“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati Telah Memilihnya
“Nggak bisa begitu Umi. Apa kata orang nanti kalau melihat Zayn di rumah sendiri. Baru sehari menikah, sudah pisah ranjang.”
“Iya Bune. Itu nggak bagus.” Kyai Munif menimpali.
“Peduli amat,” jawab Umi Shofia dengan cueknya.
Dia begitu bernafsu, memperdayai putra dan menantunya.
“Janganlah begitu Umi,” rengek Zayn.
Kyai Munif sudah kehabisan kata untuk mengingatkan istrinya. Dia menghela nafas. Lalu menikmati kacang rebus, sisa hidangan tadi siang.
“Abah. Ini gimana nih, Abah,” kata Zain memohon, agar Kyai Munif membantunya.
“Tak tahu lah Zayn. itu urusanmu,” kata Kyai Munif.
Zayn tertunduk sedih. Dia memandang Zara penuh tanya. Siapa tahu Zara punya solusi.
“Bagaimana?” tanyanya lirih.
Zara mengangkat bahu dan meneruskan memijit punggung Umi Shofia. Dia juga tidak punya solusi.
“Sebenarnya Umi juga berat. Tapi bagaimana lagi. Kalau kamu di sini pasti nggak tahan. Lihat istrimu.”
“Tahan-tahan, Umi.” kata Zayn
“Mana Umi percaya! Abahmu itu dulu, waktu pengantin baru....” Umi Sofia akan mulai cerita namun segera dipotong oleh Kyai Munif.
“Bune, malu ah!” kata Kyai Munif.
Zara yang sedang memijat kepala Umi Shofia tersenyum. Dia tak menyangka akan mendapatkan keluarga yang unik seperti ini.
“Maka dari itu Zayn, kamu harus rela untuk melepas Zara, sampai dia bisa menyelesaikan tugas dari Umi.”
“Nggak, Zayn tidak setuju.”
Dia segera menarik tangan Zara dan ingin membawanya pergi.
“Eh Zayn, jangan kamu bawa pergi Zara. Urusan Umi belum selesai sama dia,” cegah Umi Shofia.
“Besok saja, Zayn ngantuk.” Zayn berjalan cepat meninggalkan mereka.
“Aa Gus, kasihan Umi tuh.” Zara mencoba meredakan rasa kesal Zayn. Mereka pun berhenti sejenak.
“Zara, Jangan lupa besok habis isya, setor ke Umi satu lembar,” kata Umi Shofia sambil berteriak.
“Nggeh, Umi,” kata Zara sambil balik badan sejenak.
“Dan kamu Zain jangan lupa janjimu sama Umi.”
“Ya. Masalah itu jangan khawatir, Umi.” Suara Zayn sudah agak melunak
"Ya sudah. Kalian pergilah!" Akhirnya umi Shofia rela melepaskan mereka.
Zayn segera membawa Zara pergi menjauh. Dia tak mau berlama-lama di tempat itu. Bisa jadi, tugas mereka akan semakin berat.
“Umi lucu ya, Aa Gus ,”
“he...eh. Tapi bikin pusing juga.”
🌺
Besoknya begitu terbangun, Zara bersuci dan membuka Alquran. Dia mencoba menghafalkan surat yang ditugaskan Umi Shofia. Mumpung sedang sunyi. Tidak ada yang mengganggu
Bukan tugas yang mudah untuk menghafalkan satu lembar dalam sehari. Kalau tidak dimulai sekarang. Kapan lagi.
Apalagi pagi ini, dia ada jadwal latihan tenis.
“Neng, ini jam berapa?” tanya Zayn begitu membuka mata.
Dia sangat terkejut, mendapatkan istrinya tengah serius, menghafalkan Alquran.
“Jam 03.00 Aa Gus,” jawab Zara.
Zayn tersenyum. Meskipun kasihan tapi dia bangga terhadap istrinya yang sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas Umi Shofia.
“Aa Gus terganggu dengan suara Neng ya?”
“Tidak Neng. Teruskan saja hafalanmu.”
Dia terbangun bukan karena suara Zara, tetapi memang dia sudah terbiasa bangun malam.
“Neng sudah salat tahajud?”
“Belum Aa Gus. Neng menunggu Aa Gus bangun.”
Zayn pun beranjak, meninggikan peraduan. Dia segera mandi dan bersuci.
Saat keluar, tubuhnya telah segar dan matanya pun telah bersinar terang. Andaikan dia gunakan untuk salat, tidak mudah tertidur lagi.
“Ayo, Neng,” ajak Zayn.
“Shadaqallahul adzim...” Zara pun mengakhiri tilawahnya.
Dia segera menutup Alquran. Lalu menggelar sajadahnya di belakang Zayn.
“Allahu Akbar.” Zayn bertakbir.
“Allahu Akbar.” Zara mengikutinya.
Dia mengikuti dan menikmati setiap gerakan dalam salat, serta. bacaan yang Zayn perdengarkan.
Di setiap rakaatnya Zayn membaca surat dan ayat yang sama. Yaitu surat Al-baqarah ayat 1 sampai dengan ayat 16. Satu lembar, sesuai dengan apa yang ingin dicapainya di hari ini.
Zara senang, tapi juga merasa aneh. Mengapa suaminya berbuat demikian. Selesai menjalankan rakaat yang keempat, dia pun bertanya.
“Aa Gus, apakah akan membaca ayat itu lagi?”
“Neng keberatan?”
“Tidak Aa Gus. Justru Neng senang. Bisa sekalian membaca, biar cepat hafal.”
“Aa kira Neng keberatan karena terlalu panjang dan lama.”
“Nggak Aa Gus.”
“Ya sudah kalau gitu kita lanjutkan ya, salatnya.”
Kembali Zayn membaca surat al-baqarah dari ayat 1 sampai ayat 16 sampai rakaat ke-8.
Dia berbuat demikian bukan tanpa alasan. Dia ingin membantu Zara Untuk segera menyelesaikan hafalannya.
Hanya pada rakaat 9, 10 dan 11, Zayn membaca surat al-ikhlas, al-falaq dan an-nas. Yang semuanya diawali dengan bunyi kul kul.
Agar salatnya menjadi cool. Sesegar es krim yang bermerek kul kul. Hehehe... bercanda.
“Gimana Neng, hafalanmu. Sudah dapat berapa ayat?”
“Baru dikit Aa Gus. Baru 7 ayat.”
“Itu sudah bagus... Semoga habis ini, dapat lebih banyak.”
“Aamiin aamiin ya rabbal alamin,” ucapnya sambil mengangkat kedua tangan, lalu mengusapkan ke wajahnya.
Memang demikian yang diharapkan oleh Zara. Dia kembali mengambil alqurannya. Menghafalnya berlahan-lahan.
“Apa perlu aku bantu menyimaknya, Neng.”
“Nggak perlu, Aa Gus.”
Zara bukannya tidak mau, hanya saja kalau disimak oleh Zayn konsentrasinya menjadi buyar. Yang ada, dia akan tergoda dengan wajah tampan suaminya. Atau kalau tidak begitu, Zayn yang tergoda untuk menyentuhnya.
“Ya, sudah.”
Zayn pun meninggalkan Zara. Dia mengambil alqurannya dan membacanya dengan lirih dan penuh penghayatan.
Zara merasa lelah. Matanya pun telah redup. Dia sampai menguap beberapa kali berharap bisa menahan kantuk.
Ingin hati untuk segera selesai, tapi keadaan tidak memungkinkan.
“Aa Gus. Nanti kalau subuh, Neng dibangunin ya. Neng capek, mau tidur dulu,” kata Zahra dengan mata yang terpejam-pejap.
“Ya Neng, tidurlah! Nanti Aa bangunkan.”
Zara merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia sangat lelah dan mengantuk. Tak lama kemudian, dia sudah terlelap dengan memeluk guling.
Guling yang sama, yang semalam mereka pergunakan sebagai pembatas. Sebagai jaga-jaga, agar mereka tidak sampai berpelukan. Bisa-bisa mereka lupa dan akhirnya melanggar larangan Umi Shofia.
Zayn melanjutkan bacaannya. Setelah selesai dia pun menyiapkan daftar belanjaan bahan-bahan yang sudah habis di restoran.
Tak lama kemudian, dari arah masjid yang ada di pesantren terdengar suara tarhim. Sebagai tanda bahwa sebentar lagi masuk waktu subuh.
Zayn teringat akan pesan Zara. Dia ingin dibangunkan..
Dia terpaku lama di pinggir ranjang. Dia memandang wajah cantik nan ayu sampai puas.
Meskipun telah halal untuk disentuh, tapi tidak. Dia ingin membuat Zara diterima dulu oleh umi-nya.
Dia tahu keinginan orang tuanya. Yang menginginkan dirinya bahagia. Dapat membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Dengan mewanti-wanti agar menjadikan calon ibu dari anak-anaknya menjadi wanita yang mampu mendidik putra-putrinya kelak. Dan inilah salah satu caranya.
“Maafkan aku, Neng.” Dia mencium kening gadis yang masih tertidur pulas di depannya.
Dalam hal satu ini, hatinya telah memilih. Sebuah pilihan yang sulit. Mungkin tak bisa memuaskan orang tuanya. Tapi dia yakin kalau Zara adalah wanita tepat untuk mereka anggap sebagai menantu..
Dia bermohon kepada Allah agar senantiasa mendapat bimbingan dalam mengarahkan cintanya tak keluar dari yang Allah tentukan.Karena dia mencintai Zara dengan tulus.
Memang lebih mudah baginya mewujudkan keinginan mereka dengan menikah dengan salah satu santri Abahnya. Tapi tidak, dia merasa tidak pantas dan merasa kecil.
Satri Abahnya pintar-pintar, mereka telah diajarkan banyak tentang agama. Jadi apalah arti dirinya untuk mereka. Mereka telah pintar.
Berbeda dengan Zara. Dia merasa dibutuhkan dan berharga. Bukankah suami istri harus saling memberi dan melengkapi.