Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan menyesakkan.
Suasana ruang tamu itu masih diselimuti keheningan yang mencekam. Hanya terdengar suara isakan tertahan Rosalina yang semakin lama semakin mereda.
Namun semua itu, justru berubah menjadi sebuah keheningan yang berat. Dan keheningan itu adalah keheningan yang mengandung kepedihan, sekaligus keberanian dari Rosalina sendiri.
Sedangkan Bu Norma masih berdiri dengan kedua tangan yang bertolak dipinggangnya, wajahnya yang penuh emosi membuat garis-garis ketegasan semakin nyata terlihat.
Ia melangkah mendekati Rosalina, dan dengan suaranya yang semakin meninggi sekaligus menusuk, ia pun kembali berkata pada menantunya itu.
"Sudah cukup, Lina! Ibu tidak mau lagi mendengar alasan-alasanmu yang penuh dengan air mata. Kamu itu hanya membuat keadaan semakin sulit! Anak Ibu ini butuh istri yang bisa memberinya keturunan, bukan istri yang setiap hari hanya bisa menangis dan menyalahkan keadaan."
Rosalina mengangkat wajahnya, dan kemudian ia kembali menatap mertuanya itu sekali lagi.
Tapi tatapannya kali ini tidak lagi berisi luka seperti sebelumnya. Justru kali ini, tatapannya itu penuh dengan kilatan keberanian yang terpancar dari sorot matanya yang indah.
Rosalina menarik nafas panjang sambil menahan perasaan yang masih bergejolak, lalu ia pun berkata dengan nada yang tegas, meski bibirnya sempat bergetar.
"Kalau memang itu yang Ibu inginkan… silahkan saja. Suruh Mas Handrian menceraikan aku sekarang juga, dan aku juga tidak akan pernah melawan untuk itu."
Handrian sontak menoleh dengan cepat kearah istrinya. Wajahnya semakin pucat dan rahangnya terlihat semakin mengeras. Dadanya juga tiba-tiba merasakan sesak yang tidak tertahan. Bahkan saat itu ia merasakan tubuhnya seperti tertindih oleh sebuah batu besar.
Handrian benar-benar tidak menyangka, jika Rosalina sanggup berkata seperti itu dihadapan Ibu kandungnya.
Sehingga ia pun kembali melangkah mendekati istri cantiknya tersebut.
"Lina! Tolong jangan bicara seperti itu!" seru Handrian dengan suara yang terdengar serak.
Ia berusaha menggenggam tangan Rosalina kembali, namun istrinya segera menarik perlahan tangannya, seakan ia tidak ingin lagi menyandarkan dirinya, pada suami yang selama ini ia rasa tidak pernah benar-benar ada untuknya.
Dan saat itu juga, Rosalina menoleh pada Handrian.
Kini tidak ada lagi air mata yang jatuh dari sudut matanya. Wajahnya saat itu benar-benar terlihat datar, dan matanya juga kosong meskipun masih menyimpan penuh ketegasan.
Suaranya terdengar tenang, tapi hal tersebut justru membuat suasana semakin menyesakkan.
"Mas… meskipun kamu tidak mau menceraikan aku, aku juga sudah tidak sanggup lagi hidup denganmu. Selama ini aku merasa… aku hanya seperti sebuah lukisan hidup di rumah ini. Hanya dipandang, tapi sama sekali tidak pernah disentuh. Aku juga merasakan jika kamu sama sekali tidak pernah memperlakukan aku seperti istrimu. Bukan istrimu Mas! Tapi kamu hanya menganggapku seperti sebuah penghias dinding, yang akan selalu kamu biarkan membeku."
Kata-kata itu menghantam dada Handrian seperti palu godam, membuat ia langsung menundukkan kepalanya dengan nafas yang terasa tercekat.
Jantungnya juga berdegup kencang, seolah setiap nada dan iramanya yang berdetak, kini sudah tidak lagi beraturan.
Wajah Handrian berubah muram dengan bola mata yang berkaca-kaca, meskipun ia berusaha keras untuk menahannya.
"Jangan bilang begitu, Lina…" lirih Handrian, suaranya nyaris patah.
Namun Rosalina sama sekali tidak berhenti. Ia terus melanjutkan perkataannya dengan suara yang tetap datar, tanpa sedikit pun menunjukkan kelemahan.
"Kalau memang pernikahan ini hanya membuatku menjadi beban… maka aku ikhlas untuk pergi. Aku juga ikhlas kalau kamu menceraikan aku Mas! Dan aku tidak akan pernah menangis lagi untuk itu. Karena selama ini aku sudah menghabiskan air mata untuk berbakti dan juga mengalah hidup dirumah ini. Maka karena hal itu juga, aku merasakan waktuku telah sia-sia, untuk seorang suami yang lebih sibuk menjaga wajah di depan ibunya, daripada menjaga hati istrinya sendiri."
Bu Norma langsung menyeringai sinis, seakan ucapan menantunya itu menjadi kemenangan tersendiri baginya.
Lalu ia pun melangkah lebih dekat dengan Rosalina, dan menatap istri dari anaknya itu dengan penuh kesombongan.
"Akhirnya kamu sadar juga! Dari dulu seharusnya kamu itu tahu diri, Lina. Kamu memang tidak pantas bersanding dengan anakku. Kalau memang kamu mau pergi, ya itu malah bagus! Karena kepergianmu, akan menjadi keputusan yang terbaik untuk semuanya."
Handrian yang mendengar hal itu langsung mendongak, dan menatap ibunya dengan sorot mata yang penuh amarah.
"Bu, hentikan! Jangan senang dulu. Karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikan Lina. Tidak akan pernah, Bu!"
Suara Handrian menggelegar dan membuat udara di ruangan itu semakin berat. Rosalina yang berdiri disampingnya langsung menoleh dengan ekspresi terkejut, namun ia tetap menjaga ketenangan wajahnya, dan sama sekali tidak ingin terpengaruh dengan ucapan suaminya.
"Tidak akan pernah…?" ucap Rosalina datar.
"Mas, kamu berani berbicara seperti itu? Kenapa Mas? Kenapa kamu berbicara dihadapan Ibumu, seolah-olah aku ini adalah seorang istri yang ingin kamu pertahankan? Apa kamu lupa, Mas? Perlakuanmu selama ini terhadapku, layaknya orang asing yang hanya singgah dalam kehidupanmu. Tapi sekarang, kenapa kamu malah ingin mempertahan aku disaat aku sudah pasrah bercerai darimu? Maumu itu sebenarnya apa, Mas?
Suara Rosalina kali ini terdengar begitu tenang, tapi hal itu justru semakin menusuk dihati Handrian. Pria itu merasakan tubuhnya gemetar. Sehingga ia pun mencoba untuk meraih tubuh Rosalina dan menariknya kedalam pelukan.
Namun yang ada... istrinya itu malah memberontak, dan memundurkan tubuh kebelakang, seolah-olah menolak untuk disentuh olehnya.
"Lina…" bisik Handrian dengan suara yang penuh luka, saat ia melihat sikap Rosalina yang sekarang.
Namun Rosalina hanya menatap lurus kedalam bola mata Handrian, dan dengan wajahnya yang masih terlihat datar, wanita cantik itu kembali berucap pelan.
"Mas… aku ini manusia bukan benda mati. Aku butuh dicintai, dihargai dan juga dirangkul. Tapi apa yang aku dapat darimu selama ini? Aku hanya mendapatkan tatapan kosong, dan juga dinding dingin yang selalu membatasi kita berdua. Jadi… kalau memang perceraian itu adalah jalan yang akan membuat semuanya berakhir… Maka aku telah siap."
Ucapan itu membuat jantung Handrian terasa bagai dirobek. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, seolah ingin menyembunyikan air matanya yang hampir jatuh. Dan dengan suara yang bergetar ia pun menatap wajah Rosalina lekat-lekat, seraya menjawab...
"Tidak, Lina… aku tidak bisa… aku tidak sanggup kehilangan kamu. Jadi Tolong, jangan pernah meminta hal itu dariku…"
Bu Norma tiba-tiba saja melotot marah kearah Handrian.
"Handrian! Kamu ini kenapa sih? Sudah jelas-jelas dia itu tidak bisa lagi menjadi istri yang baik, dia juga tidak bisa memberimu keturunan, tapi masih juga kamu membelanya! Kamu itu sebenarnya telah dibutakan oleh apa?!"
Handrian menoleh tajam pada ibunya, seraya berteriak.
"Cukup, Bu!!! Aku tidak perduli lagi dengan apa yang saat ini Ibu fikirkan. Tapi aku hanya tahu… Bahwa aku tidak akan pernah melepaskan Rosalina. Kalau memang Ibu tidak bisa menerimanya, maka biarlah aku yang menanggung semuanya sendiri."
Rosalina menutup matanya sejenak, karena ada rasa sakit sekaligus terharu yang bercampur dalam dirinya, saat ia mendengar perkataan Handrian.Tapi ia tetap menahan diri untuk tidak menangis lagi.
"Mas… jangan paksakan dirimu. Jangan juga karena ingin melawan ibumu, kamu mempertahankan aku. Itu sama saja kamu membuatku menjadi tameng. Karena saat ini, aku sudah tidak ingin lagi menjadi tameng dalam hidupmu," ucap Rosalina lirih, namun suaranya terdengar begitu jelas.
Perdebatan pun semakin memanas, karena Bu Norma tidak henti-hentinya menekan dan memaksa Handrian untuk menceraikan Rosalina.
Sedangkan Rosalina sendiri tetap bertahan dengan ketenangannya. Tapi Handrian... Dirinya malah terlihat seperti berdiri ditengah-tengah mereka. dan keputusan yang telah dibuat oleh Rosalina dan juga Ibunya, benar-benar telah menghimpit laki-laki itu.
Sampai akhirnya, Rosalina berdiri lebih tegak lagi, meskipun saat itu tubuhnya masih limbung oleh rasa lelah dan beban emosi yang ia tanggung.
Ia menatap kearah mertua sekaligus suaminya.
"Bu… Mas… dengarkan aku baik-baik. Aku tidak akan lagi menjadi beban dirumah ini. Kalau memang aku harus pergi, aku akan pergi. Tapi satu hal yang harus kalian tahu, aku pergi bukan karena aku lemah. Tapi aku pergi karena aku ingin menyelamatkan diriku sendiri. Karena setiap manusia berhak bahagia, meskipun mungkin kebahagiaan itu tidak ada di rumah ini."
Kata-kata itu bergema, membuat ruang tamu terasa semakin sunyi, dan tidak ada yang bisa langsung menimpali.
Handrian hanya bisa menatap istrinya dengan wajah penuh luka, sementara Bu Norma menggertakkan gigi karena hatinya masih diliputi oleh amarah yang membara.
Namun sesaat kemudian, Rosalina memutuskan untuk tidak lagi berdiri dihadapan suami dan Ibu mertuanya itu.
Wanita itu masuk kedalam kamarnya. Membuat Bu Norma dan Handrian menjadi terdiam. Namun beberapa saat kemudian, keduanya sama-sama terbelalak kaget. Terutama Handrian.
Karena yang terlihat kini... Rosalina malah sedang menarik keluar sebuah koper dari dalam kamar. Hal itu langsung membuat Handrian menelan ludahnya sendiri.
Dan tanpa fikir panjang ia pun berlari untuk menghalangi langkah Rosalina.
"Rosalina! kamu mau kemana??" ucap Handrian dengan suara yang terdengar sedikit keras, sambil mencengkeram pergelangan tangan istrinya.
Namun Rosalina malah menghempaskan tangan Handrian, yang sedang memegangi pergelangan tangannya.
Bersambung...