Jika perselingkuhan, haruskah dibalas dengan perselingkuhan ...
Suami, adalah sandaran seorang istri. tempat makhluk tersebut pulang, berlabuh dan tempat penuh kasih nan bermanja ria juga tempat yang sangat aman.
Namun, semua itu tak Zea dapatkan.
Pernikahannya adalah karena perjodohan dan alasannya ia ingin melupakan cinta pertamanya: Elang. teman kecilnya yang berhasil meluluh lantahkan hatinya, yang ditolak karena sifat manjanya.
Namun pernikahan membuat zea berubah, dari manja menjadi mandiri, setelah suaminya berselingkuh dengan wanita yang ternyata adalah istri dari teman kecilnya.
Haruskah zea membalasnya?
Ataukah ia diam saja, seperti gadis bodoh ...
Novel ini akan membawamu pada kenyataan, dimana seorang wanita bisa berubah, bukan saja karena keadaan tapi juga karena LUKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia yang berubah.
Janji hanyalah sebuah omongan, jika tak disertai bukti maka tak akan pernah terlaksana. Dunia yang indah berubah menjadi kelam, dimana sebuah janji tak bisa menjadi kenyataan.
Perasaanku berubah sama halnya dengan pernikahan ini, Mawaddah yang kutanam seakan tenggelam oleh pahitnya sikap seorang suami. Tak ada wanita yang menginginkan suaminya berbagi cinta, tubuh juga waktu.
Aku hanya ingin menjadi satu-satunya ratu dirumah dan hati suamiku, namun keinginan yang sesederhana itupun tak selalu terpenuhi oleh seorang suami. Apa aku salah?
"Aku bilang, aku ingin pisah," ujarku mengulang kembali niatku.
"Sayang, a-aku tahu aku salah. Tapi, aku gak bisa pisah sama kamu. Kamu ingat kata ayah kamu dan ayahku, bahwa kita harus selalu memaafkan kesalahan pasangan apapun itu," tuturnya, seakan kesalahannya hanya masalah sepele.
"Kamu sudah punya Alana, Mas. Dan kesalahan memang bisa dimaafkan, tapi rasa sakit itu gak bisa dilupakan. Semalam kamu bilang gak kenal aku, maka mulai hari ini mari kita tak saling kenal, itu lebih baik." Aku menghela nafasku yang kian berat, keputusan ini tidaklah mudah
Satu dekade bukanlah waktu yang sebentar untuk menjaga keharmonisan dan ketenangan rumah tangga. Ada kalanya, berpisah itu lebih baik utuk menjaga kewarasan mentalku.
Aku meneteskan air mataku lagi, tapi segera kuhapus dengan kasar oleh tangan kananku. Aku tak ingin lemah didepannya lagi, aku harus kuat.
Ia menggenggam tangan kiriku, mengusap dan menciumnya. "Kasih aku kesempatan, Sayang. Aku akan berusaha untuk berubah, bukan kah kita sudah berjanji untuk selalu bersama." ia menghela nafas panjang.
"Juga, menua bersama," tambahnya lagi dengan nada lirih.
"Itu janji kamu, bukan janji aku," ucapku sambil beranjak dari tempat dudukku.
Tanganku terasa ditarik, suamiku memelukku dengan paksa. Aku berusaha melepaskan diri, tapi tak bisa. Dekapan ini, kehangatan ini memang aku inginkan, tapi jika sudah bercampur aroma wanita lain rasanya tetap nyeri.
Aku memukul dadanya, aku benci padanya, dan air mataku keluar deras menandakan betapa dalamnya luka ini.
"Kamu jahat, Mas. Aku benci kamu! Teganya kamu selingkuh sama Alana, dibelakang aku. Jahat kamu, Mas!" umpatku, meluapkan segala rasa sakit ini.
Tanganku mengepal memukul dadanya terus-menerus, tapi kian lama kian kuat ia memelukku dan aku makin tak berdaya dihadapannya. Aku hanya bisa menangis deras dalam dekapan hangatnya, selemah inilah diriku.
"Tolong dengar aku, Sayang. Aku terpaksa, aku tak pernah berusaha selingkuh. Dia menjebakku lalu hamil anakku, aku harus bagaimana?" ujarnya membela diri.
Aku tak tahu ia bohong ataukah sungguhan, tapi aku bisa merasakan getaran emosinya. Isakannya bisa ku dengar walau samar, badannya berguncang menunjukan amarah yang terpendam.
Kami pun menangis dalam lirih.
.....
Kami duduk dimeja makan, berhadapan dan saling tatap. Masih ada waktu untuk pergi kekantor, katanya ia ingin jujur padaku dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka.
Jadi, aku akan mendengarnya dan memberinya waktu untuk berbicara. Tapi, aku tak lupa untuk merekamnya diam-diam.
"Malam itu kami bertemu kembali diacara reuni Alana, akhsan adalah kakak Alana sekaligus sahabatku. Ia-lah yang memintaku untuk menjemput adiknya, saat itulah kami tak sengaja bermalam bersama karena cuaca sedang hujan dan semua itu terjadi," paparnya.
Aku mengepalkan tanganku dengan kuat, semudah itu ia melakukannya. Tanpa memikirkan aku yang selalu menunggunya pulang tiap malam. Aku mengalihkan pandanganku, aku ingin berhenti mendengarnya, namun aku juga penasaran akan selanjutnya.
"Sungguh, aku bingung. Anak kami ... Dokter bilang ia mengidap kanker, di usianya yang masih kecil ia tak bisa hidup layaknya anak lainnya," tambahnya ia meneteskan air matanya, pandangannya menunduk.
Aku menganga, tanganku yang mengepal itu meregang. Benarkah begitu?
Terakhir ku lihat anak mereka itu perempuan, ia ceria dan begitu bersemangat kala jalan-jalan bersama orang tuanya.
"Seharusnya aku cerita sejak dulu, tapi aku takut kamu meninggalkan aku. Aku tahu aku salah karena merahasiakannya, tapi ini bukan keinginanku. Aku hanya terjebak, Aku hanya khilaf," lagi ia melanjutkan ceritanya.
"Kapan? Kapan malam itu terjadi?" tanyaku.
"Saat malam, kau menghubungiku. Memintaku untuk membawa ayahmu ke Rumah Sakit, malam itu ...." ucapannya terputus, ia diam tak bisa melanjutkan kalimatnya.
Aku ingat sekarang, malam itu malam dimana hujan melanda bumi untuk pertama kalinya saat pergantian musim. Malam saat ayahku mendadak pingsan, malam dimana aku sendirian menangis di rumah sakit. Menangis karena terlambat membawa ayah untuk mendapatkan pertolongan pertama, pada akhirnya beliau meninggal karena pembuluh darahnya pecah.
Aku menangis lagi mengingatnya, kenapa takdirku begitu kejam?
Saat aku masih membutuhkan sosok ayah, Ia diambil dengan cara tiba-tiba. Aku menyudahinya, jam untuk mendengarkan ceritanya sudah habis.
"Aku harus kekantor," ujarku beranjak dari tempat dudukku.
"Sayang, aku sungguh minta maaf," ucap mas Reza menengadah menatapku, berharap melanjutkan percakapan kami.
Tapi, aku tak ingin membalas tatapannya. Ini semakin sakit, hati ini semakin nyeri mendengar ceritanya.
"Sayang, please! Aku gak bisa pisah sama kamu," ujar suamiku lagi, membujuk dan merayuku.
"Aku mohon, Sayang," ucapnya lagi.
Aku pergi kekamarku dan mengunci kamar kami, mengabaikannya yang masih duduk dikursi makan. Aku butuh waktu untuk mencernanya, semua ceritanya tak bisa kupercaya.
Setega itu ia melakukannya padaku, mengabaikan aku disaat aku sangat membutuhkannya.
......................
Dikantor aku berjalan sendirian, baru kali ini aku terlambat masuk. Aku harus meredakan mata bengkakku terlebih dahulu, agar tidak menjadi pusat perhatian pegawai lain.
Namun aku salah, bisik-bisik para karyawan saat aku berjalan melewati mereka membuatku tak habis pikir. Aku sedang malas, jadi aku mengabaikannya.
Aku menyapa sekertaris Elang, tanpa bicara hanya membungkuk sedikit saja. Namun, aku tak menyangka Elang sedang menungguku untuk pertama kali.
"Bu Zea, Pak Elang ingin bertemu dengan anda. Silahkan masuk saja! Beliau sudah menunggu anda dari tadi," ucap Pak Er.
Aku diam sejenak, menaruh tasku baru bertemu bosku. Aku menghela nafas panjang sebelum bertemu pria itu.
Tok tok tok
"Ini saya Zea, Pak," ucapku, mengetuk pintu lagi.
Terdengar sahutan dari dalam, saat itulah aku memutar knop pintu dan masuk ketempat kerja Elang.
Langkah kakiku pelan, aku tak bersemangat saat masuk keruangan pria yang pernah jadi cinta pertamaku. Tapi, aku berusaha untuk tenang, walau tetap saja tak bisa berhenti dijulid din.
"Ada apa, Pak?" tanyaku.
"Sebenarnya aku ingin memecatmu, tapi, aku tak bisa. Kau boleh pergi!" ujar Elang singkat.
Aku mulai bingung, apa maksudnya semua ini? Mendadak dipanggil, mendadak pula diusir kembali kekursiku.
"Aku tak paham, pak."
"Kenapa?" tanya Elang ketus.
"Gak apa-apa, cuma heran aja," jawabku seadanya.
"Pergi sana!" usirnya padaku dengan tangan kirinya menunjuk ke arah pintu.
"Aku tak akan pergi, sebelum anda mengatakan apa yang ingin anda katakan," mendadak aku bisa menuntutnya balik.
Mata ku menyalakan api, seakan mengancam ingin menghajarnya.
kenapa harus pelit sih ma istri..