NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Sang CEO

Istri Rahasia Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti
Popularitas:25.2k
Nilai: 5
Nama Author: Ayu Lestary

"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."

Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.

Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.

Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.

Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch : Empat Belas

Raya mengerjap. “Kau mengunci pintu?”

“Ada masalah?”

“Tidak... hanya tidak menyangka kau akan—”

“Serius?” potong Arka. “Ya. Aku serius. Dua jam ini milik kita. Tak ada yang lain.”

Raya menunduk, pura-pura memusatkan perhatian pada salad di hadapannya. Tapi tidak bisa dipungkiri, pipinya menghangat. Ada sesuatu dalam cara Arka memperlakukannya yang membuat segalanya terasa... nyata.

Sepanjang makan siang, Arka jarang melepaskan pandangan darinya. Ia bertanya tentang proyek yang sedang dikerjakan Raya, lalu memberi beberapa masukan, bahkan memuji ide-ide yang Raya sampaikan tadi pagi saat presentasi.

“Kau hebat tadi,” ucapnya di sela mengaduk kopinya. “Bukan hanya berhasil meyakinkan semua orang. Tapi juga berhasil membungkam keraguan mereka tentang posisimu di kantor ini.”

Raya tersenyum kecil. “Kau yakin bukan hanya karena aku adik iparmu?”

“Tidak.” Arka bersandar, memperhatikan wajahnya. “Bahkan jika kau bukan siapa-siapa... aku masih akan memujimu.”

Detik itu juga, keheningan merayap di antara mereka. Tapi bukan keheningan canggung—melainkan semacam jeda penuh makna. Seolah keduanya sama-sama menyadari bahwa waktu dua jam ini bukan hanya soal makan siang, tapi semacam pengakuan diam-diam... bahwa mereka sedang membangun sesuatu, perlahan, namun pasti.

“Terima kasih,” bisik Raya. “Untuk waktu dan... untuk perlakuan ini.”

Arka hanya mengangguk. “Dan aku harap ini bukan terakhir kalinya kita makan siang berdua seperti ini.”

“Dengan pintu terkunci?”

Arka terkekeh. “Kalau perlu, dengan penjaga di depan pintu.”

Saat waktu menunjukkan pukul satu lewat lima, keduanya masih enggan beranjak. Tapi dunia luar tetap berjalan, dan akhirnya mereka tahu: dua jam itu hanya milik mereka sementara.

Raya menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, menghela napas panjang sambil melirik jam di pergelangan tangannya.

“Waktunya sisa sepuluh menit lagi,” gumamnya pelan, sambil mengusap perut yang masih terasa kenyang setelah makan siang mewah yang disiapkan Arka.

Langkah pelan terdengar dari belakang. Arka bangkit dari kursinya dan mendekat, lalu berjongkok di depannya. “Bisakah… sepuluh menit ini kau berikan sepenuhnya untukku?”

Nada suara Arka dalam, nyaris berbisik. Sebelum Raya sempat menjawab, telapak tangan hangat pria itu mengangkat dagunya perlahan. Sentuhan itu terasa seperti aliran listrik yang menjalar cepat ke seluruh tubuh.

Tanpa kata, bibir Arka mendarat di pelipis Raya, turun ke pipi, lalu ke ujung rahangnya—lambat, lembut, seperti ingin mengukir jejak rasa di kulitnya. Nafas Raya tercekat. Tangannya mengepal di sisi tubuh, mencoba tetap tenang meski jantungnya mulai berdetak tak beraturan.

“Arka…” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Namun Arka tidak berhenti. Ia menarik tubuh Raya lebih dekat, membenamkan wajah di lekuk lehernya yang harum dan hangat. Ciumannya bergulir seperti puisi diam, membawa kehangatan yang membuat Raya menggeliat pelan, tanpa sadar membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu.

Dengan pelan, jemari Arka menyentuh kancing kemeja Raya, menekannya satu per satu dengan kesabaran yang nyaris menyiksa. Bukan karena tergesa, melainkan karena ia tahu: waktu yang singkat akan terasa abadi jika digunakan dengan hati-hati.

Namun sebelum segalanya melangkah lebih jauh, suara detak jam seakan mengingatkan mereka bahwa dunia di luar ruangan masih terus berputar.

Arka menatap dalam mata Raya. “Bukan karena nafsu,” katanya pelan. “Tapi karena aku benar-benar ingin merasakan kau di sisiku… sebagai istriku.”

Raya menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca tanpa tahu alasan pasti. Ia hanya tahu, detik itu, hatinya memilih untuk percaya.

Mereka tidak butuh sepuluh menit penuh.

Hanya butuh satu pelukan yang tulus, satu ciuman dalam diam, untuk memahami bahwa apa yang sedang mereka jalani… sudah bukan lagi sekadar pura-pura.

*

Suasana kantor kembali terasa ramai saat jam makan siang usai. Bunyi langkah kaki bergema di sepanjang lorong. Raya berjalan pelan kembali ke departemennya, membawa setumpuk dokumen, dan menyembunyikan rona merah muda di pipinya yang belum sepenuhnya reda.

Tak seorang pun menduga apa yang baru saja terjadi di ruang CEO. Dan memang seharusnya begitu.

“Raya, kok nggak makan di kantin bareng kita tadi?” tanya salah satu rekan kerjanya saat Raya melewati meja mereka.

“Lagi ada bahasan laporan sama Pak Arka,” jawab Raya singkat, menahan nada gugup dalam suaranya. Ia menunduk sedikit dan langsung menuju mejanya, berharap tidak ada yang memperhatikan senyum kecil yang muncul di wajahnya.

Sementara itu, Arka berjalan santai melewati ruang-ruang kaca kantor, mengenakan ekspresi serius seperti biasa. Ia berhenti sejenak di pantry untuk menuang kopi, lalu menyapa beberapa staf dengan anggukan singkat. Seolah tak terjadi apa-apa.

Namun ketika tatapannya bertemu dengan Raya dari balik dinding kaca ruangannya, matanya menahan isyarat yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Dalam tatapan itu, ada rasa memiliki yang kuat. Ada rasa “kita” yang diam-diam tumbuh di balik kesibukan kantor.

Raya buru-buru menunduk, berpura-pura fokus membaca laporan di tangannya. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat—berusaha keras tetap bersikap wajar di antara orang-orang yang tak tahu apa-apa.

**

Beberapa menit kemudian, terdengar suara notifikasi dari laptop Raya. Sebuah pesan masuk dari jaringan internal:

> From: A.N. “Jika hari ini terasa berat, ingat… aku di sini. Untukmu.”

Raya tersenyum kecil.

Walau tak bisa menunjukkan secara terang-terangan, kini ia tahu bahwa setiap detik di kantor, ada seseorang yang diam-diam memperhatikannya. Menjaganya, memerhatikannya, mencintainya—dalam diam yang paling dalam.

*

Raya tengah merapikan laporan mingguan di mejanya ketika suara langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di depannya. Saat ia menoleh, napasnya tertahan sejenak.

Seorang pria tinggi dengan jas abu gelap berdiri sambil tersenyum. Rambutnya ditata rapi ke belakang, dan senyum itu—entah kenapa—terasa sangat familiar.

“Raya?” tanyanya dengan suara tenang yang mengandung nada kenangan.

Raya mengerjap. Tatapannya menyusuri wajah itu sekali lagi, sebelum perlahan-lahan, sepotong ingatan muncul di kepalanya.

“Keenan?” ucap Raya pelan, nyaris seperti gumaman.

Keenan tersenyum lebih lebar. “Kau masih mengingatku rupanya.”

“Tentu saja,” ucap Raya, bangkit dari kursinya. “Senior komunitas debat fakultas. Yang suka datang paling pagi dan pulang paling malam.”

Keduanya tertawa kecil.

“Aku baru tahu kamu kerja di sini,” lanjut Keenan.

“Aku juga tidak tahu kamu akan ditugaskan ke kantor pusat,” balas Raya.

Keenan mengangguk. “Baru minggu lalu aku dapat SK pindah dari kantor cabang. Begitu tahu nama kamu ada di struktur organisasi sini, jujur saja… aku sempat berpikir, semoga kita sempat bertemu.”

Raya menunduk malu, tak menyadari tatapan Keenan yang masih lekat padanya—hangat dan dalam.

Di masa lalu, mereka memang hanya teman. Berada di satu komunitas, sering latihan debat bersama, kadang pulang bareng jika kebetulan searah. Tapi yang tak pernah Raya tahu, di balik semua itu, Keenan menyimpan perasaan yang tak pernah berhasil ia ucapkan.

Dan sekarang, bertahun-tahun kemudian, kesempatan itu seolah terbuka kembali.

“Aku akan mulai di divisi pengembangan strategi,” ujar Keenan. “Kelihatannya kita akan banyak berkolaborasi.”

Raya tersenyum, “Aku senang mendengarnya.”

Dari balik kaca buram ruang manajer, Arka berdiri mematung. Tatapannya mengarah lurus pada sosok yang tengah berbincang di luar sana—Raya, yang tersenyum lepas di hadapan pria asing itu.

Wajah Arka tetap datar, tak terbaca. Namun, jari-jarinya yang mengetuk pelan permukaan meja mengisyaratkan gelombang emosi yang tak ia tunjukkan. Ada sesuatu yang mengendap dalam sorot matanya—perasaan tak nyaman yang tak bisa ia abaikan.

Sesuatu yang mirip… cemburu.

To Be Continued>>>

1
Laila Isabella
aku mampir di sini author..
Intan Marliah
bagus banget
Ayu_Lestary: Terima kasih 💞
total 1 replies
Mundri Astuti
lepas aja si arka raya, klo mang dia dah ngomong gitu, apa yg mau diharapkan dan diperjuangkan
partini
kenapa ga pergi jauh ke lai kota,,ayo be smart jadi sukses ,,cintai dir sendiri baru cintai orang lain
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
Ayu_Lestary: Terima kasih 💞
total 1 replies
sutiasih kasih
lagian untuk ap km mngekang raya.... & mmbuat raya dlm situasi sulit....
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........
Ayu_Lestary: Arka juga gak tau ini pernikahan macam apa 😭😭
total 1 replies
Dwi Estuning
wah...
momsRaydels
semangat selalu awal yang sangat menarik semangat kak 💪🏼
Ayu_Lestary: Terima kasih 🙏🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!