Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Benjamin menyalakan motor miliknya kembali, pikirannya malah menjadi tambah kacau setelah di rumah, ia ingin beristirahat tetapi malah melihat pertengkaran orang tuanya.
Motor melaju sangat kencang, Benjamin tak tahu akan pergi ke mana. Ia menghentikan motornya setelah beberapa menit mengendarai nya.
Dia pun merogoh saku celana, mencari sesuatu. ''Sialan aku meninggalkannya di meja tadi,'' Benjamin berdecak kesal ternyata ponsel miliknya tak terbawa. Namun kembali teringat ucapan temannya, Ricard. Ada sebuah pertandingan balap liar di tempat tongkrongan mereka, lebih baik ia kesana. Siapa tahu bisa menjernihkan pikirannya yang sedang buruk ini.
Sesampai di sana, banyak orang bersorak dan pertandingannya belum di mulai. Ricard melihat temannya datang, ia menghampiri dengan wajahnya yang tersenyum lebar.
''Tadi kau bilang tidak ikut! Kenapa kau berubah pikiran? Seperti bukan dirimu biasanya!'' Ricard sudah mengenal lelaki ini sedari dulu, mereka berada di sekolah yang sama sejak sekolah dasar.
Benjamin turun dari motor dan membuka helm, ''aku tidak bisa tenang di rumah.'' Dia melihat ada laki-laki yang memandangnya dari arena balapan, ''dia? Yang kau maksud itu.'' Benjamin ingat perkataan Ricard tenang salah satu peserta yang ikut adalah seorang pembalap resmi yang juga terkenal berbakat.
''Ah iya benar, dia William si pembalap yang sudah memenangkan dua puluh pertandingan resmi dalam setahun. Gila kan? Para peserta lain banyak yang menyerah sebelum pertandingan di mulai, makanya waktunya di undur sampai detik ini.'' Ricard menjelaskan dengan penuh perasaan, sejujurnya ia cukup mengagumi pembalap itu namun ternyata William malah menatap sinis dan berprilaku kasar padanya dan pada beberapa orang yang ada di sini.
''Daftarkan aku,'' Benjamin meminta Ricard. Temannya itu tersenyum bahagia, ''baiklah tapi ingat perkataanku.'' Ricard menaikan satu tangan, jarinya ia gesekan. Memberi isyarat soal uang yang akan di menangkan nya bila memenangkan pertandingan.
''Ambil saja semuanya, aku tak terlalu butuh.'' Benjamin sesungguhnya tak mengincar apapun di pertandingan ini sekalipun uang atau hadiah kemenangannya. Ia hanya ingin membuat pikirannya tenang.
''Sudah ku duga kau memang baik hati, berhati mulia, tampan rupawan, ber-''
''Sudah cukup, pergi daftarkan aku.'' Benjamin memotong perkataan temannya itu, ia muak mendengarnya. Ricard biasanya memuji dirinya karena ada sesuatu seperti kali ini, ia menginginkan uang hasil kemenangan dan itupun kalau memang Benjamin menang.
Setelah selesai mendaftarkan teman masa kecilnya, Ricard memberi jempol dari kejauhan. Benjamin lalu mendekati arena dan akhirnya bersebelahan dengan lawan balapannya, William dan beberapa orang yang ia kenal.
''Oke semuanya, terima kasih karena masih setia menunggu kelangsungan acara kami kali ini. Setelah menunggu beberapa waktu lalu, kami akan segera melangsungkan pertandingan ini.'' Seorang panitia berbicara, suasana hening untuk beberapa saat. Panitia itu memberi isyarat kepada seorang perempuan yang sudah ada di depan garis start untuk langsung melemparkan sebuah kain.
Para peserta yang ikut segera mempersiapkan motor maupun diri mereka agar bisa melaju kencang dan memenangkan pertandingan ini.
''1..2..3.. Go'' Suara perempuan itu seketika membuat sorakan para penonton antusias. Para peserta sudah melajukan motor mereka sekencang mungkin untuk bisa berhasil sampai ke garis finish lebih awal dari yang lain.
Dan Benjamin memimpin pertandingan itu, ia yang pertama yang berada di jarak yang cukup jauh namun ada William di belakangnya. Jarak mereka cukup dekat, William mendekatkan motornya agar bisa membuat Benjamin terjatuh dari sana.
Benjamin melajukan lebih kencang agar bisa menghindari William dan akhirnya jarak mereka kembali tak berdekatan.
Beberapa menit berlalu, Benjamin melihat garis finish yang semakin dekat tetapi matanya melihat sesuatu yang familiar. Beberapa lelaki bertubuh tinggi dan besar terlihat dari luar arena dengan mobil hitam mereka yang seperti menyatu, semua laki-laki itu melihat kemari ke pertandingan ini.
"Ah sial, Ayah!" Benjamin menyadari mereka adalah bodyguard suruhan yang sering Morgan sewa untuk mengawasi dirinya.
Padahal tinggal beberapa langkah menuju garis finish, para penonton pun bersorak meneriaki nama Benjamin dan temannya Ricard sudah bersemangat mendapatkan hadiah utama. Namun Benjamin membelokkan arah, ia menghindari garis finish sekaligus para bodyguard itu dan seketika penonton terdiam keheranan.
"Hah?" Ricard melirik ke sekeliling, biasanya kalau Benjamin begini pasti ada yang sedang mengawasinya. Benar saja ada sekelompok orang dari jauh, "yang benar saja."
Benjamin melirik ke belakang, motornya masih melaju. Ia tak mau berurusan dengan orang sewaan Ayahnya, sangat menyebalkan menghadapi mereka maupun Morgan.
Sedari tadi ia hanya ingin beristirahat dan menenangkan pikiran tetapi belum juga mendapatkan apa yang ia inginkan.
Kecepatan motor miliknya kian menurun, ia melirik kembali sebelum akhirnya memutuskan berhenti di sebuah taman yang sangat sepi.
Benjamin turun dari motornya dan menghempaskan tubuhnya ke kursi yang ada di sana. "Kenapa hari ini sial sekali!" Dia menatap langit yang sangat cerah tetapi hatinya malah sebaliknya.
Benjamin mengacak-acak rambut, tiba-tiba ia memikirkan perempuan itu. Teman masa kecilnya yang pernah menyatakan cinta padanya dan orang yang ia cintai, Clarissa Duncan. Kira-kira dua sedang apa? Pasti dirinya sedang bersenang-senang dengan teman-temannya, tersenyum manis dengan mereka. Ben malah membayangkan Clarissa sedang melakukan itu.
"Ah aku bisa gila," Benjamin kian bangun dan melihat sebuah telepon umum di sana. Tak jauh dari taman. Sepertinya ia harus memberitahukan temannya dulu soal kepergiannya.
Tangan kanan Benjamin mengambil telepon itu sementara tangan lainnya menekan tombol yang ada di sana.
"Siapa ini?" Ricard bersuara dari sana.
"Ben, Benjamin. Ada beberapa orang yang mengawasi ku jadi aku pergi, jadi bagaimana pertandingannya? Siapa yang menang!"
Ricard menghela nafas sebelum menjawab, "aku tahu. Aku sudah melihat ada beberapa orang yang mengawasi mu, mereka juga sudah pergi. Oh soal pemerannya, harusnya dirimu maksudku William yang menang tapi dia tak mau mengakuinya. Katanya dia ingin bertanding ulang denganmu, dia tak mau ada yanh mengalah demi dirinya. Bagaimana menurutmu? kau mau melakukannya?"
"Tidak, aku sudah cukup merasa tenang sekarang. Tubuhku juga capek, bilang saja padanya kalau aku tak mundur karenanya. Aku ada urusan mendesak, sampaikan dengan benar Ricard." Benjamin tak mau membuat keadaan semakin rumit, ia sungguh ingin tidur sekarang.
Ricard berdiam sekejap, ia bingung apa harus menyampaikan ini. Mungkin saja temannya sudah mengetahuinya. "Ah Ben, kau tidak melihat berita televisi atau gosip? I-ini soal Clarissa."
"Soal apa? Apa yang terjadi dengannya. Ponsel ku tertinggal di rumah jadi aku tak tahu." Benjamin mulai merasa pembicaraan Ricard akan sangat serius, tidak biasanya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Clarissa.
"Ayah Clarissa di nyatakan bersalah, dia menggelapkan uang rakyat dan-" Ricard menghentikan kalimatnya, ia mondar-mandir di sana, ia takut temannya melakukan tindakan bodoh. "Intinya kau tenang dulu, Ayah Clarissa bunuh diri."
"Apa? Kau, kau tahu di mana Clarissa berada?" Benjamin mengernyitkan dahinya, ia kaget dengan apa yang di sampaikan temannya namun lebih khawatir dengan keadaan Clarissa sekaligus Eva, Ibu Clarissa.
To be continue....