NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 12 Sosok Pengganti

Lampu kamar telah padam. Dua insan terbaring berdampingan dalam pekatnya gelap, menatap plafon tanpa satu pun yang mampu memejamkan mata. Hanya terdengar tarikan napas yang teratur dan dengung mesin pendingin ruangan. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang tengah berkecamuk dalam diri mereka masing-masing. Keduanya hanya diam, namun tangan mereka tetap erat bertaut, seakan dunia akan runtuh bila ikatan itu dilepas.

Tak lama, sekelebat kenangan muncul di benak Ben. Hari ketika hatinya goyah oleh sikap Lya. Hari ketika ia merasakan perih karena merasa telah melukai perempuan itu. Hari ketika rasa takut menyergapnya setelah pertama kali melihat sesuatu yang tersembunyi di balik kerah tinggi Lya.

Ben pun menoleh menatap Lya. Perempuan yang mengenakan kaus kebesaran miliknya itu masih larut dalam lamunannya. Dalam gelap, Ben tak dapat melihat bekas luka di leher itu. Namun, jemarinya kerap bergerak tanpa sadar—menyentuh lembut leher tersebut, seakan berharap sentuhannya sanggup menghapus guratan itu tanpa sisa.

”Hari itu... lehermu di balut perban... Apa kau melukainya, Lya?” tanya Ben pada akhirnya memecah keheningan yang ada.

Lya diam sejenak sebelum ikut menoleh, mempertemukan mata mereka. ”Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini karena takut kau merasa bersalah... tapi hari itu, hari ketika aku demam, ketika kau bertanya... aku tidak mampu menjawabnya, kan?”

Ben mengingatnya sangat jelas. ”Maaf... Aku tidak tahu yang ingin kau sembunyikan adalah luka besar bagimu... Tidak... Seharusnya aku peka.”

”Itu bukan salahmu, Ben. Kita memang berpacaran, wajar jika kau ingin tahu semua tentang pasanganmu,” tepis Lya ”Aku hanya bersikap pengecut seperti biasa. Sejak awal aku melihatmu seperti Kak Anna... Kau selalu tampak riang, tapi bagaimana jika kau juga orang yang menyimpan masalah besar sepertinya? Setelah berasumsi sendiri, aku jadi ingin memberimu perhatian. Setidaknya, aku ingin melakukan sesuatu, membalas perasaanmu, tidak membuatmu menangis lagi seperti pertama kali...”

”Selama memberi perhatian, aku tidak ingin terlihat memiliki kekurangan. Luka ini jelas kekurangan terbesarku, masalah terbesar yang mungkin akan menarik simpatimu. Aku takut setelah mengetahui hal ini dariku, kau jadi mengesampingkan perasaanmu untuk memperhatikanku saja. Aku tidak ingin seperti itu.”

”Orang yang terlalu berlebihan memperhatikan orang lainnya sampai mengabaikan lukanya sendiri... Kak Anna pun akhirnya memilih pergi.”

Ben Ben terdiam cukup lama, napasnya terdengar lebih berat di antara hening. Ia mengangkat kepalanya, menatap wajah Lya yang samar tertimpa gelap dari atas.

“Lya…” suara Ben halus “Aku bukan Kak Anna. Kami jelas orang yang berbeda. Aku tidak ingin hubungan satu arah seperti itu. Justru sebaliknya, aku ingin tetap ada di sisimu—entah dengan luka itu, atau tanpanya. Dan aku ingin kau tetap di sisiku, membagi luka kita bersama tanpa ditutup-tutupi.”

Ia menggenggam jemari Lya lebih erat, seolah menegaskan bahwa kata-katanya bukan sekadar janji kosong. “Dan apa kau sadar kau jadi seperti Kak Anna? Kau hanya sibuk memperhatikanku padahal kau punya hal besar seperti itu.” Lya tidak bisa menyangkal. ”Jadi, kenapa waktu itu lehermu di perban? Kau melukainya lagi? Kenapa? Apa karena aku menghindarimu?”

”Aku memang sempat bingung saat kau menghindariku seperti itu.”  Kini Ben yang tidak bisa membela diri. Ia ingin mengutuk dirinya sendiri detik itu juga. ”Tapi saat itu kebetulan mendekati hari kematian Anna. Belakangan ini aku bisa melewati hari tersebut tanpa masalah. Leo selalu membuatku melupakannya dengan terus berada di sampingku. Tapi karena terkahir kali aku merasa telah menyakitimu, aku jadi terus teringat Kak Anna. Entahlah. Aku hanya merasa takut.”

“...Tapi itu murni hanya mentalku yang sedang buruk. Bukan karenamu. Aku hanya khawatir, kalau tidak kususun baik-baik, kau akan salah paham dan menyalahkan dirimu. Itulah sebabnya aku ragu bicara,” ujar Lya, menutup penjelasannya.

Ben terdiam, wajahnya muram. Ibu jarinya hanya bergerak pelan, mengusap persilangan tangan mereka. “Tapi tetap saja... aku merasa sedikit bersalah padamu,” lirihnya.

Lya menegur dengan ketukan kening yang pelan di antara mereka. “Kau tidak perlu cemas. Justru karena dirimu, sesuatu yang berat di dadaku akhirnya bisa terlepas.”

Lya masih menatapnya setelah kata-kata itu terucap. Hening kembali merayap, tapi kali ini tidak lagi menyesakkan. Justru terasa lembut, seolah memberi ruang bagi keduanya untuk saling memahami.

Ben menatapnya dari atas, jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan hangat napas Lya menyentuh kulitnya. Jarak tipis itu membuat dadanya berdebar tak karuan, seperti biasa setiap kali berada sedekat ini.

Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, namun dorongan itu semakin kuat—keinginan untuk menyentuh lebih jauh, memastikan semua kata yang barusan diucapkan bisa tertutup dengan sesuatu yang lebih nyata.

“Lya...” suaranya rendah, bergetar, “bolehkah... kita berciuman?”

Mata Lya melebar mendengar permintaan itu. Ben seketika merasa malu. Ia tak siap jika yang muncul dari bibir Lya adalah penolakan. Dadanya mencelos, dan ia pun merutuki diri sendiri karena tak mampu menahan dorongan hati untuk mengucapkan hal tersebut.

“Ah! Aku baru ingat...” Ben mendadak bersuara, gugup. “Kita ada tugas kelompok berdua! Kamu berpasangan sama aku, ya Lya!” ucapnya terburu-buru, mencoba mengalihkan suasana sekaligus menutupi rasa malunya.

Gadis yang terbaring itu tak kuasa menahan tawa kecil, geli melihat tingkah Ben yang kikuk. Namun sejurus kemudian, tawanya terhenti. Tangannya terangkat, menahan gerakan Ben yang hendak menjauh dengan menggenggam lembut tengkuk pria itu.

Tanpa aba-aba, Lya menariknya lebih dekat dan mempertemukan bibir mereka. Ciuman itu berbeda dari yang pernah terjadi di rumah sakit—kali ini tidak sekilas, tidak terburu-buru. Tautan mereka bertahan, membuat jantung Ben berdegup kencang seolah hendak meledak.

Di detik berikutnya, Ben yang semula pasif mulai membalas. Ia menekan bibirnya lebih dalam, memberi gigitan pelan di sela-sela, sesekali memiringkan kepala untuk mencari kenyamanan. Hingga akhirnya, perlahan, keduanya larut dalam kehangatan, mempertemukan lidah mereka dalam keintiman yang tak lagi bisa mereka sembunyikan.

Beberapa detik kemudian, Lya yang jelas tak pernah memiliki pengalaman itu mulai kewalahan. Nafasnya tersengal, dan ia menepuk-nepuk pundak Ben, memberi isyarat halus.

Ben sontak tersadar, segera melepaskan tautan mereka. “Maaf, Lya! Apa kau baik-baik saja?” tanyanya cemas. Namun di detik berikutnya, rasa cemas itu berganti dengan sesuatu yang lain, seakan hatinya dipanah tajam.

Wajah Lya kini memerah, matanya sayu, bibirnya basah dan berkilau, seakan meleleh di balik kelelahan. Pemandangan itu membuat Ben kehilangan kendali atas perasaannya. Alih-alih semakin khawatir, sesuatu yang lebih dalam justru terbangkitkan.

Ia buru-buru memaksa diri menjauh, bangkit berdiri, lalu berjalan cepat menuju toilet—meninggalkan Lya yang masih terbaring, menatap penuh kebingungan.

***

Pagi cepat menyapa. Ben terbangun lebih dulu, disadarkan oleh samar kicau burung di luar jendela. Ia terdiam sejenak, membiarkan pikirannya kosong, sebelum akhirnya menoleh ke sisi kanan.

Di sana, Lya masih terlelap dengan napas teratur. Ben mendadak membatu. Bukan karena tidur Lya yang tenang, melainkan karena sesuatu yang baru ia sadari sedetik setelah menatapnya.

Kaus kebesarannya yang dipakai Lya melorot di bagian kerah, terbuka di bahu, memperlihatkan kulit lembut yang hampir tak seharusnya ia lihat. Seketika Ben mengalihkan pandangan dengan kaku. Wajahnya memerah, giginya terkatup erat, berusaha menahan gejolak yang sejak semalam terus meledak-ledak tanpa henti.

Dengan hati-hati, Ben menarik selimut yang tersingkap, menutup kembali tubuh Lya agar tidak kedinginan. Sesudah itu, ia bangkit perlahan, berjalan menuju toilet dengan langkah berjinjit, berusaha agar tidak ada suara yang membangunkan tidur Lya.

Begitu pintu tertutup rapat di belakangnya, Ben seketika runtuh. Ia berjongkok di lantai dingin, kedua telapak tangan menggosok wajahnya yang memanas hebat. Tatapannya jatuh ke lantai, berusaha menenangkan degup jantung yang masih memburu.

“Ini... membuatku gila,” gumamnya lirih.

Ia pun terdiam lama di sana sebelum akhirnya menyeret diri untuk menuntaskan ritual pagi. Waktu yang biasanya singkat kini terasa jauh lebih panjang, seolah ia sengaja menahan diri agar kembali tenang sebelum keluar dari kamar mandi.

Usai menyelesaikan ritual pagi, Ben keluar dengan rambut masih setengah basah. Pandangannya langsung tertuju pada sosok Lya yang masih terlelap. Dengan lembut, ia duduk di sisi ranjang, lalu menyentuh bahu gadis itu pelan.

“Lya... bangun, kita sudah harus pergi kuliah,” bisiknya.

Lya menggeliat kecil, lalu membuka mata dengan tatapan yang masih sayu. Ben segera sigap—menyodorkan segelas air minum yang sudah ia siapkan. Saat Lya hendak berbenah dalam keadaan sentengah ngantuk, Ben bergerak cepat mendahuluinya: menyiapkan handuk, lalu memastikan gips di kaki Lya tetap kering dengan membungkusnya rapi sebelum ia mencuci muka dan menyikat gigi. Ia bahkan membantu merapikan rambut Lya agar tidak berantakan.

Setelah selesai berbenah, mereka pun keluar kamar kos. Udara pagi masih segar, cahaya matahari menembus sela pepohonan. Ben masih senantiasa menopang tubuh Lya, memastikan kekasihnya tetap aman.

Tepat di depan pintu kamar, langkah mereka terhenti seketika. Seorang pria berpostur tegap dengan kaus santai secara kebetulan tampak hendak pergi juga, ia tengah mengunci pintu kamarnya. Tatapannya singgah sebentar, lalu senyum tipis tersungging di wajahnya.

“Pagi,” sapa pria itu singkat.

Ben refleks menjawab, “Pagi, Vincent.”

Vincent—tetangga kos Ben—melirik sekilas ke arah Lya, matanya seakan mencatat sesuatu, lalu setelah itu ia melemparkan senyum. ”Sepertinya baru saja ada hal besar terjadi di antara kalian.”

Ben mengikuti arah pandangan Vincent yang jatuh pada gips di kaki Lya. ”Ahh... yah... macam-macam hal terjadi,” jawab Ben.

Vincent hanya mengangguk, seakan memahami. “Kalau begitu, aku duluan. Aku mau merokok sebentar di luar, hahaha.” Sambil melambatkan kotak rokoknya, pria bersurai merah itu pun pergi meninggalkan lorong kos.

“Kalau begitu, kita juga pergi, yuk Lya?” ucap Ben, menoleh singkat pada gadis di sisinya.

Dua sejoli itu menyusul pergi, berjalan perlahan menuju mobil milik Ben yang terparkir di area parkiran kos. Ben tetap sabar menyesuaikan langkahnya dengan kaki Lya yang masih tertopang gips, sesekali merapatkan pegangan di pinggangnya agar gadis itu tidak kehilangan keseimbangan.

Lya sempat terdiam sebelum menoleh dengan senyum samar. “Sejujurnya, aku bisa jalan sendiri tanpa perlu kau tuntun, Ben.”

Namun Ben justru menatapnya serius. “Tidak mungkin! Kalau sampai kau jatuh, aku bisa gila!”

Kalimat itu membuat Lya sempat tertegun, lalu buru-buru memalingkan wajah. Ia pura-pura menaruh perhatian pada deretan kendaraan di parkiran, padahal dalam hati menahan tawa kecil, geli melihat betapa seriusnya reaksi Ben.

Ben tetap fokus, tanpa menyadari kekikukan Lya, hingga akhirnya ia membukakan pintu mobil dan membantu gadis itu duduk dengan penuh hati-hati. Setelah memastikan posisi kaki Lya dengan gips sudah aman dan nyaman, ia menutup pintu, bergegas mengitari mobil, lalu duduk di kursi pengemudi. Begitu mesin menyala, mereka pun memulai perjalanan menuju kampus.

Sejak tadi, Vincent hanya berdiri di tempat, matanya mengikuti gerak dua sejoli itu hingga mobil perlahan hilang ditelan jarak. Rokok di jarinya tinggal separuh, ia mengisapnya sekali lagi sebelum menghembuskan asap ke udara. Pandangannya kosong, namun sorot matanya dalam—seolah tengah larut pada sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu.

.

.

.

To Be Continue

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!