Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.
Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.
Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.
Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.
Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
Orang itu berdiri tegak, tinggi semampai dengan rambut panjang tergerai rapi. Wajahnya cantik, elegan, dan penuh percaya diri. Dari posturnya, jelas lebih dewasa dari Naina, bahkan kecantikannya pun seolah menantang.
“Mas Ihsan, kok nggak pernah datang ke apartemen lagi?” tanyanya sambil tersenyum menggoda.
Tanpa sungkan ia langsung memeluk lengan Ihsan erat-erat, tatapannya sekilas melirik tajam ke arah Naina yang berdiri kaku.
Naina terdiam, matanya melebar. Dadanya mendadak sesak, seakan udara sekitar menolak masuk. Ia hanya bisa menatap tanpa berani bicara, pikirannya berisik oleh pertanyaan yang tak berani keluar dari mulut.
Sementara Ihsan, rahangnya semakin mengeras. Sorot matanya berubah tajam, dingin, penuh ketidaksukaan. “Lepas,” hardiknya rendah namun sarat ancaman.
Perempuan bernama Kinan itu malah tersenyum miring, semakin menempel ke tubuh Ihsan.
“Mas masih galak aja. Padahal aku kangen, loh,” ujarnya manja, nadanya dibuat seolah menantang.
Dengan kasar, Ihsan menepis genggaman itu. Tubuh Kinan terdorong sedikit ke belakang, membuat beberapa tamu lobi sempat melirik heran.
“Jangan sekali-sekali bikin Om jijik di depan orang,” dengus Ihsan ketus, sorot matanya dingin menusuk.
Naina tercekat, tak pernah melihat Ihsan bereaksi seperti itu sebelumnya. Ada rasa lega sekaligus cemburu yang campur aduk di dadanya. Ia menggigit bibir, berusaha menyembunyikan guncangan hatinya.
Kinan menghela napas, lalu tertawa kecil. “Mas, tega banget sama aku. Dulu nggak gini. Apa sekarang selera Mas udah beda?” serunya sambil melirik sinis ke arah Naina.
Wajah Naina merona, bukan karena malu, tapi karena marah bercampur sakit hati. Jemarinya meremas tali tas erat-erat. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya terkunci.
Ihsan berdiri tegap, suaranya tegas menusuk. “Kinan, kamu salah tempat, salah waktu. Urusan kita udah lama selesai. Jadi jangan pernah berani ganggu istri gue,” ucapnya tajam, nada suaranya membuat sekitar menegang.
Naina terperangah. Kata “istri” meluncur begitu lantang dari mulut Ihsan, di depan orang asing, di ruang terbuka.
Sementara Kinan mendadak terdiam, ekspresinya kaku sesaat sebelum senyum miringnya kembali muncul. “Istri?” ulangnya sinis.
“Mas nggak bercanda kan? Jangan bilang anak SMA ini yang Mas maksud?” terka Kinan.
Naina menelan ludah, tubuhnya gemetar. Sorot Kinan menusuk, seolah meremehkan sekaligus menghina.
Naina buru-buru menyanggah, suaranya terdengar gugup namun tetap berusaha terdengar meyakinkan.
“Maaf kakak cantik, aku bukan istrinya Om Ihsan kok. Aku cuma kebetulan jalan bareng sama Om ini,” kilahnya cepat.
Wajahnya memerah, matanya menatap Ihsan penuh permohonan. Tatapan itu seakan berkata yaitu “Om, tolong jangan bikin masalah di sini alihkan saja, aku takut ada yang tahu hubungan pernikahan kita.”
Ihsan mendengus pelan, napasnya terdengar berat menahan amarah. Rahangnya mengeras, namun ia memilih menundukkan kepala sedikit, mencoba menutupi ekspresi kesalnya. Ia tahu Naina takut ketahuan, tapi kata-kata gadis itu menusuk hatinya.
“Kenapa dia tega bilang bukan istriku? Padahal aku barusan dengan bangga mengakuinya,” batin Ihsan, matanya sekilas redup menatap Naina.
Kinan justru tersenyum lebar, seakan mendapatkan pembenaran. “Nah, gitu dong jelas. Aku sampai kaget kalau Mas Ihsan beneran nikahin anak ingusan begini,” ujarnya sambil melirik tajam pada Naina, senyumnya penuh meremehkan.
Naina menunduk, wajahnya terasa panas. Ia ingin melawan, tapi takut justru memperkeruh suasana. Jemarinya menggenggam tali ransel kuat-kuat, berusaha menahan diri agar tidak terlihat rapuh.
Ihsan akhirnya bersuara, suaranya berat namun dingin. “Kinan, urusan kita udah selesai. Jangan pernah tarik-tarik tangan gue lagi. Dan jangan pernah banding-bandingin dia sama siapapun. Gue nggak suka.”
Kinan terdiam sejenak, lalu tersenyum miring. “Mas masih keras kepala. Ya udah, aku tunggu Mas di apartemen. Pintu selalu terbuka kok,” katanya sebelum berbalik, melangkah anggun meninggalkan mereka.
Begitu Kinan pergi, Naina masih terdiam. Wajahnya pucat, napasnya naik-turun. Ihsan menatapnya lama, campuran marah dan kecewa jelas tergambar di matanya.
“Naina kenapa kamu tadi bilang bukan istri aku?” suara Ihsan pelan, tapi menusuk, membuat hati Naina kian bergetar.
Naina menunduk, suara bergetar tapi berusaha terdengar tenang.
“Aku takut, Om… kalau ada yang dengar. Kalau ada yang lihat. Aku cuma pengen kita aman aja. Makanya tadi aku ngomong gitu,” ujarnya lirih, jemarinya meremas ujung hoodie yang dipakainya.
Ihsan menatapnya dalam-dalam, masih ada bara yang belum padam di sorot matanya.
“Tapi kamu sadar nggak, Na… tiap kali kamu nolak aku di depan orang, hati aku rasanya diremukin?” katanya dengan nada tertahan.
Naina tercekat. Dada kecilnya bergemuruh, merasa bersalah tapi juga bingung harus bagaimana. Tatapan Ihsan begitu serius, membuatnya semakin salah tingkah.
Tanpa banyak pikir, entah dorongan dari mana, Naina melangkah mendekat. Wajahnya mendongak sedikit, mata berkaca-kaca, lalu tiba-tiba bibir mungilnya mendarat cepat di bibir Ihsan.
Sentuhan singkat itu membuat dunia sekitar seolah berhenti berputar. Jantung Naina berdebar kencang, kedua sisi pipinya panas luar biasa. Ia segera menunduk, wajahnya merah padam.
“Itu buat ganti kata-kata aku tadi. Maaf, Om…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar karena sangat malu.
Ihsan membeku, matanya melebar. Napasnya tercekat, tak menyangka gadis polos itu berani melakukan hal yang bahkan belum pernah ia bayangkan. Perlahan, bibirnya melengkung, sorot matanya melembut.
“Na… kamu tahu nggak, itu barusan…” suaranya serak tertahan. “Itu ciuman pertama kamu, kan?” tanyanya yang bernada menebak.
Naina menggigit bibir, wajahnya makin merah, tak berani menatap. Ia hanya mengangguk kecil, tubuhnya bergetar.
Ihsan menarik napas dalam, lalu menangkup pipi Naina dengan kedua tangannya. Tatapannya penuh campuran rasa bahagia, bangga dan juga haru.
“Kamu gila, bikin Om makin susah ngelupain kamu. Sekarang Om beneran nggak bisa lepas lagi.” ucapnya Ihsan.
Naina buru-buru menarik tangan Ihsan, wajahnya masih merah padam.
“Om, ayo cepet sebelum ada yang makin kepo,” ujarnya gugup. Ia berusaha menyembunyikan wajah yang panas dengan hoodie.
Ihsan sempat terkekeh kecil, membiarkan tangannya ditarik gadis itu.
“Barusan kamu cium Om di depan umum, sekarang malah malu sendiri?” selorohnya dengan nada menggoda.
“Om jangan ngomong keras-keras!” seru Naina dengan suara pelan tapi panik. “Ada tamu hotel yang tadi lihat, aku malu banget.”
Mereka akhirnya sampai di parkiran. Di sana sudah berdiri Alvian, tangan di saku celana, wajah setia menunggu. Di sebelahnya terparkir motor matic merah yang masih mengkilap.
“Alvian bawa mobil ke perusahaan. Setelah mengantar istriku, barulah aku ke kantor,” ucap Ihsan santai, nada suaranya penuh perintah.
Alvian menunduk sedikit, lalu berdehem. “Tapi, Pak… ada rapat penting pagi ini. Relasi bisnis dari Jepang sudah konfirmasi. Mereka datang jam sepuluh. Saya khawatir Bapak terlambat.”
Ihsan mendengus, matanya tajam menusuk anak buah kepercayaannya itu.
“Kamu nggak perlu takut, Vian. Aku pasti datang sebelum Tuan Nakamura muncul. Mereka yang butuh PT. IGR, bukan sebaliknya.”
Alvian hanya bisa mengangguk, meski jelas terlihat ragu. “Baik, Pak.”
Sementara itu Naina menatap Ihsan takjub sekaligus khawatir. “Om yakin bisa? Aku nggak mau gara-gara aku, urusan bisnis Om jadi berantakan,” katanya pelan, nada suaranya penuh cemas.
Ihsan menoleh, senyum tipis terbit di bibirnya. “Na, inget satu hal. Kamu bukan beban. Kamu bagian dari prioritas Om. Bisnis, uang, relasi itu semua bisa Om atur. Tapi kamu cuma ada satu.”
Naina tercekat, jantungnya berdetak kencang. Ia menunduk, bibirnya terkatup rapat, takut kalau wajah memerahnya terlalu kentara.
Ihsan meraih helm dari Alvian, lalu menaruhnya pelan di kepala Naina.
“Pegangan yang kenceng, jangan jatuh. Om nggak bakal maafin diri sendiri kalau sampai kamu kenapa-kenapa,” ujarnya serius.
Naina mendongak sebentar, menatap wajah dewasa itu. Ada dingin, ada tegas, ada keras kepala, tapi ada juga sisi lembut yang selalu bikin hatinya runtuh.
“Om…” bisiknya lirih, hampir seperti doa.
“Aku janji bakal kuat terus, asal Om jangan ninggalin aku.”
Ihsan menyalakan motor, suaranya dalam tapi penuh keyakinan. “Om nggak pernah main-main sama janji, Na. Sekali kamu jadi istri Om, berarti kamu separuh hidup Om.”
Motor itu melaju pelan keluar dari parkiran hotel bintang lima, meninggalkan tatapan Alvian yang masih gelisah.
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺