Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Mencoba menahan diri
Lapangan golf sore itu terasa lengang, cahaya matahari keemasan memantul di hamparan rumput hijau. Arvenzo sudah tiba lebih dulu, berdiri tenang dengan stik golf di tangannya. Beberapa menit kemudian, Niko dan Zayden muncul, keduanya dengan gaya santai khas mereka.
“Wih, jarang-jarang lo ngajak main golf sore gini,” celetuk Zayden sambil menepuk bahu Arvenzo. “Biasanya kan walaupun weekend lo tetap sibuk kerja.”
Arvenzo hanya menghela napas pendek, menatap lurus ke arah lapangan. “Gue lagi butuh udara segar.”
Niko langsung ngakak. “Udara segar atau lo lagi kabur sebentar dari istri cantik lo itu?” godanya.
Arvenzo menoleh sekilas, sorot matanya tajam, tapi tidak menyangkal. “Gue nggak kabur. Gue izin dulu sama Velora sebelum ke sini.”
Zayden hampir menjatuhkan stiknya. “Hah?! Tunggu bentar... Lo izin? Arvenzo yang gue kenal nggak pernah izin ke siapa pun. Lo kalau mau pergi ya pergi aja.”
Niko menambahkan sambil nyengir lebar, “Wah, fix nih... Lo udah berubah, Bro. Ternyata Velora bisa bikin lo agak jinak juga.”
Arvenzo mengangkat alis, suaranya tetap datar. “Jinak apanya. Gue cuma ngasih tahu, biar dia nggak mikir aneh-aneh!”
Zayden dan Niko saling pandang, lalu tertawa bersamaan. “Alasan, Bro. Alasan!” seru Niko.
Arvenzo mengayunkan stik golf, bola meluncur jauh menembus horizon. Ia tetap tenang, seolah tak terganggu. Tapi Zayden yang memperhatikan dari dekat bisa menangkap sesuatu di sorot mata sahabatnya.
“Lo mungkin nggak sadar, Ven,” ucap Zayden lebih serius. “Tapi kalau sampe lo bisa ngomong izin sama Velora berarti lo udah mulai peduli sama dia.”
Arvenzo diam, tidak langsung menjawab. Hanya menggenggam stiknya lebih erat, lalu melangkah maju untuk mengambil giliran lagi.
“Peduli bukan berarti gue cinta,” katanya akhirnya, dingin tapi ada nada samar yang tak bisa mereka sembunyikan.
Niko menepuk bahu Arvenzo pelan, masih nyengir. “Ya, tapi biasanya peduli itu pintu pertama sebelum jatuh cinta, Bro. Hati-hati aja... jangan-jangan lo sendiri yang nanti kejebak.”
Arvenzo hanya menghela napas, menatap langit sore yang mulai merona merah. “Gue nggak akan kejebak. Gue yang atur permainan ini.”
Tapi jauh di dalam dirinya, Arvenzo tahu apa yang dikatakan Zayden dan Niko tidak sepenuhnya salah. Tapi ada tembok besar yang membuatnya susah untuk jatuh cinta lagi.
Setelah beberapa putaran golf, mereka bertiga akhirnya duduk santai di lounge lapangan. Minuman dingin tersaji di meja, suasana makin cair.
Niko membuka ponselnya, lalu tiba-tiba bersiul. “Eh, lo berdua liat berita terbaru soal Leona? Gila, makin rame tuh gosipnya. Karirnya bener-bener ancur sekarang.”
Zayden ikut melongok ke layar. Judul berita besar terpampang: “Leona terjerat skandal. Sponsor dan kontrak iklan serentak dibatalkan”. Ia mengangkat alis, lalu menoleh ke Arvenzo. “Waduh, kasian juga sih mantan lo itu. Tapi kalau dipikir-pikir, ini terlalu rapi buat kebetulan.”
Niko menatap Arvenzo dengan senyum penuh arti. “Iya, lho. Jangan bilang ini semua ulah Lo?”
Arvenzo meneguk minumannya pelan, ekspresinya tetap dingin. “Gue cuma lagi main golf sama kalian sekarang, bukan main sama media.”
Zayden terkekeh, geleng-geleng kepala. “Jawaban klasik. Tapi gue kenal lo, Ven. Kalau ada orang yang bisa bikin berita secepat ini naik dan bikin satu karir jatuh dalam semalem itu cuma lo.”
Niko menepuk meja, nyengir lebar. “Fix, ini kerjaan lo. Lo ngelindungin Velora, kan? Biar dia nggak terus-terusan dihujat karena gosip rebut pacar orang.”
Arvenzo menatap keduanya sebentar, matanya tajam tapi tak membantah. “Kalau pun itu benar, kenapa? Gue nggak akan biarin istri gue diinjak orang lain. Gue dingin, iya... tapi gue nggak sebodoh itu biarin Velora jadi korban gosip murahan!”
Suasana hening sejenak. Zayden dan Niko saling pandang, lalu tertawa kecil.
“Gue nggak salah kan, Nik,” kata Zayden sambil mengangkat gelas. “Arvenzo Wardhana yang katanya nggak peduli sama siapa pun, ternyata bisa juga turun tangan kalau urusan nyangkut sama Velora.”
Niko mengangkat gelasnya juga. “Bener banget. Kalau gini caranya, jangan kaget Bro... bentar lagi lo bakal lebih dari sekadar peduli.”
Arvenzo hanya menatap keluar jendela, melihat matahari sore yang kian meredup. Ia tidak menjawab, tapi genggaman tangannya di gelas mengeras seolah tanpa sadar mengakui bahwa mereka tidak sepenuhnya salah.
...****************...
Arvenzo baru saja kembali dari lapangan golf menjelang malam. Kaus polo yang masih ia kenakan sedikit basah oleh keringat, topinya sudah ia lepas sejak masuk ke rumah. Dengan langkah panjang, ia menuju kamarnya.
Begitu membuka pintu, ia mendapati ruangan itu kosong. Dahi Arvenzo berkerut, alisnya terangkat tipis. Velora kemana? pikirnya. Pandangannya lalu jatuh pada pintu Wardrobe yang terbuka sedikit, cahaya kuning hangat dari dalamnya memantul keluar.
Dengan langkah ringan tapi penuh rasa ingin tahu, Arvenzo mendekat. Begitu pintunya terdorong lebih lebar, napasnya seketika tercekat.
Velora berdiri di depan cermin besar Wardrobe, punggungnya menghadap pintu. Kimono sutra tipis yang tadi ia kenakan sudah melorot dari bahunya, kini menggantung longgar di siku. Hampir seluruh tubuhnya terekspos, hanya tersisa pakaian dalam tipis yang menempel di kulitnya. Gerakannya santai, polos seolah tidak sadar sedang dipandangi.
Arvenzo membeku di tempat. Sorot matanya mengeras, bukan karena marah, tapi karena hasrat yang meledak tiba-tiba. Nafasnya memburu. Godaan itu terlalu nyata begitu melihat lekuk tubuh Velora, cahaya lampu yang membuat kulitnya tampak berkilau, aroma samar yang masih menempel di udara.
Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Dalam benaknya, ada suara yang berteriak liar. 'Lo bisa sekarang. Dia istri lo. Lo bisa punya dia seutuhnya.'
Tapi ada sisi lain dalam dirinya yang menahan. Velora belum siap. Kalau ia memaksakan diri sekarang, hanya ketakutan yang akan Arvenzo dapat, bukan penerimaan.
Arvenzo cepat-cepat memalingkan wajah, melangkah pergi dengan napas memburu. Tubuhnya tegang, darahnya berdesir liar. Ia masuk ke kamar mandi, menutup pintu dengan sedikit kasar, lalu menyalakan shower. Air dingin mengucur deras, tapi tidak cukup untuk meredam panas di dalam dirinya.
Bayangan tubuh Velora terus menghantui, membuatnya kehilangan kendali. Akhirnya, dengan desahan berat yang tertahan, Arvenzo melepaskan semua gejolak itu sendirian. Tangannya mencengkeram wastafel, keringat bercampur dengan cipratan air.
"Brengsek! Gue hampir kebablasan. Cewek itu bikin gue gila!"
Sementara itu, Velora di dalam Wardrobe masih sibuk merapikan pakaiannya, sama sekali tak menyadari betapa suaminya barusan berperang dengan dirinya sendiri demi menahan hasrat.
Suara pintu kamar mandi terbuka pelan. Arvenzo melangkah keluar, tubuhnya masih berembun tipis, rambut hitamnya sedikit basah. Ia mengenakan kimono hitam longgar, ikatannya di pinggang tampak tidak terlalu kencang, membiarkan sedikit kulit dadanya terlihat.
Langkahnya tenang, tapi dalam dadanya masih bergemuruh. Bayangan Velora di ruang Wardrobe tadi dengan tubuh polos yang sempat ia lihat tanpa sengaja masih menempel jelas di kepalanya. Nafasnya dalam, berusaha menyingkirkan hasrat yang tadi nyaris meledak.
Velora sudah keluar dari Wardrobe, kini duduk di tepi ranjang sambil menata bantal. Ia menoleh begitu mendengar suara langkah Arvenzo. “Oh... kamu sudah selesai mandi?” tanyanya canggung, tidak sadar apa yang sebenarnya baru saja terjadi.
Arvenzo menatapnya sekilas, dingin tapi ada sesuatu yang berbeda sorot matanya lebih berat dari biasanya. “Ya,” jawabnya singkat. Ia berjalan ke arah meja, menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya dalam-dalam, seolah butuh penahan lain selain dirinya sendiri.
Velora menatap sekilas, lalu menunduk lagi, pura-pura sibuk dengan selimut. “Aku sempat menyiapkan teh, kalau kamu mau.”
Arvenzo menghela napas pelan, lalu berkata tanpa menoleh, “Taruh saja di sini.”
Velora bangkit, meletakkan teh hangat di nakas. Tangannya sedikit bergetar saat menaruh gelas, entah karena suhu ruangan yang dingin, atau karena suasana yang makin sulit ia pahami.
Arvenzo menoleh, matanya menatap Velora beberapa detik lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di sana hasrat yang dipendam, tapi dibungkus dingin. Velora merasa dadanya berdebar, buru-buru kembali duduk di sisi ranjang.
“Sana istirahat saja duluan!” ucap Arvenzo, nada suaranya rendah namun tegas.
Velora menoleh singkat, tatapannya bertemu dengan matanya. “Iya...” katanya lirih.
Sunyi kembali turun. Velora akhirnya berbaring, sementara Arvenzo keluar ke balkon, duduk di kursi dekat jendela, masih dengan kimono yang longgar, menyalakan sebatang rokok. Asapnya mengepul, samar menutupi wajahnya yang tampak lelah sekaligus gelisah.
Dalam hati ia bergumam, Sampai kapan gue bisa nahan kayak gini?
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭