Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertumpahan darah 1
Ledakan dari arah dapur membuat lampu gantung kristal bergetar hebat. Pecahannya jatuh menghantam meja jamuan, membuat anggur merah tumpah seperti darah segar. Para tamu menjerit, sebagian berlari mencari perlindungan, sementara yang lain justru mengeluarkan pistol dari balik jas mereka.
Aruna terpaku di kursinya. Napasnya memburu, tubuhnya kaku. Dunia terasa berputar. Apa ini nyata? Apa aku sedang berada di neraka?
Leonardo berdiri di sampingnya, wajahnya dingin, matanya memantulkan api. Ia meraih Aruna dengan satu gerakan cepat, menyembunyikannya di balik tubuhnya. “Jangan lepas dariku,” suaranya rendah namun penuh kekuatan.
Detik berikutnya, tembakan pertama pecah. Dentumannya menggelegar, memecah keheningan yang tersisa. Seorang tamu jatuh bersimbah darah, membuat semua orang panik.
---
“PERANGKAP!” teriak Marco, tangan kanan Leonardo, sambil mengeluarkan pistol dari balik jasnya.
Puluhan pria bersenjata Mancini menyerbu masuk melalui pintu samping. Mereka mengenakan setelan hitam, wajah tanpa emosi, gerakan terlatih. Aula jamuan berubah menjadi medan perang.
Leonardo mendorong Aruna ke bawah meja panjang. “Tetap di sana! Jangan keluar sampai aku bilang!”
Aruna hendak protes, tapi kata-katanya terhenti ketika suara peluru menghantam dinding marmer. Ia meringkuk, menutup telinganya, tubuhnya gemetar hebat.
---
Di atasnya, Leonardo bergerak seperti singa yang terlepas dari kandang. Ia menarik dua pistol perak dari balik jas, lalu melepaskan tembakan beruntun dengan presisi mematikan.
“DOR! DOR! DOR!”
Tiga pria Mancini roboh seketika, darah mereka menciprat ke lantai putih mengilap.
Aruna menahan napas. Meski ketakutan, matanya tak bisa lepas dari punggung Leonardo. Inilah sisi lain pria itu—dingin, cepat, kejam. Namun dalam setiap gerakannya, ia melihat sesuatu: obsesi untuk melindungi dirinya.
---
Tiba-tiba, seorang pria Mancini mendekat dari samping, menodongkan senjata ke arah meja tempat Aruna bersembunyi.
Aruna membeku. Ia bisa melihat lubang hitam di ujung pistol itu. Waktu seakan berhenti.
“LEO!” teriaknya.
Namun sebelum pria itu sempat menembak, tubuhnya terjerembab. Sebilah pisau menancap tepat di tenggorokannya. Marco berdiri di belakangnya, wajahnya garang. “Jangan pernah mendekat ke nona,” geramnya.
Aruna terisak, dadanya sesak. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat.
---
Pertarungan kian brutal. Pecahan kaca, kursi terbalik, dan tubuh bergelimpangan memenuhi aula. Teriakan bercampur dengan suara tembakan, aroma mesiu menyesakkan udara.
Leonardo terus bergerak, seolah setiap peluru tahu ke mana harus menghantam. Ia menembak, menghindar, lalu menendang seorang lawan hingga jatuh.
Namun Don Vittorio Mancini hanya duduk di singgasananya di ujung ruangan, menonton dengan tenang. Senyumnya tipis, matanya menyala penuh kebencian. Seakan ia memang menantikan pertunjukan ini.
---
Aruna yang masih bersembunyi mulai merasa tak tahan. Ia menggigil, tapi juga sadar: jika perang ini benar-benar jebakan, maka mereka tidak akan berhenti sampai Leonardo mati.
Ia mengintip dari balik meja. Dua pria Mancini mendekat dari belakang Leonardo, siap menembak.
“LEONARDO! BELAKANGMU!” teriaknya spontan.
Leonardo menoleh cepat, lalu berputar. Ia menjatuhkan salah satunya dengan tembakan di dada, sementara yang lain dihantam dengan tendangan keras hingga terhempas menabrak meja.
Ia menatap Aruna sejenak, matanya membara. “Tetap di bawah! Jangan keluar!”
Aruna mengangguk dengan air mata bercucuran. Ia tak tahu apakah harus bangga atau semakin takut.
---
Pertempuran berlangsung beberapa menit yang terasa seperti seabad. Tubuh-tubuh berserakan, lantai marmer putih kini berubah merah.
Akhirnya, suara tembakan mulai mereda. Sisa anak buah Mancini mundur, membiarkan aula penuh kehancuran.
Don Vittorio berdiri perlahan, bertepuk tangan. “Mengagumkan, Leonardo. Seperti yang kuharapkan dari seekor singa. Tapi ingat, singa yang marah tetap bisa dikurung. Dan kelemahanmu sudah jelas ada di depan semua orang malam ini.”
Tatapannya beralih ke Aruna, yang masih bersembunyi di bawah meja.
Leonardo mengangkat pistol, menodongkan langsung ke arah Don Vittorio. “Sentuh dia, Vittorio, dan ini malam terakhirmu di dunia.”
Tapi sang Don hanya tersenyum dingin. “Kita lihat saja, King. Ini baru awal. Perang kita baru dimulai.”
---
Dengan isyarat tangannya, Don Vittorio meninggalkan aula bersama para pengawalnya. Suara sepatu mereka bergema, meninggalkan sisa kehancuran.
Leonardo menghela napas berat, lalu segera menghampiri Aruna. Ia meraih tubuhnya, mendekap erat.
Aruna gemetar, air matanya tak berhenti mengalir. “Aku… aku hampir mati… Leo…”
Leonardo menunduk, menempelkan keningnya pada kening Aruna. “Kau tidak akan mati. Tidak selama aku masih bernapas.”
Suara itu lembut, namun juga mengerikan. Karena kini Aruna sadar, Leonardo benar-benar akan menghancurkan dunia jika itu berarti melindunginya.
---
Malam itu, Villa Rosetta menjadi saksi pertumpahan darah pertama.
Dan bagi Aruna, ini hanyalah gerbang menuju neraka yang lebih dalam.