bertolak belakang, jadi tolong mulai sekarang jangan pernah sekali pun percaya pada orang lain termasuk saya sendiri,”
Mendengar hal itu tentu Putri Dyah semakin resah dan sekarang mereka sadar langkahnya harus hati-hati. Karena di istana dinding pun bisa jadi telinga.
Sesuai dengan perintah, Aruna dan prajuritnya mengawasi gerak-gerik Sima. Dan benar saja disaat semua orang terlelap dayang itu keluar dari biliknya dan menuju suatu tempat.
Aruna dan kedua anak buahnya mengikuti kemana Sima pergi, dan yang membuat mereka terkejut rupanya dayang itu pergi ke hutan belakang desa.
“Untuk apa dayang itu pergi ke hutan belakang desa tuanku?” tanya salah satu prajuritnya.
“Ssstt...diamlah, lebih baik kita ikuti saja,” kata Aruna, mereka bertiga mengikuti kemana arah kaki Sima melangkah. Setelah sampai disebuah gubuk dayang itu pun masuk ke dalam, Aruna memerintahkan prajuritnya untuk tetap ditempat sementara dia akan melihat apa yang akan Sima lakukan di gubuk itu.
Di dalam gubuk reyot yang diterangi cahaya lampu minyak temaram, bayangan tubuh Sima tampak bergerak pelan. Ia menutup pintu perlahan, memastikan tak ada seorang pun yang mengikutinya. Namun di luar, di balik semak belukar, Aruna dan dua prajuritnya masih bersembunyi, mengintai dengan penuh kehati-hatian.
Suara tangis kecil terdengar dari dalam gubuk. Sima berlutut di hadapan suaminya, Nyoto, seorang lelaki 20 tahun bertubuh kurus kulitnya hitam dengan wajah lelah dan tangan kasar karena bekerja di ladang. Dua anak kecil duduk di sudut, memandangi ibunya dengan mata cemas.
“Mak... kenapa wajahmu pucat begitu?” tanya anak sulungnya, gadis kecil bernama Raras, suaranya gemetar.
Sima tersenyum samar, meski matanya mulai berkaca-kaca. Ia mengusap kepala putrinya lembut. “Tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya ingin bicara sebentar dengan kalian.”
Nyoto menatap istrinya dengan curiga, langkahnya pelan mendekat. “Sima, ada apa sebenarnya? Kau jarang pulang malam begini kecuali ada urusan besar di istana.” Sima menarik napas dalam, lalu mengeluarkan sebuah kantung kecil dari balik kainnya. Suara koin beradu pelan ketika kantung itu ia letakkan di atas meja bambu. “Ini... sepuluh kepeng emas. Gunakan untuk membayar hutang pada Juragan Harso. Jangan biarkan anak-anak menderita karena kesalahan ibumu ini.” Nyoto menatap kantung itu lama, matanya membulat. “Dari mana kau dapat uang sebanyak ini, Sima? Jangan bilang—”
“Bukan hasil mencuri, Mas,” potong Sima cepat, suaranya tegas tapi bergetar. “Aku mendapatkannya dari seseorang... orang yang aku layani di istana.” Ia menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. “Tapi aku tahu, setelah malam ini, mungkin aku takkan kembali lagi.” Raras langsung memeluk ibunya erat, menangis sesenggukan. “Mak, jangan bilang begitu... jangan pergi!”
Sima menatap anaknya dengan mata yang penuh kasih. “Raras, dengarkan Ibu. Kalau suatu saat Ibu tidak pulang, jangan kalian cari Ibu, ya. Jangan datang ke istana, jangan tanyakan apa pun. Anggap saja Ibu sedang pergi jauh untuk bekerja demi kalian.”
Nyoto menggenggam bahu istrinya, suaranya serak. “Sima, apa maksud semua ini? Apa kau terlibat sesuatu? Katakan padaku! Aku suamimu!”
Sima memejamkan mata, air matanya jatuh menetes ke lantai tanah. “Aku tidak bisa, Mas. Semakin sedikit yang kau tahu, semakin aman kalian.” Ia menarik tangan Nyoto, menempelkannya di dada. “Yang penting, jagalah anak-anak kita. Jangan biarkan mereka mendengar nama ibunya dibicarakan buruk oleh orang.” Keheningan menelan ruangan itu. Hanya suara serangga malam di luar dan isak kecil Raras yang memecah sunyi. Aruna yang mengintai dari luar ikut menunduk, dadanya terasa sesak melihat pemandangan itu. Ia sudah terbiasa melihat para penghianat ditangkap dan disiksa, tapi baru kali ini hatinya berat — karena di hadapannya, seorang ibu tampak seperti hendak menyerahkan diri pada nasib yang tak bisa ia elakkan. Sima perlahan berdiri. Ia menatap wajah suaminya sekali lagi, lalu wajah anak-anaknya yang masih menangis di sudut. “Sudah... jangan menangis, Nak. Ibu tidak ingin kalian mengingat wajah Ibu sedang bersedih begini.” Ia mengusap air mata di pipi Raras, lalu menunduk mencium kening kedua anaknya bergantian. Senyum kecil muncul di bibirnya, getir tapi penuh cinta.
Nyoto menggenggam tangannya kuat-kuat. “Kalau kau tidak mau bicara, setidaknya beri aku janji, Sima. Janji kalau kau akan pulang...”
Sima menatapnya lama, kemudian menarik tangannya pelan. “Aku janji... kalau takdir mengizinkan,” katanya lirih, hampir tak terdengar. Ia melangkah ke pintu, membuka daun kayu itu perlahan. Angin malam masuk, membuat pelita bergoyang dan cahayanya menari di dinding bambu.
Sebelum keluar, Sima sempat menoleh sekali lagi. Pandangannya seolah ingin menelan semua wajah yang ia cintai — Nyoto yang mematung, Raras yang menangis, dan adiknya yang memeluk lutut di sudut ruangan.
“Maafkan Ibu…” hanya itu yang sempat terdengar sebelum langkahnya menghilang ditelan kabut malam. Aruna menatap punggung perempuan itu yang perlahan menjauh di antara pepohonan. Ada sesuatu di tatapan matanya — bukan sekadar rasa penasaran, tapi juga iba yang dalam.
Ia berbisik pelan pada prajurit di sebelahnya, “Perempuan itu… tampak seperti hendak menuju akhir dari takdirnya sendiri.” Prajurit di sampingnya bergidik, lalu menatap Aruna cemas. “Apakah kita akan menangkapnya, Tuanku?” Aruna menggeleng perlahan. “Belum. Kita ikuti saja. Aku ingin tahu siapa yang menunggu dia di hutan ini. Kebenaran kadang lebih menyakitkan dari pengakuan yang dipaksa.” Mereka pun kembali melangkah pelan, mengikuti Sima dari kejauhan. Cahaya bulan memantul di ujung bambu basah, dan suara sandal jerami Sima yang beradu dengan tanah seolah menjadi penanda langkah menuju rahasia besar — rahasia yang sebentar lagi akan mengguncang seluruh istana Samudra Jaya.
Sementara itu di paviliun selir kedua, Nyi Rengganis datang dengan wajah cemas.
“Paduka, Sima mulai mencurigakan. Ia dipanggil Raden Arya dan Putri Dyah ke dapur tadi siang.”
Ken Suryawati menatapnya melalui cermin, menyisir rambut hitamnya perlahan. “Seperti yang sudah kuduga... anak muda itu tidak akan diam. Tapi dia terlalu jujur untuk dunia istana ini.” Ia berbalik, langkahnya anggun namun dingin. “Pastikan Sima tidak lagi sempat bicara apa pun. Kalau perlu, buat seolah ia melarikan diri karena ketakutan.”
Nyi Rengganis menelan ludah. “Apakah... apakah paduka bermaksud—”
“Lakukan saja,” potong Suryawati tajam. “Sebelum semuanya terbongkar.” Sementara itu, di paviliun timur, Raden Arya tengah menulis laporan kecil di atas daun lontar — catatan rahasia yang hanya boleh dibaca oleh Prabu Harjaya jika beliau sudah turun dari tapa bratanya. Di luar, suara malam berhembus pelan, namun di dalam hatinya, badai sedang berkecamuk.
Ia menatap pelita di hadapannya, lalu berbisik, “Jika benar ini perbuatan manusia... maka aku bersumpah atas nama darah kerajaan Samudra Jaya, aku akan menemukan pelakunya — dan tak akan kubiarkan dia menginjakkan kaki lagi di tanah suci ini.” Di kejauhan, di balik tirai paviliun Ken Suryawati, api kecil di pelita altar pribadi menyala berkedip. Seolah ikut menertawakan janji itu — janji yang mungkin akan menuntun Raden Arya ke jurang gelap permainan kekuasaan yang jauh lebih berbahaya dari racun itu sendiri.
***
Keesokan paginya istana keputren dibuat heboh, Permaisuri Dyah Kusumawati menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan dengan sang Prabu Samudra Jaya yang mendapatkan wangsit dari Sang Hyang Agung. Lonceng kematian berdentang dari menara timur istana Samudra Jaya. Suaranya menggema panjang, menggetarkan seluruh penjuru kerajaan. Dayang-dayang berlarian di lorong-lorong, sebagian menitikkan air mata, sebagian lagi tertegun tak percaya. Kabar itu menyebar cepat—Permaisuri Dyah Kusumawati telah berpulang ke pangkuan Sang Hyang Agung.
Aroma dupa mulai memenuhi udara. Tirai putih dipasang di setiap pintu dan jendela keputren sebagai tanda duka. Langit pagi yang biasanya cerah kini tampak suram, seolah ikut menangisi kepergian sang permaisuri yang selama ini dikenal bijaksana dan lembut hati. Putri Dyah Anindya berlutut di sisi pembaringan ibundanya, wajahnya pucat dan matanya sembab. Jemarinya menggenggam tangan sang permaisuri yang telah dingin, tak rela melepaskan.
“Ibunda... bangunlah... ini Anindya, Bu...,” suaranya serak, nyaris tak terdengar.
Dayang-dayang mencoba menenangkannya, namun setiap kali seseorang berusaha menariknya dari sisi jenazah, Putri Dyah menepis dengan keras.
“Jangan sentuh aku! Aku tidak akan pergi sebelum ibunda membuka matanya!” serunya lirih namun tegas, membuat semua yang ada di ruangan itu menunduk dalam diam. Raden Arya berdiri tak jauh dari sana, menatap kakak tirinya dengan pandangan iba. Hatinya ikut terhimpit. Ia sendiri kehilangan sosok yang menganggapnya seperti anak kandung. Namun di tengah duka itu, ia tetap berusaha tegar. Ia mendekat, berlutut di sisi Putri Dyah.
“Mbak Yu... biarkan ibunda beristirahat dengan tenang. Beliau sudah tidak merasakan sakit lagi sekarang,” katanya pelan. Namun Putri Dyah hanya menggeleng lemah, air matanya jatuh satu per satu ke wajah ibundanya. “Bagaimana aku bisa tenang, Adimas... aku bahkan belum sempat meminta maaf padanya...”
Suasana makin sendu. Tangisan lirih terdengar dari sudut-sudut ruangan, namun di tengah kesedihan itu, satu sosok tampak berbeda. Raden Raksa, sang pangeran, berdiri dengan wajah datar di ambang pintu. Tak ada linangan air mata, tak ada kesedihan di matanya. Ia hanya menatap tubuh ibunya seolah sedang menatap seseorang yang asing.
“Semua makhluk hidup akan kembali kepada Sang Hyang,” ucapnya tenang, sebelum berbalik meninggalkan ruangan. Beberapa dayang yang melihatnya saling berpandangan, ngeri oleh sikap dingin sang pangeran. Tak jauh dari sana, di balik tirai sutra, Selir Ken Suryawati berdiri sambil menunduk, pura-pura berduka. Namun bibirnya justru tersungging tipis, senyum kecil yang segera ia sembunyikan di balik kain kerudung hitamnya.
“Waktu memang berpihak pada mereka yang sabar,” bisiknya pelan, seolah berbicara pada bayangannya sendiri. Raden Arya sempat menoleh ke arah itu, namun belum sempat berkata, Aruna datang tergesa, membungkuk memberi salam.
“Gusti Raden... ada kabar dari kediaman Ki Wirasena. Beliau bersiap memimpin upacara pembakaran jenazah hari ini, bila Gusti berkenan.”
Putri Dyah langsung menegakkan tubuhnya. “Hari ini? Tidak! Aku belum siap!” serunya keras.
Aruna menunduk, bingung harus menjawab apa. Tapi sebelum ia berbicara lagi, Raden Arya mengangkat tangannya pelan.
“Tunda sebentar, Aruna,” katanya mantap. “Aku yakin, hari ini Ayahanda akan kembali ke istana. Aku ingin beliau melihat ibunda untuk terakhir kalinya.” Ucapan itu membuat suasana di ruangan hening sejenak. Semua orang saling berpandangan, tak tahu harus berharap atau merelakan. Sebagian masih percaya pada pertanda yang datang semalam—tentang wangsit Sang Prabu yang menyebutkan waktu kepulangannya bersamaan dengan lenyapnya cahaya rembulan di ufuk barat.
Putri Dyah menatap adik tirinya lama. “Apa kau benar-benar yakin, Adimas?”
Raden Arya mengangguk pelan. “Ya, Mbak Yu. Aku tahu firasat ini takkan salah. Aku yakin, beliau akan datang.” Namun di dalam hatinya, tersimpan kegelisahan yang tak ia tunjukkan. Ia tahu sesuatu sedang terjadi—di luar kendali mereka. Kematian ibundanya terlalu tiba-tiba, terlalu bersamaan dengan wangsit ayahandanya. Seakan takdir tengah mempermainkan garis kehidupan mereka.
Sementara itu, di serambi luar, Aruna berdiri termenung. Matanya menatap langit yang kini mulai kelabu. Ia masih mengingat kata-kata terakhir Sima yang sempat ia dengar malam tadi di hutan. Tentang dosa besar yang akan menelan istana. Tentang seseorang yang telah menjual nuraninya untuk kekuasaan.
“Apakah semua ini bagian dari itu...?” gumamnya lirih, menggenggam gagang pedangnya erat. Ketika matahari mulai condong ke barat, gong duka kembali berdentang. Para abdi dan prajurit sibuk menata segala persiapan untuk upacara perabuan sang permaisuri. Bau bunga cempaka putih dan melati memenuhi udara, menyatu dengan wangi dupa dan abu pembakaran kayu gaharu. Putri Dyah kini tampak lebih tenang. Itu semua berkat kata-kata Aruna sebelumnya—kata-kata sederhana tapi menyejukkan hatinya.
“Gusti Putri, bila air mata adalah bentuk cinta, maka biarkan beliau berlayar di sungai kasih yang jernih, bukan tenggelam dalam kesedihan,” ucap Aruna lembut waktu itu. Kata-kata itu menembus dinding hatinya yang retak. Ia tahu, ibundanya telah tenang di alam lain, dan kini tugasnya adalah menjaga warisan kebijaksanaan sang permaisuri.
Namun jauh di sudut istana, di ruang rahasia yang gelap dan beraroma dupa, Selir Ken Suryawati duduk bersimpuh di hadapan cermin perunggu. Ia menatap bayangannya yang samar, senyumnya makin lebar.
“Segalanya baru dimulai...,” bisiknya, suaranya lembut tapi mengandung racun. Dan di antara kepulan dupa duka itu, langit Samudra Jaya tampak memerah—seakan memberi tanda bahwa kedamaian di kerajaan itu akan segera berganti dengan badai.