“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11
Saat mereka sudah cukup jauh dari pintu ruangan, Alice tiba-tiba menutup mulutnya, menahan tawa yang hampir meledak karena tiba-tiba teringat sesuatu.
“Mas… aku tahu ini kedengarannya dosa banget,” bisiknya sambil mencondongkan badan mendekati Dirga pria yang sebenarnya diam-diam mencintai Alice, “tapi jangan-jangan Pak Ardhanza itu kena pelet sama Mbak Inara.”
Dirga sontak langsung menghentikan langkah kakinya saking terkejutnya mendengar ucapan Alice barusan. “Hah? Pelet?? Astaga, Al! Ini sudah jaman modern loh. Mana ada gituan,” tukasnya panik, tapi ekspresinya jelas setengah percaya-setengah ngeri.
Alice mengangguk cepat, seolah menemukan teori paling masuk akal mengenai hubungan atasannya itu.
“Iya lah! Mas lihat tadi nggak? beliau cuma bilang baik atau kerjakan tapi sekarang full senyum! Ingat tersenyum, Mas. Disentuh pula! Apa nggak geli gitu diraba-raba depan umum dan aku yakin itu bukan Pak Ardhanza versi normal melainkan Pak Ardhanza itu versi terkena ajian mantra-mantra guna-guna ramuan cinta!”
Dirga memijat pelipisnya seolah-olah dia pusing memikirkan hal itu padahal itu hanyalah akal-akalannya saja karena dia juga tak menampik perubahan yang terlalu cepat dan mencolok.
“Jangan sembarang ngomong, Al. Beliau itu CEO kita… entar apa yang dengar bis berabe loh,” tukasnya.
“Tetep aja,” sergah Alice cepat. “Dulu sama Bu Luna sifatnya dingin banget udah melebihi kulkas sembilan pintu, Mas. Dingin banget sampai-sampai bisa membekukan ruangan rapat. Tapi sama Mbak Inara? Baru muncul lima menit aja langsung meleleh kayak es krim kena matahari. Kalau bukan pelet, apa lagi coba? Kan dari segi wajah Bu Luna lebih cantik.”
Dirga akhirnya terkikik kecil juga mendengar penjelasan Alice yang panjang kali lebar sama dengan luas itu. “Ya… kalau dipikir-pikir sih, ada benarnya juga sih. Perubahannya ekstrim banget saking amazingnya sampai-sampai kita terheran-heran dibuatnya.”
Alice semakin semangat. “Makanya! Mana tahu Inara itu bawa-bawa bunga tujuh rupa, air mawar, dupa, boneka putih atau apa gitu yang biasanya dipakai orang-orang.”
Dirga menatapnya horor campur ngakak. “Alice… please jangan kenceng-kenceng! Kalau HRD dengar, habis riwayat kita loh.”
Alice mengangkat tangannya, bersumpah pura-pura. “Demi kopi gratis pantry, Mas. Aku cuma ngomong sama Mas kok belum sama anak-anak yang lain. Tapi serius menurutku Pak Ardhanza itu kayak hmm… terikat sesuatu benda magis tak kasat mata.”
Dirga menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan-lahan. “Atau jangan-jangan itu cinta biasa saja?”
Alice langsung meringis dramatis. “Cinta biasa nggak secepat itu, Ferguso. Ini melebihi kecepatan angin tornado dan petir.”
Dirga akhirnya tertawa, dan mereka kembali berjalan menuju meja kerja masing-masing.
Tapi sebelum benar-benar berpisah, Alice berbisik sekali lagi, suaranya sangat pelan namun penuh keyakinan sembari celingak-celinguk memperhatikan sekitarnya.
“Kalau besok-besok Pak Ardhanza makin mesra lagi, Mas harus ingat kata-kata saya. Ini ada pelet-peletnya aku sangat yakin akan hal itu.”
Alice memegangi perutnya saking tak kuasa menahan tawanya sendiri setelah berbicara seperti itu.
“Kecuali datang perempuan sholehah, baik hati dan lebih cantik dari Bu Luna kemungkinan besarnya pelet itu hilang dan mental,” imbuhnya lagi.
Dirga hanya bisa menggeleng, sementara tawa kecil mereka menghilang seiring langkah yang menjauh.
Sedangkan di dalam ruangan lain yaitu ruangan pribadi CEO Ralf Dewantara atau RD Corp tempat Ardhanza dan Inara berada suasana begitu berbeda.
Ardhanza duduk di sofa, bahunya sedikit merosot menahan letih. Tanpa sungkan, Inara melangkah mendekat dan naik ke pangkuannya seolah itu adalah tempat paling wajar baginya.
Senyumnya manis, suaranya lembut, dan tatapan matanya sengaja dibuat meneduhkan hal-hal kecil yang selalu berhasil menggoyahkan dinding batu di dada Ardhanza.
“Abang kelihatan capek,” bisiknya manja sambil meraih wajah pria itu hingga kedua pasang mata mereka saling beradu tatapan.
Sebelum Ardhanza sempat merespons, Inara sudah memiringkan kepalanya dan memajukan bibirnya, melumat bibir duda itu dengan penuh kepastian.
Ardhanza yang sudah terbiasa dengan perlakuan semacam itu setiap kali mereka berdua saja akhirnya terpancing untuk membalasnya.
Bibirnya mulai bergerak mengikuti ritme lembut Inara, tangan besarnya naik dan turun di sepanjang punggungnya hingga menelusuri lekukan tubuhnya Inara dibalik gaun mahalnya.
“Ahhh sayang,” cicitnya Inara ketika tangan besar Ardhanza sudah menyentuh puncak gunung Himalaya dibalik penutup cup berwarna pink itu.
Inara Irena yang diperlakukan seperti itu semakin mendeee saah tak karuan dan dalam hati bersorak-sorai gembira karena usahanya kembali berhasil.
“Aku yakin dengan kemampuanku ini akan membuat Abang bertekuk lutut di hadapanku dan tak lama lagi pasti kami akan tidur bersama.” Inara membatin sambil meresapi setiap sentuhan sang duda keren itu.
Ardhanza terseret ikut dalam alur permainan yang diciptakan oleh Inara calon istrinya.
Inara makin menempel, sengaja. Gaunnya sedikit tersingkap ketika ia menggeser posisi duduknya, membuat Ardhanza kehilangan fokus sepersekian detik ketika tangannya Ardhanza semakin bebas bergerilya itu adalah hal yang selalu disukai Inara.
“Kamu semakin cantik saja, sayang…” gumam Ardhanza, napasnya mulai tak stabil. “Kenapa pula Oma musti menunda pernikahan kita?”
Kalimat itu saja sudah cukup membuat dada Inara meledak kegirangan dalam hati, ia tertawa puas.
“Hahaha… terima kasih untuk kakek tua itu. Ramuan yang dia beri memang ampuh. Lihat sendiri kan, Bang Ardhanza makin lengket, makin sayang, makin buta.
Ya, nggak masalah sesekali aku harus melayani dan menyerahkan tubuhku ini kepada kakek bagkotan itu asalkan bulan depan Abang Ardhanza resmi jadi milikku.” Inara membatin disela-sela kegiatannya.
Wajah Inara tetap terlihat manis dan setia, tetapi batinnya berjingkrak kegirangan.
Ardhanza sempat terdiam sejenak ketika Inara bergerak sedikit, membuka gaunnya dan melemparkannya ke sembarang tempat.
Sorot matanya berubah tajam namun lembut, seolah melihat pemandangan yang meruntuhkan seluruh pertahanannya.
Pria mana yang akan sanggup menahan dorongan dari dalam tubuhnya ketika melihat perempuan yang tak memakai sehelai benangpun duduk di pangkuannya.
“Inara…” suaranya parau, nyaris seperti helaan napas yang tertahan dan terlihat bola matanya bergerak liar kekanan ke kiri.
“Bentuk tubuh kamu Masya Allah, cantik sekali. Anggun dan menggoda dalam satu waktu.” pujinya Ardhanza.
Tangannya menyusuri pinggang Inara yang ramping, gerakannya perlahan seperti sedang menikmati pahatan seni yang ia kagumi diam-diam selama ini. Bukan hanya tangannya tapi, bibirnya pun sudah menjelajahi permukaan kulit yang putih mulus bagaikan pualam.
“Kamu itu…” Ardhanza kesulitan menelan ludahnya, tatapannya tak lepas dari lekuk tubuh perempuan itu.
“Nggak ada yang kurang sangat sempurna. Dari ujung rambut sampai langkah kecilmu pun bikin Abang hilang fokus.” Ardhanza semakin memuji Inara yang duduk di atas tubuhnya.
Inara pura-pura menunduk malu, padahal di dalam hati ia bersorak penuh kemenangan.
Ardhanza mendekat, wajahnya memancarkan kekaguman yang sulit ia sembunyikan.
“Setiap kali lihat kamu seperti ini, Abang merasa kayak nggak punya kendali sama perasaan sendiri.”
Ia mengangkat dagu Inara dengan lembut.
“Kamu cantik, Inara. Cantik dengan cara yang bikin Abang lupa bernapas.”
Dan untuk sejenak, Inara merasakan kemenangan yang ia tunggu tentunya dengan mantra dan beberapa ramuan sehingga Ardhanza semakin klepek-klepek, ugal-ugalan mencintainya, ia berhasil membuat Ardhanza memujanya setinggi langit.
Ardhanza menariknya lebih dekat, dan Inara mendesah kecil bukan hanya karena sentuhan pria itu, tetapi karena rasa puas yang memenuhi kepalanya dan semua itu berjalan sesuai rencana dan diinginkannya.
“Lihat, Bang begini caraku menaklukkanmu. Aku tahu kemampuan ini cukup untuk membuatmu bertekuk lutut di hadapanku.
Dan nggak lama lagi kamu akan sepenuhnya dalam genggamanku. Duda kaya raya, tampan, keren, dan sudah setahun lebih sendiri sejak perempuan hina itu Luna Angelica meninggal dunia bersama selingkuhannya. Siapa yang bisa lebih pantas menggantikan posisinya selain aku?”
Inara meresapi setiap sentuhan Ardhanza, namun yang ia nikmati jauh lebih daripada itu yaitu kemenangan kecilnya, langkah demi langkah menuju posisi yang ia impikan.
Ardhanza makin menunduk, wajahnya begitu dekat hingga nafas hangatnya terasa di leher Inara.
Kedua tangannya mencengkeram pinggang perempuan itu seakan tak ingin dilepaskan barang sedetik pun.
Inara membalasnya sama intens, jemarinya merayap naik ke belakang kepala Ardhanza, menarik pria itu semakin dekat hingga menyentuh dua benda keramatnya yang begitu menonjol dan menantang.
“Abang…” bisik Inara lirih, matanya setengah terpejam, tubuhnya mengikuti alur gerakan Ardhanza.
Nada suara itu sangat manja, lembut, dan penuh komitmen pura-pura hingga membuat Ardhanza hampir lupa dunia luar dan kehidupannya termasuk kedua anak kembarnya Jaylani dan Jianira.
Mereka saling memberikan apa yang mereka inginkan yaitu Ardhanza mendapatkan ketenangan, pelarian, dan kehangatan yang sudah lama hilang sejak Luna pergi.
Sementara Inara mendapatkan kesempatan emas untuk semakin mengikatnya hingga Ardhanza menjadikannya sang ratu di dalam kehidupannya.
Tatapan Ardhanza melembut, tetapi caranya memeluk Inara semakin kuat, seolah ia menemukan sepotong rasa nyaman yang telah ia rindukan setahun lebih.
“Kamu selalu tahu bagaimana bikin Abang tenang…” gumam Ardhanza, suaranya serak penuh emosi.
Inara tersenyum dalam dada dan bukan karena kasih sayang, melainkan kemenangan.
“Bagus Abang, teruslah begitu karena Kamu semakin dekat dan semakin tergantung padaku.” Inara membatin.
Ia mengusap rahang tegas Ardhanza perlahan, mengarahkan wajah pria itu ke dadanya lagi.
“Selama Abang butuh aku, aku selalu ada,” ucapnya penuh kepastian yang tersenyum lebar.
Ardhanza menautkan bibirnya pada bibir Inara setelah puas di puncak gunung Himalaya, lebih intens, lebih dalam.
Keduanya saling membahagiakan, Ardhanza dengan ketulusan yang rapuh, Inara dengan keahlian memainkan perannya.
Suasana ruangan sudah begitu pekat, penuh nafas memburu dan kehangatan yang berbaur tak lagi terkontrol.
Ardhanza mendorong tubuh Inara lebih rebah, menindihnya dengan keinginan yang selama ini ia tahan.
Inara memejam, menikmati kedekatan itu dengan dua rasa sekaligus yaitu kenikmatan di tubuhnya dan rasa puas di hati.
“Inilah saatnya. Inilah cara menaklukkan duda kaya raya yang sedang kesepian.
Sedikit lagi dia akan sepenuhnya berada dalam genggaman dan kuasaku.”
Keduanya makin hanyut dalam permainan yang mereka ciptakan sendiri. Ardhanza sudah menindih tubuh Inara di sofa, napasnya memburu, sementara tangan Inara meli
ngkari lehernya, menahan agar pria itu tak menjauh.
Pakaian sudah berserakan di atas lantai, suasana ruangan kerja sudah berubah sembilan puluh derajat dari meeting, suara keyboard berubah menjadi suara gaib dari kedua anak cucu Adam.
Suasana ruangan sudah dipenuhi desah pelan dan aroma ketegangan yang sulit dihentikan, keduanya sudah sama-sama kebablasan akan lupa dengan status mereka saat ini yang belum terikat kata halal namun..
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.