Di hari pernikahannya, Farhan Bashir Akhtar dipermalukan oleh calon istrinya yang kabur tanpa penjelasan. Sejak saat itu, Farhan menutup rapat pintu hatinya dan menganggap cinta sebagai luka yang menyakitkan. Ia tumbuh menjadi CEO arogan yang dingin pada setiap perempuan.
Hingga sang ayah menjodohkannya dengan Kinara Hasya Dzafina—gadis sederhana yang tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pertemuan mereka bagai dua dunia yang bertolak belakang. Farhan menolak terikat pada cinta, sementara Kinara hanya ingin menjadi istri yang baik untuknya.
Dalam pernikahan tanpa rasa cinta itu, mampukah Kinara mencairkan hati sang CEO yang membeku? Atau justru keduanya akan tenggelam dalam luka masa lalu yang belum terobati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Saat Kinara mendekat, Farhan menatapnya sekilas. Tidak mengatakan apa pun. Tidak menghibur perasaan istrinya yang sedih karena harus berpisah dengan kedua orang tuanya, maupun tidak mengucapkan selamat tinggal pada orang tua istrinya.
Ia hanya membuka pintu mobil dan menyuruh Kinara masuk ke dalam dengan ekspresinya yang dingin.
“Masuklah.” perintah Farhan dengan singkat, datar dan tanpa emosi. Tapi justru karena itulah, dada Kinara terasa sesak. Ia mengangguk sopan ke arah orang tuanya sekali lagi sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.
Pintu mobil pun akhirnya tertutup. Dan dalam sekejap, dunia Kinara terasa berubah.
Perjalanan keluar kota mulai terasa begitu panjang sejak mobil Farhan melaju meninggalkan gerbang pesantren. Bangunan pondok pesantren itu perlahan menghilang dari pandangan, digantikan dengan jalanan gelap dan suara mesin mobil yang stabil.
Di dalam mobil, suasananya terasa beku.
Farhan duduk tegak dengan wajah serius. Di tangannya, sebuah iPad menyala terang. Jarinya bergerak cepat, membuka laporan keuangan, membaca grafik, membalas email dari para klien penting perusahaan. Tidak ada satu detik pun ia berhenti.
Seolah ia sedang melakukan hal paling penting di dunia dan istrinya yang duduk tepat di sebelahnya, hanyalah sebuah pajangan.
Kinara menatapnya sesekali, sambil memainkan ujung kerudungnya. Dada gadis itu berdebar kencang sejak tadi, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa kikuknya.
“Sabarlah, Kinara. Dia suamimu sekarang. Kamu harus belajar memahaminya.” bisik Kinara dalam hati.
Namun tetap saja, Farhan di sampingnya tampak begitu asing. Bahkan terasa makin jauh. Suaminya itu sama sekali tidak menyapanya, mengajaknya mengobrol ataupun ada usaha untuk mengenalnya. Hanya suara iPad dan napas Farhan yang berat, seolah sedang menahan banyak hal.
Mobil terus melaju. Melewati jalan raya yang ramai. Sesekali Kinara melihat ke luar jendela, mencoba menenangkan dirinya, meski hatinya terasa kosong.
“Dua jam. Aku harus melewati dua jam perjalanan seperti ini.” ucap Kinara dalam hatinya.
Farhan akhirnya menutup iPad nya setelah hampir satu setengah jam ia tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia bersandar ke kursinya, memijat batang hidungnya. Lalu menghela napas panjang, napas yang menunjukkan kalau pikirannya sedang penuh.
Tanpa menoleh sedikit pun, ia bertanya,
“Kamu capek?”
Suara itu terdengar datar, dingin, namun anehnya, pertanyaan itu tetap membuat Kinara tersentak pelan hingga membuatnya
menelan ludah.
“Sedikit.”
“Hmm.”
Itu saja. Lalu Farhan kembali terdiam. Kinara menunduk, merasa dirinya seperti berbicara pada dinding.
Langit semakin gelap ketika mobil akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besar yang terbuka perlahan. Kinara memandang keluar dari jendela dan matanya membesar karena terkejut. Sebuah rumah megah berdiri di depan mereka. Bukan seperti rumah biasa. Bukan pula seperti rumah keluarga Akhtar yang sempat ia lihat dalam foto yang ditunjukkan oleh Abinya.
Rumah ini berbeda. Mewah, modern, dengan lampu-lampu taman kecil yang membuatnya terlihat hangat.
“Ini rumah siapa?” gumam Kinara.
Namun Farhan lebih terkejut lagi. Ia langsung mendongak dari posisinya dengan alisnya yang mengerut tajam.
“Aku tidak tahu, tapi yang jelas ini bukan kediaman ku.” desisnya rendah.
Mobil berhenti sepenuhnya. Sopir turun dan bergegas menghampiri pintu mereka. Farhan keluar duluan sambil memandang sekeliling dengan wajah tidak suka.
“Apa-apaan ini?” gerutunya.
Kinara ikut turun perlahan, berdiri di samping mobil sambil menatap rumah itu dengan bingung.
“Tuan Farhan, sesuai permintaan pak Ardhan, saya diminta mengantar Tuan dan Nyonya ke sini setelah acara selesai.” ucap sopir itu yang membuat Farhan memicingkan matanya dengan tajam.
“Permintaan siapa?”
“Pak Ardhan, Tuan.”
Wajah Farhan langsung mengeras.
“Untuk apa ayah menyuruhmu membawa aku ke sini? Aku nggak pernah nyuruh. Seharusnya kau bawa kami pulang ke rumah keluarga Akhtar.”
“Maaf, Tuan…” sopir itu menelan ludah. “Pak Ardhan meminta saya memastikan Tuan dan Nyonya tinggal di rumah ini mulai malam ini.”
Farhan membeku, sementara Kinara memandang suaminya dengan takut. Membuat Sopir itu melanjutkan perkataannya dengan suaranya yang semakin pelan,
“Rumah ini adalah hadiah pernikahan dari pak Ardhan untuk Tuan dan Nyonya.”
Farhan merasa dadanya seperti diinjak. Rahangnya mengeras begitu rupa hingga ada garis tajam yang terlihat di pipinya.
“Hadiah pernikahan?” ulang Farhan dengan nada setengah tidak percaya, setengah ingin meledak.
Sopir mengangguk cepat.
“Iya, Tuan. Beliau bilang, Biarkan mereka memulai hidup baru mereka di tempat yang baru. Dan beliau memerintahkan saya untuk langsung mengantar ke sini tanpa memberi tahu Tuan sebelumnya.”
Farhan menghembuskan napas kasar dari hidungnya.
“Sial.”
Ia memutar badan, berjalan menjauh sambil merogoh ponselnya dari saku. “Sebenarnya apa yang ingin ayah lakukan padaku dan juga Kinara?!”
Ia menekan nomor yang sudah dihafalnya dengan gerakan cepat dan penuh amarah. Sementara Kinara berdiri kaku di samping mobil, memegang ujung kerudungnya dengan kedua tangan. Ia tidak tahu harus apa. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Ia hanya melihat punggung Farhan yang tegang dan mendengarkan suara laki-laki itu yang meledak-ledak,
“Ayah! Maksud Ayah apa menyuruh sopir nganterin Farhan dan Kinara ke rumah ini?!”
Suara Farhan menggema keras di halaman rumah mewah itu. Emosi, marah, tidak percaya—semuanya bercampur menjadi satu. Pak Ardhan yang mendengar amarah dari putranya, berusaha membuatnya mengerti.
"Ayah melakukan ini demi kebaikan kamu, Farhan. Selama ini kamu selalu menjauh dari wanita dan menganggap mereka sebagai penghancur. Tapi kau harus tahu nak, kalau tidak semua wanita bersikap seperti itu. Dan ayah mencoba untuk membuatmu mengerti dengan membiarkanmu dan juga Kinara tinggal serumah, yang terpisah dengan kami." Ucap pak Ardhan yang membuat Farhan menghela napas dengan berat.
"Ayah benar benar membuatku kecewa, ayah selalu melakukan yang ayah mau tanpa bertanya kepadaku apakah aku menginginkannya atau tidak." Ucap Farhan dengan penuh kekecewaan.
Farhan masih memegang ponselnya, rahangnya mengeras sampai ototnya terlihat dari samping. Napasnya naik turun dengan cepat, seperti seseorang yang berusaha keras menahan badai yang sudah terlanjur meledak di dalam dadanya. Ia menutup telepon itu tanpa memberi kesempatan ayahnya bicara lebih lanjut.
Beberapa detik setelah panggilan terputus, keheningan malam seperti menampar seluruh halaman rumah yang luas itu. Angin malam bergerak pelan menerpa pepohonan kecil di halaman, tapi Farhan berdiri kaku seperti patung marmer yang siap retak kapan saja.
Kinara hanya bisa berdiri diam di dekat mobil, memeluk lengan bajunya sendiri. Ia tidak berani bergerak, tidak berani mengeluarkan suara. Jantungnya berdetak cepat. Ia melihat suaminya memalingkan wajahnya dari ponsel dan menatap ke arahnya.
Tatapan itu terlihat dingin, kosong, tapi anehnya penuh pergolakan batin di baliknya yang membuat Kinara refleks menunduk.
Untuk mencapainya, Allah subhanahu wata'ala telah memberi pedoman dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah SAW telah menjadi tauladan untuk meraih keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Bahwasannya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah berarti menciptakan rumah tangga yang tenang (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (warahmah) dengan landasan kuat pada keimanan dan ketaqwaan,
dapat tercapai jika suami istri saling memenuhi peran dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya...😊
Aku ikut terharu membaca Bab22 ini, hati jadi ikut bergetar...👍/Whimper//Cry/