Amira menikah dengan security sebuah pabrik di pinggiran kota kecil di Jawa Timur. Awalnya orang tua Amira kurang setuju karena perbedaan status sosial diantara keduanya tapi karena Amira sudah terlanjur bucin maka orang tuanya akhirnya merestui dengan syarat Amira harus menyembunyikan identitasnya sebagai anak pengusaha kaya dan Amira harus mandiri dan membangun bisnis sendiri dengan modal yang diberikan oleh orang tuanya.
Amira tidak menyangka kalau keluarga suaminya adalah orang-orang yang toxic tapi ia berusaha bertahan sambil memikirkan bisnis yang harus ia bangun supaya bisa membeli rumah sendiri dan keluar dari lingkungan yang toxic itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyuni Soehardi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Ani dan Amira baru sampai dirumah setelah selesai mengurus kebutuhan sekolah Ani.
“Aku lapar sekali semoga ibu sudah selesai memasak.” Ani bergumam sambil mengambil barang-barangnya di jok belakang.
“Ibu masak apa Bu?” Tanya Amira sambil membuka tudung saji. Disitu tersedia sayur lodeh labu siam, tempe mendoan, dan ikan goreng tak ketinggalan sambal terasi dalam mangkuk. Amira mengambil satu tempe mendoan dan memakannya.
“Amira cuci tangan dulu. Habis bepergian kok langsung nyomot makanan ya. Kebiasaan.” Tegur mertuanya.
“He… he maaf bu habis lapar banget.” Jawab Amira sambil berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan.
“Bagaimana keperluan sekolah mu nduk. Semua sudah lengkap?” Tanya ibu.
“Alhamdulillah sudah bu. Lihat semua sudah lengkap dan mbak Amira yang belikan ini semua.” Ani menunjukkan perlengkapan sekolahnya dengan gembira pada ibunya.
“Ya Allah banyak sekali nduk. Seragam baru, buku-buku bahkan tasmu juga baru?” Ibu kagum dengan kelengkapan sekolah anak perempuan nya.
“Mir terimakasih ya nak. Kamu baik sekali. Ini semua kan menghabiskan uang banyak nak.” Ucap ibu dan matanya berkaca-kaca.
“Itu semua demi masa depan Ani bu. Tapi ada syaratnya. Ani harus belajar dengan rajin dan tidak boleh berpacaran. Bantuan dari mbak tidak gratis lho.” Jawab Amira.
“Dengerin tu dan satu lagi ga boleh minta barang yang tidak penting. Ga usah iri kalau melihat temannya atau orang lain punya barang baru. Fokus belajar. Mengerti Ani.” Ibu menambahkan persyaratan Amira.
“Ibu sudah makan. Amira makan ya Bu. Laper banget.” Ajak Amira.
“Ibu baru selesai masak belum makan, ayo kita makan sama-sama saja. Ani cuci tangan dulu setelah itu ayo kita makan. Kata ibu.
“Iya bu, bentar Ani simpan dulu keperluan sekolahku dikamar. Jawab Ani.
Ibu dan Amira sudah duduk di meja makan. Pintu terbuka dan tampak wanita bertubuh subur muncul dengan anaknya.
“Kalian mau makan?” Tanyanya.
“Sebaiknya kau makan disini saja tidak usah bawa lauk pulang.” Kata ibunya.
“Iya memang aku mau makan disini kok, lumayan ga perlu cuci piring.” Jawabnya.
“Kamu ini dari dulu malasnya minta ampun, jadi perempuan mbok ya ngerti kerjaan sedikit. Jangan jadi perempuan tidak berguna. Bikin malu saja. Untung suamimu itu sabar. Kalau tidak bisa cari wanita lain itu.” Ketus ibunya.
“Tidak mungkin suamiku meninggalkanku. Kalau kebalik itu mungkin.” Bantah Erna.
“Apa maksudmu Erna. Jangan coba-coba main api kamu ya. Kurang apa suami mu itu. Tampan, punya pekerjaan tetap, gaji sangat mencukupi. Kamu harus bersyukur.” Nasehat ibunya seolah hanya angin lalu saja bagi wanita subur itu. Mulutnya sibuk ngunyah. Tanpa memperdulikan anaknya yang cuma makan dengan tempe mendoan dan nasi.
Amira hanya melihat saja drama ibu dan anak tanpa berminat ikut campur. Sesekali dia mencuil daging ikan dan memberikannya pada Dinar. Dia merasa kasihan pada gadis kecil itu karena ibunya tidak menaruh perhatian sama sekali pada kebutuhan gizi anaknya.
Ani bergabung dengan mereka dan mulai makan siang.
“Ani ibu sudah masak dua macam. Untuk besok ada rawon itu bisa kamu hangatkan kalau mau makan. Ada ungkepan ayam cukup banyak di kulkas, tahu dan tempe ada cukup banyak stok. Sambelnya cukup untuk beberapa hari. Jadi selama ibu pergi kamu tidak perlu repot-repot masak tinggal menghangatkan rawon, goreng ayam dan tahu tempe saja.” Kata ibu.
“Ibu mau kemana?” Tanya Erna.
“Mau ke Surabaya ada wasiat dari uwak Ratih yang harus disampaikan ke Agus.” Jawab ibu.
“O ya mobil putih didepan itu mobilnya siapa? Aku pikir ada tamu tapi mana tamunya?”
“Itu mobilnya mamaku mbak, besok aku mengantar ibu ke Surabaya.” Jawab Amira.
“Kamu bisa nyetir Mir?” Tanya kakak iparnya.
“Iya bisa. Waktu kuliah aku biasa membawa mobil sendiri. Sekarang mobilku ku tinggal di Surabaya” katanya lagi.
“Kenapa tidak kau bawa kemari saja Mir kan enak kalau dipakai pergi-pergi sekeluarga, bisa ku pinjam juga untuk mengantar sekolah Dinar. Aku akan belajar menyetir.
“Yang punya siapa yang pakai siapa, ini di desa mbak buat apa mobil? Motor saja sudah cukup toh daerah ini tidak seluas Surabaya.” Kata Amira.
“Tapi orang tuamu punya mobil kan pekerjaan nya lokasinya di desa juga. Sahutnya tidak mau kalah.
“Papaku seorang direktur iya kali direktur pake motor. Mama ku punya bisnis ya jelas naik mobil kalau pergi bekerja bukan untuk gaya-gayaan kan mbak?”
“Aku belum memiliki bisnis disini masih mau merintis itu artinya harus mulai dari 0. Biaya operasional harus diperhitungkan. Kalau pakai mobil biaya perawatan dan bensin nya beda dengan motor. Makanya aku beli motor baru bukan mobil,” jawab Amira
“Tuh dengerin adik iparmu. Walaupun orang tuanya direktur dia ga malu merintis bisnis mulai dari 0. Lah kamu kerjanya sosialita saja. Kalau tidak suka masak ya bisnis apa kek yang bisa membantu perekonomian keluarga.” Kata ibunya.
“Mir kalau papamu direktur apa tidak bisa suamimu dicarikan pekerjaan yang lebih baik?” Kata ibu.
“Pekerjaan security di pabrik tempat papa bekerja itu yang mencarikan juga papa bu. Mas Dedy bukan sarjana ga ada pengalaman kerja yang mendukung. Masih untung bisa diterima di bagian security.” Jawab Amira.
Amira akhirnya membongkar siapa dirinya setelah menilai bahwa keluarga suaminya tidak terlalu parah toxic nya. Alias masih sedikit waras dan masih bisa ditoleransi.
“Mama mu punya bisnis apa Mir?” Tanya ibu.
“Ibu ingat saat makan malam keluarga di restoran yang membahas pernikahanku?” tanya Amira.
“Iya ingat, restoran itu bagus sekali dan makanannya sangat enak.” Kata ibu.
“Itu restoran mama saya.” Kata Amira.
“Haah….serius Mir?” Kapan-kapan aku makan disana bisa gratis dong.” Kata kakak ipar tidak tahu malu itu.
“Ga ada gratisan. Tetep bayar atau resiko dilaporkan ke polisi. Itulah alasan kenapa aku ga mau memberitahukan tentang keluargaku untuk menghindari orang luar yang mental gratisan. Kecuali aku yang mengajak ibu makan disana tentu aku yang bayar. Bisnis itu harus disiplin mbak ga ada gratis-gratisan dengan alasan saudara. Bisa bangkrut bisnis kita.” Kata Amira.
“Percuma kaya tapi pelit. Ga ada amal-amal nya.” Ketus Erna.
“Amal itu ke fakir miskin mbak bukan ke istri manager yang pelit.” jawab Amira.
“Sudah-sudah kalau makan jangan ribut.” Lerai ibu dia cukup shock mengetahui kenyataan kalau besannya bukan orang sembarangan.
“Wati kalau sudah selesai makannya pulanglah ibu mau istirahat dulu. Ani kau yang mencuci piring ya.” Perintah ibu.
“Iya bu. Nanti kalau semua sudah selesai makan semua Ani yang beresin.” Jawab Ani.
“Ibu selalu tidak adil padaku. Main usir saja.” Sungutnya
“Kalau ada kamu kepala ibu pusing. Kau ini dari dulu selalu menjadi biang keributan, sudah sana pulang.” Ketus ibu.
“Mir kira-kira kita butuh berapa hari di Surabaya?” Tanya ibu.
“Tergantung bu, kalau cepet ketemu ya semalam aja. Tapi kalau tidak ketemu ya terpaksa nunggu sampai ketemu.” Kata Amira.
“Masa kita menginap dirumah adiknya suami uwak Ratih yang pertama?” Nada ibu sedikit khawatir seolah bertanya pada dirinya sendiri.
“Kalau soal itu tidak usah khawatir bu. Kita akan menginap di rumah cafe” Kata Amira.
“Rumah cafe? Maksudmu?”
“Adikku menjalankan usaha cafe di Surabaya bu, diluar untuk cafe, sampingnya restoran steak dan bagian belakang untuk rumah tangga.” Jawab Amira.
“Kita akan menengok nenek. Begitu tiba di Surabaya setelah itu kita istirahat dirumah cafe. Sorenya kita ke rumah adik ipar uwak Ratih.” Kata Amira.
Sore itu Amira menyajikan teh chamomile dan kue yang dibelinya di pasar.
Untuk para laki-laki kopi rempah khas racikan Amira.
“Dedy besok ibu pergi ke Surabaya diantar oleh istrimu ada surat wasiat dari uwak Ratih untuk anak kandungnya dengan suami pertamanya. Dia tinggal dirumah pamannya di Surabaya.”
“Mobil siapa diluar itu dek” tanya suaminya.
“Itu mobil mamaku, aku pinjam buat nganterin ibu ke Surabaya besok.” Jawab Wati.
“Kau bisa nyetir, tidak-tidak mas tidak ijinkan.”
“Apa sih mas, aku sudah sering menyetir Surabaya - madiun sebelum ketemu kamu. Jangan lebay deh.”
“Sudahlah ded, percayalah pada istrimu Amira ini bukan menantu biasa. Semua serba bisa. Ga bakal kenapa-kenapa ini anak.” Kata mas Adam sambil mencomot kue lagi.
Dedy hanya menggaruk-garuk kepalanya dan kembali menyeruput kopinya