Cinta membuat seorang gadis bernama Suratih, menentang restu ayahnya. Damar, pemuda yang membuat hatinya lebih memilihnya daripada apa yang dikatakan orang tuanya, membuatnya mengambil keputusan yang sebenarnya mengecewakan sang ayah. Apakah Suratih akan bahagia membangun rumah tangga bersama Damar, setelah jalan yang dia tempuh salah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irawan Hadi Mm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 11
Sementara itu di tempat berbeda, di rumah Ali dan Mariam. Pagi itu Mariam membangunkan suaminya yang masih tertidur pulas. Adzan subuh sudah berkumandang sejak tadi. Mariam pikir dia harus membangunkan imamnya itu.
"Bangun bang! Bang, udah subuh! Sholat bareng yuk!" seru Mariam, sedikit mengguncang lengan suaminya yang masih pulas dalam tidurnya. Karena memang sejak tadi di panggil halus, suaminya tak bergerak sama sekali.
Jadi, setelah di panggil tidak menyahut. Tentu saja cara ampuh Mariam adalah mengguncang-guncang tangan suaminya.
Namun meski Mariam melakukan itu, bukannya bangun, Ali justru menepis tangan Mariam dengan kasar, sebelum dia merubah posisi tidurnya jadi memunggungi Mariam.
"Ganggu aja, lu! Gak tau apa gua masih ngantuk! Kalo mau sholat, lu aja sonoh! Gak usah ajak ajak gua!" gerutunya dengan berdecak kesal, lalu memejamkan matanya kembali setelah matanya terbuka sedikit tadi.
Mariam yang mendengar itu cukup merasa sedih dalam hatinya. Namun sang suami memang seperti itu, dia sudah tahu sejak lama. Kata-katanya kadang memang suka menusukk hati. Namun alih-alih mencoba membujuk lagi, Mariam hanya bisa berbicara pelan.
"Astagfirullah, sabar sabar!" Mariam mengelus dadanya, mendapati perlakuan sang suami yang memang seperti itu.
Dan mendengar istrinya bicara seperti itu, Ali malah meraih bantal di sebelahnya untuk menutupi telinganya.
"Berisik!" bentak Ali.
"Ya Allah bang, tidurnya bisa di lanjut nanti! Subuh dulu yuk! Malu sama Jaka, anak kita udah ke masjid itu! Bangun napa bang!" bujuk Mariam lagi.
Karena suaminya sudah bisa membentaknya, dia pikir suaminya sebenarnya sudah bangun. Kalau orang yang sangat mengantuk, apa bisa membentaknya seperti itu, pikirnya.
"Bang! Bangun yuk! Kita sholat berjamaah bang!" bujuk Mariam lagi masih terus berusaha mengajak suaminya ke arah yang lebih baik. Beribadah tentu saja arah yang baik kan?
Kesal terus mendengar ocehan Mariam. Membuat kesabaran Ali kian menipis. Ali bangkit dari tidurnya, turun dari tempat tidur dengan wajah merah padam. Dia benar-benar terlihat kesal pada Mariam.
"Berisik banget lu jadi wadon!" bentak Ali dengan sorot mata tajam ke arah Mariam.
Mariam berjingkat kaget, "Aye kan cuma ingetin abang! Abang kepala keluarga di rumah ini! Udah sepantasnya, abang jalanin kewajiban abang mendirikan sholat. Abang mau kan sholat subuh? Buka pintu rezeki buat keluarga kita bang!" jelas Mariam pada suaminya dengan lembut.
Ali menggaruk kepalanya dengan frustasi, lalu mendorong punggung Mariam ke luar dari kamar yang mereka tempati.
"Emang benar benar keterlaluan lu ya jadi bini! Gak tau laki lu masih ngantuk! Lu jungkir balik gak bikin hidup kita bisa lebih dari cukup, Mariam!" ujarnya yang merasa apa yang dikatakan istrinya itu bukan sesuatu yang benar juga.
"Astagfirullah, bang. Jangan ngomong begitu bang! Bersyukur kita masih di kasih badan sehat, umur panjang, masih di kasih rezeki. Kita ini bang, agkhh!"
Brukkk
Ali mendorong tubuh Mariam dengan keras, hingga wanita itu jatuh terhempas ke lantai. Karena terlalu kesal dengan ocehannya yang tidak berhenti di pagi-pagi buta.
"Lu kagak bisa diomongin ya Mariam, lu tuh berisik bener dah! pokoknya kalau lu berisik sekali lagi, gua kunciin lu di kamar mandi! Awas berani ganggu tidur gua lagi ya lu!" ancam Ali, dengan jari telunjuk mengacung ke wajah Mariam yang tengah meringis kesakitan.
Ali segera masuk kembali ke kamarnya.
Brakk
Ali menutup pintu kamar dengan kasar, terdengar suara pintu kamar di kunci dari dalam olehnya. Supaya Mariam tidak bisa lagi menganggu tidurnya.
Mariam hanya bisa menghela nafas sangat panjang.
"Ya Allah, kapan suami ku terbuka pintu hatinya, terketuk pintu hatinya biar jadi manusia yang lebih baik lagi!" gumam Mariam dengan tatapan penuh harap.
Suratih yang memang melihat semua itu tapi tidak keluar dari kamarnya, dan hanya berdiri mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit akhirnya bersuara.
"Mau sampai kapan ibu bersabar menghadapi kerasnya sikap, babeh?" tanya Suratih. Menatap iba sang ibu, wanita yang sudah melahirkannya ke dunia dan di perlakukan oleh ayahnya seperti itu.
Padahal dia yakin, kalau ibunya tidak mungkin melakukan sesuatu yang salah. Hanya saja ayahnya memang seperti itu, kasar dan egois.
Mariam menoleh, di lihatnya Suratih yang baru ke luar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Tampak wajah, tangan dan ke dua kakinya yang basah dengan bulir-bulir air.
Mariam berseru lembut, saat Suratih membantunya beranjak dari posisinya.
"Kamu sholat subuh dulu sana, Tih! Ibu gak apa apa kok! Ibu bisa berdiri sendiri, ibu … awwhhh!"
Mariam hanya bisa meringis kesakitan tanpa bisa melanjutkan kata-katanya, ia bahkan menggigit bibir bawahnya merasakan sakit pada bagian bokongnya karena suaminya memang mendorongnya dengan cukup keras tadi ke lantai.
"Bisa berdiri sendiri gimana? Bokong ibu sakit kan?" tanya Suratih, menyangkal pernyataan Mariam. Karena dari ekspresi ibunya memang terlihat seperti itu.
"Mending ibu duduk dulu! Gak usah nolak bantuan Ratih!" Suratih yang tak ingin di
bantah lagi oleh ibunya yang memang terlihat sangat kesakitan itu, menggiring Mariam ke ruang makan lalu mendudukkannya di kursi.
"Nanti sakit nya juga hilang, Tih! Udah sana kamu sholat subuh dulu!" ujar Mariam dengan segaris senyum yang coba ia perlihatkan pada sang anak.
"Tar bu, Ratih masih mau di sini. Pastiin ibu baik baik aja. Mana lagi yang sakit selain bokong ibu?" Suratih menelisik Mariam dengan tatapan khawatir.
Namun tentu saja Mariam tidak ingin anaknya itu lebih khawatir lagi padanya. Apalagi menunda sholatnya.
"Gak ada, Tih! Ibu bener gak apa apa! Bentar lagi enakan. Kamu sana subuh duluan, nanti gantian sama ibu!" Mariam mendorong Suratih untuk menjauh darinya.
Dan pada akhirnya, Ratih pun menurut pada ibunya.
"Iya udah, ibu ngambil wudhu nya kalo bener-bener udah enak ya di bawa jalan! Kalo gak, tunggu Ratih selesai sholat, Ratih papah ibu buat ke kamar mandi." jelas Suratih panjang kali lebar, sembari mengelus bahu Mariam.
Mariam mengangguk patuh, "Iya sayangnya ibu!"
Suratih berlalu menuju kamarnya berada, meninggalkan Mariam di ruang makan dengan sedikit rasa khawatir.
‘Beruntung sekali aku memiliki buah hati yang pengertian terhadap ke dua orang tuanya.’ batin Mariam, menatap punggung Suratih yang menghilang di balik pintu kamarnya.
Begitu masuk ke dalam kamar, Suratih masih berpikir kalau ayahnya itu sangat keterlaluan.
"Babeh kenapa tega bangat sih sama ibu! Gak bisa apa ngomong aja gak usah pake ngedorong! Kalo terjadi apa apa sama ibu, pasti nanti babeh juga tuh yang nyesel!" gerutu Suratih, sembari mengenakan mukenanya, lalu menjalankan salah satu kewajibannya sebagai seorang muslim.
***
Bersambung …