NovelToon NovelToon
Sebaiknya Kamu Lari

Sebaiknya Kamu Lari

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Dosen / Nikahmuda / Duniahiburan
Popularitas:895
Nilai: 5
Nama Author: HARJUANTO

Hanya cerita fiktif belaka, jangan dijadikan keyakinan atau kepercayaan. Yang pasti ini adalah cerita horor komedi.

Awalnya dia hanyalah seorang ibu biasa tetapi saat dia kehilangan putrinya saat mengikuti masa orientasi penerimaan mahasiswi baru, dia tak tinggal diam. Kematian putrinya yang mencurigakan, membuatnya tak terima dan mencari tahu penyebab kematiannya serta siapa yang paling bertanggung jawab.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 : Gotcha!

​Langit malam pekat seperti tinta yang tumpah di atas kanvas tak bertepi. Di sebuah kamar yang diselimuti keheningan yang menyesakkan, Agni mendesah, helaan napasnya sarat akan kegelisahan yang merayap naik, mencengkeram hatinya seperti sulur tanaman beracun. Matanya tak pernah lepas dari dua jarum jam yang tergantung di dinding, yang bergerak dengan lambatnya, seolah mengejek penantiannya yang tak berujung.

Jarum pendek telah lama melampaui angka dua belas, menyeret malam menuju dini hari. Di luar, sayup-sayup terdengar kumandang azan Subuh pertama dari kejauhan, sebuah panggilan suci yang biasanya membawa ketenangan, namun malam ini hanya menambah riak kecemasan di benaknya. Putri sulungnya, Anggi, belum juga bisa dihubungi.

​"Anggi, kamu di mana, Nak?" gumam Agni pada udara kosong di kamarnya.

Suaranya serak, sebuah campuran antara cemas yang membakar dan kekesalan yang mulai memuncak. Jemarinya yang sedikit gemetar kembali menekan tombol panggil di layar ponselnya, berharap keajaiban akan terjadi. Namun yang menyambutnya hanyalah nada tunggu yang monoton dan dingin, sebuah penolakan digital yang terasa begitu personal. Ia melempar ponselnya ke atas ranjang dengan frustrasi.

Bayangan-bayangan buruk berkelebat di kepalanya, skenario-skenario mengerikan yang coba ia tepis namun terus kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Ini bukan sekadar kegiatan orientasi mahasiswa biasa, firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Ia teringat percakapan terakhirnya dengan Anggi kemarin sore, tentang acara "Perburuan Malam" yang terdengar lebih seperti perpeloncoan terselubung daripada ajang keakraban.

​Jauh di dalam perut hutan, di bawah kanopi pepohonan yang merintikkan sisa air hujan, Anggi mengusap wajahnya dengan kasar. Tetesan air dingin yang berhasil menyusup melalui celah tudung jaketnya terasa seperti tusukan jarum es di kulitnya. Napasnya memburu, membentuk kepulan uap tipis di udara malam yang membekukan. Dari balik perlindungan semak belukar yang basah dan berbau tanah, ia mengintip dengan hati-hati.

​Pemandangan di kejauhan membuat darahnya mendidih. Di sebuah tanah lapang yang diterangi oleh beberapa sorot senter, Evelyn dan gerombolan kakak tingkatnya (kating) tertawa terbahak-bahak. Tawa mereka yang melengking terdengar mengerikan, memantul di antara pepohonan dan menyatu dengan suara serangga malam. Objek tawa mereka adalah beberapa mahasiswi baru, teman-teman seangkatannya, yang kini berdiri tak berdaya. Pakaian mereka belepotan cat warna-warni dari peluru paintball, dan tubuh mereka diikat ke batang-batang pohon dengan tali tambang, seperti tawanan perang.

​"Besok pagi baru kami lepaskan kalian! Hahaha, nikmati malam kalian bersama nyamuk hutan!" seru salah seorang kating pria dengan suara yang dibuat-buat seram, disambut gelak tawa yang lain.

​"Jangan, Kak, tolong jangan tinggalin kami di sini," seorang mahasiswi terisak, suaranya bergetar karena panik dan dingin. Permohonannya ditelan oleh tawa kejam para senior.

​Tiba-tiba, terdengar bunyi srek!—sebuah ranting patah terinjak tak jauh dari persembunyian mereka.

​Insting Evelyn setajam elang. Ia langsung membeku, tawanya berhenti seketika. Dengan gerakan cepat dan terlatih, ia menyorotkan cahaya senter yang terpasang di ujung senapan paintball-nya ke arah sumber suara—tepat ke arah semak-semak tempat Anggi bersembunyi.

​Refleks Anggi bekerja sepersekian detik lebih cepat. Ia menarik kepalanya ke bawah, merasakan daun-daun basah menampar wajahnya. Jantungnya berdebar begitu kencang seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Ia menempelkan telunjuk di bibirnya, memberikan isyarat mutlak pada Dina dan dua mahasiswi baru lainnya yang gemetar ketakutan di sampingnya untuk diam seribu bahasa. Satu suara saja, maka permainan ini akan berakhir bagi mereka.

​Evelyn menyipitkan matanya, menatap tajam ke dalam kegelapan semak-semak. Merasa tidak ada pergerakan lebih lanjut, ia menekan alat komunikasi nirkabel yang menempel di telinganya. "Ovi, masuk. Ovi, monitor? Bagaimana situasi di sektor timur? Sudah dapat semua buruannya?" tanyanya, suaranya rendah dan terkendali.

​Dari seberang, terdengar suara Ovi yang diselingi tawa puas. "Hahaha... aman terkendali, Lyn! Cepat dan mudah! Beberapa dari mereka bahkan langsung keluar dari persembunyian sambil mengangkat tangan, menyerah begitu saja. Parah! Generasi sekarang memang lembek dan gampang menyerah, ckckck."

​Evelyn tersenyum sinis. "Tidak seperti kita dulu, ya? Bertahan sampai fajar menyingsing. Ngomong-ngomong, dari semua yang kau tangkap, apa kau lihat si Sok Pintar itu?"

​Ada jeda sejenak. Anggi menahan napas. Ia tahu persis siapa yang Evelyn maksud dengan julukan itu.

​"Bentar, gue cek wajah mereka satu-satu," sahut Ovi. Terdengar suara langkah kaki dan gumaman dari seberang. Beberapa detik kemudian, suara Ovi kembali mengudara. "Negatif, Lyn. Dia tidak ada di antara tawananku. Sepertinya target utamamu masih berkeliaran bebas."

​Evelyn mengangguk-angguk pelan, seringai di wajahnya semakin lebar. "Bagus. Biarkan saja. Kalau kau melihatnya, cukup laporkan posisinya padaku. Jangan kau sentuh. Dia bagianku."

​"Hahaha, oke, siap laksanakan, komandan! Perburuan pribadi, ya?" ledek Ovi. Evelyn tidak menjawab, hanya mematikan komunikasinya. Ia bergumam pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar, "Aku tahu kau ada di sekitar sini, Anggi. Aku bisa mencium bau perlawananmu. Dan aku akan menemukanmu."

​Ia kemudian memberi isyarat tangan pada rekan-rekannya untuk kembali bergerak, menyisir area lain. Sebelum mereka pergi, salah satu mahasiswi yang terikat di pohon memberanikan diri bertanya dengan suara lirih, "Kak... kalau ada binatang buas gimana?"

​Seorang kating pria yang tadi berteriak, menoleh dengan ekspresi mengejek. "Oh, gampang. Kalau ada binatang buas, kalian pura-pura mati saja. Diam, jangan bergerak. Katanya, binatang buas tidak doyan makan bangkai."

​"B-betulan, Kak?" tanya mahasiswi lain dengan ragu.

​Kating itu mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Tidak tahu juga, sih. Aku belum pernah coba soalnya. Hahaha!"

​Setelah melontarkan lelucon kejam itu, ia dan yang lainnya tertawa sambil berjalan pergi, menyusul Evelyn ke dalam kegelapan. Mereka sama sekali tidak menghiraukan panggilan panik dan isak tangis para mahasiswi yang ditinggalkan terikat, sendirian dalam pekatnya malam hutan.

​Di persembunyiannya, Anggi mengepalkan tangannya. Amarahnya membara, namun ia tahu ini bukan saatnya. Langkah kaki Evelyn dan timnya kini terdengar semakin mendekat ke posisi mereka. Anggi bisa melihat sapuan cahaya senter mereka menari-nari liar di atas kepalanya, menembus dedaunan dan menciptakan bayangan-bayangan yang menakutkan. Ia kembali memberi isyarat, kali ini lebih mendesak, agar Dina dan dua maba lainnya merunduk serendah mungkin, menempelkan tubuh mereka ke tanah yang lembap.

​Tiba-tiba, suara Evelyn terdengar lagi, kali ini lebih seperti panggilan yang licik. "Anggiii... Anggiiii... Aku tahu kamu ada di sekitar sini. Ayolah, keluar saja. Menyerahlah supaya permainan kita cepat selesai. Semakin cepat kamu menyerah, semakin cepat kita semua bisa pulang ke tenda dan beristirahat dengan hangat."

​Itu adalah sebuah jebakan, bujukan beracun.

​"Apakah benar begitu, Nggi?" bisik Dina di sebelahnya, suaranya nyaris tak terdengar. Harapan palsu mulai merayapinya.

​Anggi menggeleng tegas. "Jangan percaya," balasnya berbisik. "Mereka akan tetap mengikat kita di pohon sampai pagi. Aku kenal Evelyn."

​Dina melirik kedua mahasiswi di sisinya. Wajah mereka pucat pasi, bibir mereka membiru, dan pakaian mereka basah kuyup oleh hujan dan keringat dingin. "Tapi kita sudah lelah, Nggi. Basah dan kedinginan," desis Dina, menyuarakan keputusasaan mereka. Kedua mahasiswi itu mengangguk lemah, setuju.

​"Kalau kalian mau menyerah, silakan," sahut Anggi, suaranya tajam namun tetap dalam bisikan. "Tapi aku tidak akan. Minimal, aku mau menunjukkan pada mereka kalau angkatan kita bukan generasi lembek seperti yang mereka pikir."

​Tepat saat itu, suara jejak kaki di tanah basah terdengar begitu dekat. Sangat, sangat dekat.

​Jantung Dina serasa berhenti berdetak. Ia bisa mendengar deru napas Evelyn dan kating lainnya hanya beberapa meter dari persembunyian mereka. Sunyi.

Mereka semua berhenti bergerak. Anggi membeku seperti patung, menyatukan dirinya dengan semak-semak. Di sebelahnya, kedua mahasiswi itu berpegangan tangan erat, tubuh salah satu dari mereka mulai bergetar hebat tak terkendali, entah karena takut atau dingin yang menusuk tulang.

​Kletak... kletak... kletak...

​Sebuah suara samar memecah kesunyian. Suara gigi yang saling beradu karena gemetar.

​Evelyn, yang memiliki pendengaran tajam, segera memberi isyarat pada rekan-rekannya untuk berhenti total dan diam. Ia memiringkan kepalanya, mencoba melacak sumber suara itu. Anggi pun mendengarnya. Matanya membelalak panik. Ia menoleh ke arah mahasiswi yang gemetaran itu, memberikan isyarat dengan matanya, memohon padanya untuk mengendalikan diri. Namun, getaran itu terlalu kuat, sebuah reaksi alami tubuh yang tak bisa dilawan.

​Situasi tampak tanpa harapan. Mereka akan ketahuan.

​Namun, dalam sepersekian detik yang genting itu, Dina bereaksi.

Dengan gerakan cepat dan senyap, ia merogoh sakunya, mengeluarkan sapu tangan, dan dengan lembut menyusupkannya di antara gigi mahasiswi yang gemetaran itu. Seketika, suara gemeretak itu berhenti.

​Di luar, Evelyn mengerutkan keningnya. Suara itu hilang. Apakah hanya imajinasinya? Seekor hewan kecil? Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa sedikit bingung. Anggi menatap Dina dengan penuh terima kasih dan mengacungkan jempolnya dalam gelap. Sebuah tindakan kecil yang menyelamatkan mereka semua.

​Merasa tidak menemukan apa-apa, Evelyn akhirnya memberi isyarat pada rekan-rekannya untuk melanjutkan pencarian ke lokasi lain. Mereka baru saja akan melangkahkan kaki mereka pergi. Anggi, Dina, dan yang lainnya baru saja akan menghembuskan napas lega.

​Tiba-tiba.

​Drrrrtttttt. Drrrrtttttt. Drrrrtttttt.

​Sebuah getaran kuat dan berisik terasa dari dalam saku jaket Anggi. Ponselnya!

​Dunia seakan runtuh di sekeliling Anggi. Matanya terbelalak ngeri. Dina dan kedua mahasiswi lainnya menatapnya dengan ekspresi cemas yang luar biasa.

Dengan tangan gemetar, Anggi merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel itu. Di layarnya yang menyala redup, tertera nama "Mama".

​Di luar semak-semak, senyum kemenangan yang kejam tersungging di bibir Evelyn. Ia tahu persis suara apa itu dan dari mana asalnya. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat senapan paintball-nya, mengarahkannya tepat ke semak-semak yang menjadi sumber suara.

​Anggi panik. Ia menekan tombol merah dengan cepat, mematikan panggilan dari ibunya, lalu buru-buru menyimpan kembali ponsel itu. Ia memberi isyarat panik pada yang lain: "BERPENCAR! SEKARANG!"

​Namun, semuanya sudah terlambat. Saat mereka bergerak untuk melarikan diri, tim Evelyn sudah mengepung mereka.

​"Hey! Dua orang kabur ke sana!" teriak seorang kating, melihat dua mahasiswi yang ketakutan berlari tanpa arah keluar dari persembunyian.

​Seketika, sorot-sorot senter yang kuat mengunci target mereka. Suara letusan senapan paintball memecah malam, pop! pop! pop! Peluru-peluru cat menghantam punggung dan kaki kedua mahasiswi itu. Mereka menjerit kesakitan dan jatuh tersungkur ke tanah yang berlumpur, permainan telah berakhir bagi mereka.

​Di tengah kekacauan itu, Anggi memanfaatkan momen. Ia menarik lengan Dina dengan kuat. "LEWAT SINI, CEPAT!" teriaknya, membawanya lari ke arah yang berlawanan, lebih dalam ke hutan.

​Evelyn melihat kelebatan mereka. "Brengsek!!" umpatnya, marah karena target utamanya lolos. Ia tidak peduli lagi dengan dua mahasiswi yang sudah tertangkap. Dengan amarah yang meluap, ia membalikkan badan, mengarahkan senapannya pada bayangan Anggi dan Dina yang berlari zig-zag di antara pohon-pohon, lalu melepaskan rentetan tembakan. Beruntung, dalam kegelapan dan gerakan cepat, tak satu pun peluru cat itu mengenai sasaran.

​"JANGAN BIARKAN MEREKA LOLOS! KEJAR!" teriak Evelyn pada timnya. Ia pun berlari dengan kecepatan penuh, memimpin pengejaran dengan napas yang memburu karena adrenalin dan dendam.

​Hujan telah berhenti sepenuhnya. Langit hitam legam perlahan mulai memudar, berganti dengan warna abu-abu kebiruan di ufuk timur. Fajar akan segera tiba. Suara ayam hutan mulai terdengar, menandakan kehidupan baru akan dimulai.

​Bagi Anggi dan Dina, malam panjang mereka belum berakhir. Mereka terus berlari, paru-paru mereka terasa seperti terbakar, dan otot-otot kaki mereka menjerit protes. Di belakang mereka, Evelyn dan para kating terus mengejar dengan energi yang seolah tak ada habisnya.

​Anggi melirik ke atas, ke langit yang mulai terang. "Sebentar lagi pagi, Din! Aturannya, permainan selesai saat matahari terbit! Kalau kita bisa bertahan tidak tertembak sampai pagi, kita yang menang!" serunya, mencoba menyemangati Dina dan dirinya sendiri.

​Dina mengangguk, semangatnya kembali tersulut. Namun, nasib berkata lain. Lari mereka tiba-tiba terhenti. Di depan mereka terbentang seutas pita bendera berwarna merah terang yang diikat di antara dua pohon. Itu adalah garis batas area permainan. Melanggarnya berarti diskualifikasi. Mereka terpojok.

​"Kita terobos saja, Nggi!" seru Dina, terengah-engah.

​"Tidak bisa, Din! Kita tidak boleh melanggar aturan," sahut Anggi, otaknya bekerja cepat. "Tapi... ada satu cara lain."

​Dina menatap Anggi, matanya penuh tanya, siap mendengarkan ide gila apa pun yang akan keluar dari mulut sahabatnya itu.

​Sementara itu, di kamar yang kini mulai diterangi cahaya pagi, Agni menatap ponselnya dengan putus asa. "Kenapa dimatikan, sih?" keluhnya pada benda mati itu.

​Azan Subuh kedua telah lama berlalu, bahkan waktu Subuh pun sudah lewat. Sebentar lagi matahari akan terbit sepenuhnya. Matanya terasa perih dan berat, ia sama sekali belum tidur. Agni mengucek-ngucek matanya, mencoba menghilangkan rasa lelah yang menghimpitnya, lalu dengan sisa harapan ia mencoba menghubungi nomor Anggi sekali lagi.

​Ia menunggu beberapa saat. Tapi kali ini, bahkan tidak ada nada sambung. Hanya keheningan. Panggilan itu tidak masuk sama sekali. Ponsel Anggi mati.

​Dicobanya lagi, dan lagi, dan lagi. Hasilnya tetap sama.

​Sebuah ketakutan yang dingin dan tajam menusuk jantungnya, lebih buruk dari semua kecemasan yang ia rasakan sepanjang malam.

​"Arrrggh... Anggi!!" serunya, suaranya pecah oleh campuran kekesalan, ketakutan, dan keputusasaan yang tak tertahankan. Pagi yang datang tidak membawa kelegaan, melainkan sebuah babak baru dari mimpi buruk yang entah kapan akan berakhir.

1
HARJUANTO
😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!