Yue menerima perjodohan itu dengan satu kata singkat. "Ya."
Bukan karena cinta, jauh dari itu. Dia hanya berpikir hidupnya akan seperti kisah di film atau novel yang sering dia tonton, klasik, klise, dan penuh drama. Seorang pria kaya raya yang dingin dan tak acuh, yang diam-diam mencintai wanita lain, dan hanya menikah karena tekanan keluarga. Lalu Yue akan menjalani hidup sebagai istri formal, tidak dicintai, tapi tetap hidup mewah. Simple.
Satu-satunya alasan Yue setuju hanyalah karena satu kata sakral, UANG. Dia realistis, bukan romantis. Tapi yang terjadi, sungguh berbeda.
Pria itu, Raymon Sanchez tidak sesuai skrip. Sejak hari pertama mereka bertemu, bukan tatapan datar yang dia terima, melainkan pandangan tajam seolah dia adalah teka-teki yang ingin dia pecahkan. Bukan sikap acuh, tapi perhatian yang menusuk hingga ke tulang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Gila Untung Kaya
Raymon kembali ke kamar dengan langkah tenang dan penuh percaya diri.
Pintu terbuka tanpa suara, cahaya lampu kamar yang hangat menyorot wajah Yue yang tengah duduk bersandar di sofa, masih mengenakan daster satin tipis yang jatuh longgar di tubuh mungilnya.
"Sayang." suara Raymon terdengar lembut, nyaris manis jika tak ada nada licin yang tersembunyi di baliknya. Dia menghampiri tanpa terburu-buru, lalu duduk di dekat paha istrinya.
Jemarinya yang dingin mengusap pelan wajah Yue dengan lembut, seperti menyentuh barang berharga yang rapuh.
"Sudah bisa berjalan sendiri?" tanyanya, menatap dalam ke arah mata istrinya.
Yue menoleh pelan, sorot matanya tajam meski tubuhnya terlihat lelah.
"Lucu, kau pikir ini sesuatu yang layak dibanggakan?"
Raymon tersenyum kecil, tak tersinggung. Dia justru terlihat puas.
Dia tahu Yue marah. dia tahu istrinya merasa dirampas banyak hal, termasuk hak untuk memilih kapan dan bagaimana dia mencintai seseorang.
Tapi bagi Raymon, setiap emosi dari Yue adalah bukti bahwa wanita itu masih hidup dan selama dia masih hidup, Raymon masih punya celah untuk mengikatnya lebih dalam.
"Bukan soal bangga atau tidak." bisiknya, menunduk mendekat. "Aku hanya ingin tahu, apakah aku harus menggendongmu lagi seperti tadi pagi." godanya.
Wajah Yue memerah, entah karena marah atau malu, tapi dia tak menjawab. Dia menepis tangan Raymon yang masih menyentuh pipinya.
Gerakannya tidak kasar, tapi tegas.
Raymon mengamati itu sejenak, lalu bangkit berdiri dan merapikan daster di pundak Yue, memperbaiki posisi kain seperti seorang suami yang perhatian.
"Kau akan terbiasa, Yue." katanya pelan, seolah menjanjikan sesuatu atau mengancam.
Lalu dia membalik badan, berjalan menuju lemari untuk mengambil baju ganti.
Sial… seharusnya tidak begini!
Pernikahan karena perjodohan seharusnya formal saja. Kaku, datar, dingin. Tidak harus ada gairah, tidak harus ada sentuhan yang membuat napas tercekat dan tubuh lemas keesokan harinya.
Tidak harus ada laki-laki dengan sorot mata seperti binatang lapar yang akhirnya mendapatkan mangsanya, setelah bertahun-tahun berburu dalam bayang-bayang.
"Astaga."
Yue memejamkan matanya, mencoba menyingkirkan kilasan semalam yang masih menempel di pikirannya seperti noda yang tak bisa dihapus.
Ini bukan seperti di drama-drama.
Tidak ada adegan lucu atau ketegangan romantis antara dua orang asing yang belajar mencintai.
Ini lebih seperti, jebakan yang dibungkus dalam kertas emas.
Raymon terlalu tenang, terlalu yakin, terlalu mengendalikan segalanya.
Dan bagian paling gila?
Tubuh Yue mengingat semuanya. Sentuhan pria itu, cara dia memanggil nama Yue dengan suara rendah dan pelan, seperti mantra.
Dia membenci bagaimana dirinya tidak bisa menyangkal bahwa di balik semua itu ada sisi yang membuatnya menggigil bukan hanya karena takut, tapi karena terdorong ke batas yang tak pernah dia bayangkan.
"Apa aku bodoh? Apa aku, lemah?" batinnya kacau.
Dia mengira bisa menjalani pernikahan ini seperti kontrak bisnis. Tersenyum di depan publik, tidur terpisah, berbagi tanggung jawab seperti dua orang dewasa yang tidak punya pilihan lain.
Tapi Raymon tidak berpikir begitu, Raymon tidak pernah berpikir biasa-biasa saja.
"Sayang." suara Raymon memanggilnya, membuyarkan lamunannya.
Wanita itu membuka mata, menoleh pelan.
"Hm?"
Raymon berdiri di depan sofa kini mengenakan kaus hitam dan celana santai.
"Besok ada acara makan malam keluarga, pakailah gaun biru yang kukirim ke ruang ganti. Aku ingin kau terlihat, milikku."
Kata terakhir itu membuat jantung Yue mencelos, milik?
Dia tersenyum kecil, dingin.
"Kalau aku tidak datang?"
Raymon menatapnya, lama. Tapi tak marah, dia hanya tersenyum, seperti biasa, dengan ketenangan menyeramkan milik seseorang yang tahu bahwa dia akan tetap menang, tak peduli apapun jawabannya.
"Sayang." katanya pelan. "Kau akan datang, karena kau tahu aku tak suka mengulang permintaan dua kali." ucapnya.
Yue menggertakkan giginya pelan, pernikahan ini tidak normal.
Yue mendengus pelan, matanya masih menatap Raymon yang kini berjalan santai menuju meja kecil di pojok kamar untuk menuang air ke dalam gelas kristal.
"Dasar pria gila." batinnya.
Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang belum juga kembali stabil sejak tadi.
"Untung kaya, untung tampan."
Kalimat itu muncul begitu saja dalam kepalanya, setengah mengumpat, setengah pasrah.
Dia tidak bisa menyangkal, meskipun seluruh logikanya berteriak bahwa Raymon adalah red flag yang berjalan dengan percaya diri dan penuh senyum manipulatif, tetap saja pria itu punya paket lengkap yang membuat wanita lain dengan senang hati menyerahkan diri.
Ketampanan berkelas, aura dingin tapi mengintimidasi, uang melimpah, dan pengaruh yang tidak bisa diremehkan.
Masalahnya, Yue tidak menyerahkan diri, dia dijebak. Sebenarnya salahnya juga karena tergiur oleh uang huhu.
Tapi yang lebih menyebalkan, adalah bagaimana tubuh dan pikirannya tidak selalu sinkron.
Raymon tahu cara menyentuh, tahu cara menundukkan tanpa memaksa. Kadang, itu yang justru paling menakutkan.
Yue menyandarkan tubuhnya di kepala sofa, memeluk lutut dengan daster yang hampir naik ke paha.
Matanya memperhatikan Raymon dari sudut pandangannya, dengan wajah datar penuh pikiran.
"Apa yang sebenarnya pria itu inginkan? Kepuasan karena berhasil memiliki? Atau memang gila sedari awal?"
Raymon menoleh, seolah bisa membaca isi kepalanya.
"Kau mengutukku dalam hati lagi, ya?"
Yue menaikkan alis. "Mungkin." jawabnya.
Raymon tertawa ringan, lalu berjalan kembali ke ranjang, menyerahkan segelas air padanya.
Yue menerimanya tanpa kata.
"Kalau kau pikir aku gila." katanya sambil duduk di tepi sofa.
"Kau belum lihat separah apa aku bisa jadi lebih gila, kalau kau mulai berusaha menjauh."
Yue menatapnya tajam, tapi Raymon tidak sedang mengancam dengan nada tinggi atau kemarahan.
Dia hanya berbicara dengan nada lembut, hampir seperti pengakuan manis dan justru itu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
"Gila memang, tapi masih saja tampan."
Sial!
Yue meneguk air di tangannya, berharap bisa menenggelamkan seluruh kekacauan ini ke dasar tenggorokan.
"Next time." gumamnya. "Kalau aku dijodohkan lagi, aku mau minta daftar kejiwaan dulu."
Raymon tertawa. Sayangnya, bagi pria itu Yue tak akan dijodohkan lagi. Karena dia miliknya dan itu final.
"Sore nanti ayo kita pindah ke mansion, aku sudah lama tidak pulang ke sana." final Raymon.
"Mansion?" tanya Yue.
"Hm, milikku tapi karena aku lebih suka tinggal di penthous aku membawamu ke sini, tapi tempat itu sudah lama tidak di kunjungi dan hanya ada pelayan serta penjaga di sana." jelas Raymon.
"Jadi, kita pindah ke sana sayang." putusnya.
Tbc