"Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi meninggalkan Haura.
***
Pernikahan yang Haura harapkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu nyatanya tidak seindah yang gadis itu harapkan. Banyu, lelaki yang enam bulan ini menjadi suaminya nyatanya masih enggan memberikan nafkah batin kepadanya. Lelaki itu terus menghindarinya jika gadis itu mengungkit masalah itu.
Tentu saja itu menjadi pertanyaan besar untuk Haura. Apalagi saat perdebatan mereka, Haura tidak sengaja menemukan sebuah kalung indah berinisial 'H'.
Apakah itu untuk dirinya? Atau apakah kalung itu menjadi jalan jawaban atas pertanyaan besarnya selama i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MERASA DEKAT
Malam semakin larut. Haura terbaring memunggungi Banyu. Lampu kamar yang redup memantulkan cahaya kekuningan di dinding, menciptakan bayangan samar yang menari perlahan. Suara detik jam terasa begitu jelas di telinganya, seakan menandai waktu yang bergerak terlalu lambat.
Teramat lambat untuk Jasmine yang tiba-tiba jadi terbangun saat menyadari jaraknya dan Banyu yang menjadi dekat. Napas Banyu di belakangnya terdengar teratur, hangatnya menyapu tengkuknya, memancing ingatan masa lalu yang tak ingin ia sentuh.
"Dulu aja, tidurnya di ujung. Sampai kayak takut banget aku sentuh. Sekarang malah mepet. Kalau bukan karena nggak tega sama Mama, ya nggak bakalan aku iyain untuk menginap," gerutu Haura kesal.
Lalu, tiba-tiba, lengan Banyu melingkar di pinggangnya. Otot tubuh Haura menegang seketika. Ia menahan diri untuk tidak menepisnya, tapi jantungnya berdegup tak karuan, bukan karena gugup, melainkan karena dongkol.
"Ini lagi. Mas Banyu tumben banget tidurnya mepet-mepet begini." Haura kemudian berusaha mengangkat tangan Banyu dari pinggangnya.
"Maafkan saya, Haura." suara serak Banyu terdengar lirih. Lelaki itu masih dalam keadaan tertidur. Namun, tangannya kembali berada di atas perut Haura.
Haura tertegun. "Kenapa baru sekarang kamu berusaha mendekatiku, Mas?" gumamnya pelan.
Andai sentuhan ini datang saat dirinya masih sangat mengharapkan sentuhan Banyu, mungkin ia akan tenggelam dalam dekap itu. Hatinya akan sangat senang. Akan tetapi, sekarang? Setelah semua yang terjadi? Pelukan ini terasa seperti ironi yang menyakitkan.
“Mas Banyu… jangan begini,” suaranya pelan namun tegas.
Tak ada jawaban. Lelaki itu tetap memeluknya, seolah khawatir ia akan pergi.
“Mas Banyu lepasin. Aku nggak mau…” ucapnya lagi, kali ini sedikit bergetar.
“Sebentar saja, Haura, please,” jawab Banyu, suaranya berat dan rendah, nyaris seperti permohonan.
Haura memejamkan mata, mencoba mengabaikan rasa sesak di dadanya. “Lucu ya… dulu waktu aku pengen kamu begini, kamu nggak mau. Sekarang, setelah semuanya… baru kamu lakukan.”
Tidak ada jawaban. Yang ada hanya dengkuran halus yang menandakan bahwa Banyu sedang terlelap memeluknya. Bahkan semakin dekat dan erat. Hingga punggung Haura benar-benar menempel pada dada Banyu.
Haura kemudian kembali memindahkan tangan Banyu dari perutnya. Saat sudah dipindahkan, Haura langsung beringsut semakin ke tepi.
Tiba-tiba suara pelan Banyu kembali terdengar. "Saya menyesal, Haura. Saya tahu kesalahan saya akan sulit untuk kamu maafkan. Tapi saya akan tetap menunggu kamu. Saya tidak akan melepaskan kamu. Maaf jika saya egois."
Tawa getir hampir lolos dari bibirnya. “Penyesalan kamu tidak berarti apa-apa, Mas. Baru begini saja kamu sudah sesakit ini. Apalagi jika dulu kamu yang berada di posisi ku?" balas Haura tak kalah lirih.
Keheningan merayap masuk, menyesaki ruang di antara mereka. Dalam keheningan dan dinginnya malam, keduanya kemudian terlelap saling memeluk diri masing-masing dengan luka yang masih menyisakan perih.
***
Banyu menyetir mobil dalam keadaan yang sangat baik. Semenjak bangun tidur hingga kini mereka sudah dalam perjalanan ke kantor, hatinya tetap saja berbunga-bunga. Namun, tentu saja ia tidak segamblang itu menunjukkan kebahagiannya. Wajahnya masih sedatar biasa. Senyumnya masih tertahan. Akan tetapi, di matanya sangat terlihat kebahagiaan itu.
Penyebabnya sederhana. Saat ia terbangun dari tidurnya, ia merasakan dengkuran halus dan deru napas yang tenang menyapu lehernya. Tidak hanya itu, sebuah tangan juga berada di dadanya. Entah bagaimana bisa terjadi, wajah Haura juga berada dekat dengan dadanya.
Ia dipeluk Haura saat tidur. Tentu saja itu mendatangkan kebahagiaan untuknya.
"Wajahnya kenapa ditekuk seperti itu, Ra? Bukannya harus banyak senyum ya pagi-pagi?" tanya Banyu pura-pura serius. Padahal sebenarnya ia tahu apa yang membuat Haura badmood seperti ini.
Tentu saja jawabannya adalah pelukan tadi. Namun, yang membuat Banyu ingin tertawa adalah istrinya itu tidak bisa protes karena yang memeluk adalah dirinya sendiri bukanlah Banyu.
"Puasa senyum dulu." Haura semakin menekuk wajahnya. "Kamu kalau mau tertawa ya tertawa aja. Dikira aku nggak tahu kalau sejak di rumah kamu mau tertawa?" dumelnya menatap kesal Banyu.
Akhirnya meledaklah tawa Banyu yang sejak tadi ia tahan. Semakin kesal Haura dibuatnya bahkan terdengar desisan tajam dari mulut Haura. Ia yang tadinya menatap Banyu kesal, kini memalingkan wajah dan menatap lurus ke depan.
"Kenapa harus segitu marahnya sih, Ra? Kan cuma peluk tidak yang lain. Lagian kamu juga yang meluk tanpa aku paksa. Suami istri kan wajar berpelukan seperti tadi."
Haura menoleh cepat ke arah Banyu. Matanya mendelik kesal. "Kalau suami istrinya kita, itu nggak wajar, Mas. Sejak awal kita menikah juga kamu sangat menjaga jarak antara kita berdua. Jadi jangan salahkan aku kalau aku tidak terbiasa dengan kedekatan itu. Lagipula bukannya Mas dulu tidak suka aku pegang-pegang. Apalagi dipeluk begitu. Kenapa jadi berubah?"
"Namanya juga hati manusia. Bisa berubah-ubah, Haura."
"Gaya banget!" cibir Haura tanpa canggung. "Aku rasa kalau bukan karena penyesalan dan rasa bersalah kamu itu, kamu pasti nggak akan sebaik dan sesabar ini menghadapi aku."
"Salah satunya itu." Banyu masih setenang tadi. "Tapi alasan besarnya ya karena saya tidak mau kamu pergi dari hidup saya."
"Kita baru menikah tiga bulan lebih. Kamu-"
"Telinga saya rasanya tidak suka mendengar kamu mengatakan 'kamu-kamu' kepada saya. Saya lebih suka kamu yang dulu. Menyebut saya 'Mas'. Rasanya lebih adem." Banyu menyela ucapan Haura. "Kalau kamu tidak keberatan."
Haura mendengus kesal. Tetapi ia tidak memungkiri bahwa dirinya yang sekarang terlalu mengajarkan Banyu. Meskipun itu ia lakukan karena masih marah pada Banyu.
"Ya terserah aku dong mau sebut apa. Kenapa kamu yang protes?"
Mendadak Banyu pun menepikan mobilnya. Raut wajah Haura jadi berubah bingung, sementara Banyu jadi menatap Haura dengan serius.
"Mau sampai kapan kamu marah-marah begini? Saya sudah minta maaf atas kejadian itu. Saya mau jelaskan tentang Hania kamunya nolak. Kalau begini, saya saja bingung harus ngapain agar kamu balik jadi istri saya yang manis seperti dulu."
"Kamu-"
"Mas, Ra. Saya cium kamu nanti kalau sebut saya seperti itu lagi," ancam Banyu setengah serius. Ia tahu, Haura tidak akan langsung percaya dengan ucapannya. Apalagi dengan nada bicaranya yang terdengar bercanda.
"Sok mau cium. Dipeluk aku aja kamu-"
Banyu membuktikan ucapannya. Ia langsung membungkam mulut Haura dengan mulutnya. Mata Haura membulat karena terkejut. Saat ia sudah sadar, tangannya segera mendorong bahu Banyu. Namun, semakin kuat dorongan Haura, semakin dalam lagi Banyu mencium Haura.
"M..Mas... aku..." Tangan Haura mendorong dada Banyu lebih kuat hingga ciuman itu pun terlepas. Napas Haura tersengal karena ulah Banyu yang menurutnya sudah gila itu. "Mas gila?!"
Banyu menyeringai. Amat menyebalkan di mata Haura. "Iya. Saya sudah gila karena bibir kamu." Mata Banyu menatap penuh minat pada bibir Haura.
Menyadari itu, Haura tentu saja dengan cepat menutup bibirnya dengan telapak tangannya. Sontak Banyu pun tertawa karena berhasil menjahili Haura.
"Rapiin kemeja dan rambut kamu. Nanti orang kantor curiganya kita habis ngapain di jalanan."
"Maaas!!!!"
*
*
*
Jangan lupa tinggalkan jejak gaes :)
Kenapa Haura...?? yaa karena dia istrinya. lahh kamu siapa.. hanya masa lalu..
Pilihan yg tepat buat kembaliin projeknya Haura, dg begitu dia gak akan tantrum minta pindah departemen lagi. 😂
Satu buat Hania, emang enak. Udh ditolak terus Haura dipuji-puji lagi. makiin kebakaran gak tuuh... 😂😂
kamu cantik jelas terlihat apa adanya.
sedangkan yg jadi bandingan kamu, cerdas kalem, tapi licik.. ada udangnya dibalik bakwan..
gak kebayang gimana kalo Daffa tau tentang ini..
Gak dapet dua-duanya baru nyaho kamu Han.
Yang lain aja slow, ngapain km repot2 jelasin.. yaa kecuali km ada mksud lain..
maaf ya Han, sikap mu bikin saya su'udzon..
Novel kedua yg aku baca setelah kemren Arsal-Ayra yg menguras esmosi... mari sekarang kita jadi saksi kisah Haura - Banyu akan bermuara dimana akhirnya. Karena pernihakan bukan berarti akhir kisah sepasang anak manusia. Jika bukan jodohnya mereka bisa saja berpisah, dan kembali mencari tulang pemilik tulang rusuk yang sesungguhnya. Jika sudah jodohnya, mungkin hanya maut yg memisahkan mereka di dunia.
Semangat ka... sukses selalu untuk karyanya.. ❤
Berdoa aja, semoga Haura lupa sama ngambek dan traumanya..
Mahalan dikit napa, masa nyogok poligami cuma es kriim.. minimal nawarin saham ke..
Baru launching udh ketahuan sumber ghibahnya... anggota lain langsung pada ngaciiir kabuuuur ..
makasih up langsung 2..
Good job Ra, saya dukung... ayooo buat Air semakin jatuh dalam penyesalan...