Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 13.
Ponsel di tangan Nadira bergetar sekali lagi. Jemarinya gemetar ketika membuka pesan yang barusan masuk. Itu dari nomor tak dikenal, hanya berisi satu foto. Buku nikah mereka tujuh tahun lalu, lengkap dengan stempel sah.
Di bawah foto itu, ada kalimat singkat.
[Ini aku, Ibu mertuamu. Belum pernah ada akta cerai resmi yang terdaftar. Secara hukum, kalian masih suami istri.]
Nadira terperangah tak percaya, saat itu tiba-tiba pintu kamar apartemen terbuka kembali... Ardan masuk tanpa mengetuk.
Tatapannya langsung jatuh ke wajah Nadira yang masih pucat.
“Ada apa?” tanyanya datar, menatap layar ponsel di tangan wanita itu.
Nadira buru-buru menyembunyikan ponselnya di belakang tubuh. “B-bukan... apa-apa.”
Alis Ardan terangkat, lalu ia melangkah mendekat. “Dira…” suaranya rendah, dingin, tapi menuntut. “Jangan berani menyembunyikan sesuatu dariku.”
“Aku tidak__”
Ardan sempat bergerak ingin meraih pergelangan tangan Nadira, cepat dan mendadak. Namun, denting ponselnya memecah ketegangan. Nama Claudia menyala di layar. Tanpa ragu ia langsung menekan tombol merah, seolah panggilan itu tak pernah ada.
Nadira mencoba menutupi rasa gugupnya. “Kamu kembali… apa ada yang ketinggalan?” tanyanya, berusaha terdengar ringan.
Ardan tak menjawab dengan basa-basi, ia menyodorkan sebuah kartu berwarna hitam pekat ke arahnya.
Mata Nadira melebar. “Apa maksudnya ini?”
“Gunakan,” jawab Ardan singkat, nadanya tegas. “Semua yang kau butuhkan, bahkan keluargamu... cukupkan dengan kartu ini. Besok mobil akan menjemput dan mengantarmu kembali ke sini. Jangan coba melawan, Nadira. Patuh… kalau tidak, kau akan menyesalinya.”
Ardan mendekat, memeluk tubuh Nadira. “Tidurlah."
Keesokan paginya.
Nadira terbangun di kamar apartemen mewah itu. Ardan tidak datang lagi, tapi sebuah pesan masuk ke ponselnya dari pria itu.
“Orangku sudah menyiapkan sarapanmu, ada di meja. Sopir akan menjemputmu pukul 8...”
Nadira menghela napas berat.
Seketika, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, pesan masuk dari Nyonya Rarasati.
[Nadira, ikuti saja semua kemauan Ardan. Biarkan dia merasa menang. Semakin dia mengikatmu, semakin dia sadar siapa yang benar-benar dia butuhkan. Aku berpura-pura keras padamu… agar dia belajar melunakkan dirinya sendiri.]
“Jadi benar, ada permainan di balik semua ini. Nyonya Rarasati sengaja mendorong Ardan ke arahku...“
Tapi sebelum ia sempat mencerna lebih jauh, pesan berikutnya masuk.
[Terus berpura-puralah sebagai korban, biarkan Ardan merasa bersalah. Hanya dengan cara itu, hatinya bisa luluh.]
Nadira menutup mulut, menahan napas. Antara lega dan bingung. Jadi benar, ibu mertua yang ia kira membencinya… ternyata sedang berstrategi?
Air matanya jatuh lagi karena terharu.
“Ardan… apa kau benar-benar bisa kembali jadi suami yang dulu aku kenal?” bisiknya pelan.
Pagi itu, kantor sudah riuh dengan suara ketikan keyboard dan langkah kaki pegawai yang sibuk. Nadira melangkah pelan menuju meja kerjanya, menenteng map berisi dokumen yang harus ia serahkan pada CEO.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti.
Beberapa rekan kerja berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Ada yang menutup mulut sambil tertawa kecil, ada yang menggeleng-geleng penuh iba.
“Kasihan banget, ya… baru jadi sekretaris, tapi kelihatan kayak di-bully.”
“Eh, jangan keras-keras ngomongnya! Kalau sampai didengar Tuan Ardan, bisa tamat karier kita.”
“Tapi serius, lihat deh wajahnya. Kayak orang ketakutan terus.”
Nadira menunduk, pura-pura tidak dengar. Padahal dalam hati, ia tersenyum tipis.
Strategi Nyonya Rarasati mulai bekerja, aku hanya perlu terlihat rapuh.
Di ruangannya Ardan tengah berdiri di depan kaca besar, menyesap kopi hitam dengan ekspresi dingin. Ia bahkan tidak menoleh saat Nadira masuk sambil membawa map.
“Letakkan di meja,” ucapnya singkat.
Nadira menurut. Tapi kali ini, ia menambahkan sedikit drama. Ia meletakkan map itu dengan tangan gemetar, lalu pura-pura salah langkah hingga hampir tersandung kabel di lantai.
Akhirnya, mapnya jatuh berantakan.
“Astaga!” Nadira menunduk buru-buru, berjongkok memunguti kertas dengan wajah panik. “M-maaf, Tuan. Saya ceroboh lagi…”
Ardan yang tadinya acuh, refleks meletakkan cangkir kopinya di meja dengan keras. Ia melangkah cepat, membungkuk dan mengambil dokumen yang berserakan. Tangannya hampir menyentuh tangan Nadira, wajahnya menegang saat melihat mata wanita itu berkaca-kaca.
"Berdiri! Biar aku yang bereskan!” suaranya menggelegar.
Nadira terhenti, pura-pura ketakutan. “Ta-tapi saya bisa bereskan sendiri…”
“Dengarkan aku, kau pergilah!" Nada Ardan terdengar kesal, tapi matanya jelas-jelas menyimpan rasa khawatir.
"Ardan, aku takut melakukan kesalahan lagi,” bisik Nadira lirih. “Aku tahu, banyak orang yang tidak suka kecerobohanku. Aku hanya ingin bertahan di sini… walaupun harus menanggung semua omelanmu.”
Ardan terdiam.
Lalu tanpa sadar, ia meraih tangan Nadira. “Jangan pernah bicara seperti itu, aku tidak akan membiarkan siapa pun menginjak-injak mu di sini. Kau mengerti?”
Nadira menelan ludah, ia berpura-pura ragu-ragu lalu mengangguk pelan. “B-baik…”
"Bawa pekerjaanmu kesini," perintahnya.
Nadira menurut tanpa perlawanan.
Hari itu pun penuh perhatian dari Ardan.
Setiap kali Nadira terlihat salah ketik atau sedikit lambat, Ardan tidak lagi menghardik seperti biasanya. Ia justru menatapnya lama, lalu menyuruhnya istirahat.
“Ambil air putih dulu.”
“Kau pucat, keluar sebentar hirup udara.”
“Kalau sakit, jangan paksakan. Aku bisa kerjakan sendiri.”
Saat Ardan perhatian pada Nadira, kebetulan beberapa manajer masuk ke ruangan untuk menyerahkan berkas. Lantas, bisik-bisik makin ramai diantara para pegawai.
“Eh, sejak kapan CEO kita kayak gitu?”
“Gila, biasanya ketus banget. Kok sekarang jadi perhatian sama sekretarisnya?”
“Jangan-jangan… mereka ada hubungan?”
Nadira hampir tak bisa menahan senyumnya setiap kali mendengar gosip itu. Dalam hati ia membisikkan nama Nyonya Rarasati. Sepertinya rencana beliau berhasil. Ardan… benar-benar mulai goyah.
Sore hari.
Ketika semua pegawai mulai pulang, Nadira membereskan meja kerjanya. Ia sudah siap-siap turun lift ketika suara berat itu terdengar dari belakang.
“Dira.”
Ia menoleh.
Ardan berdiri dengan jas di tangan, wajahnya tetap dingin tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan sesuatu.
“Hari ini, naik mobilku lagi.”
Nadira pura-pura panik. “Tidak perlu, aku bisa naik mobil yang kamu siapkan.”
“Dira.” Suara Ardan kali ini lebih rendah, penuh peringatan. “Aku tidak suka kau pulang sendiri malam-malam... hanya dengan supir.”
Wanita itu menelan ludah, pura-pura salah tingkah. “B-baiklah…”
Di dalam mobil, suasana hening. Nadira duduk dengan tangan terlipat di pangkuan, sementara Ardan menatap luar melalui kaca mobil. Namun, beberapa kali matanya melirik ke arah wanita itu.
"Makan siang tadi, enak?” tanyanya tiba-tiba.
Nadira melirik cepat. “Enak, tapi hanya makan sedikit."
“Sedikit itu bukan makan. Mulai besok, aku akan pastikan kau makan dengan benar.”
“Ardan…” Nadira menghela napas, menatap jendela. “Kalau kau terus seperti ini, aku bisa salah paham.”
“Salah paham bagaimana?”
Nadira tersenyum getir. “Bahwa mungkin… kau masih peduli padaku."
Sunyi... Ardan terdiam lama.
Akhirnya ia mengalihkan pandangan ke arah Nadira, “Aku tidak pernah berhenti peduli.”
Nadira menoleh cepat, matanya membesar. Tapi pria itu sudah kembali menampilkan wajah dinginnya, seolah ucapan barusan hanya halusinasi.
Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒