Setelah dua tahun menikah, Laras tidak juga dicintai Erik. Apapun dia lakukan untuk mendapatkan cinta suaminya tapi semua sia-sia. Laras mulai lelah, cinta Erik hanya untuk Diana. Hatinya semakin sakit, saat melihat suaminya bermesraan dengan Dewi, sahabat yang telah dia tolong.
Pengkhianatan itu membuat hatinya hancur, ditambah hinaan ibu mertuanya yang menuduhnya mandul. Laras tidak lagi bersikap manja, dia mulai merencanakan pembalasan. Semua berjalan dengan baik, sikap dinginnya mulai menarik perhatian Erik tapi ketika Diana kembali, Erik kembali menghancurkan hatinya.
Saat itu juga, dia mulai merencanakan perceraian yang Elegan, dibantu oleh Briant, pria yang diam-diam mencintainya. Akankah rencananya berhasil sedangkan Erik tidak mau menceraikannya karena sudah ada perasaan dihatinya untuk Laras?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni Juli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Menghasut
Erik duduk bersandar di kursinya. Ponselnya tergeletak di atas meja, layar masih menyala menandakan panggilan masih tersambung. Napasnya berat, wajahnya letih. Sudah sekian lama ia mendengarkan ocehan ibunya yang tak kunjung berhenti.
Topiknya selalu sama, membahas pernikahannya dengan Laras. Ibunya tak henti-hentinya menuntut perceraian. Erik sudah berkali-kali menjelaskan bahwa ia tidak akan menceraikan istrinya, namun seolah-olah ucapannya tak pernah sampai ke telinga sang ibu.
“Jika kau tidak menceraikan Laras, bagaimana kau bisa menikahi Siska?” suara ibunya menggema di kepalanya.
Siska,.wanita yang baru kemarin dikenalkan ibunya kepadanya.
“Berapa kali harus aku katakan? Aku tidak akan menikah dengan Siska!” bentak Erik, kelelahan dengan sikap ibunya yang memaksa.
“Jadi kau tetap ingin mempertahankan wanita matre itu?” Balas ibunya dengan dingin.
Untuk saat ini, ya. Itu jawabannya. Laras mungkin bukan cinta dalam hidupnya, tapi peran wanita itu sangat penting. Laras menjaga nama baiknya di masyarakat, dan lebih dari itu, Laras mampu membantunya mendapatkan proyek-proyek besar yang ia incar.
“Ma, dia punya kemampuan, dan Mama tahu itu. Tidak hanya menjadi istri yang baik, tapi juga seorang pekerja yang cakap, asal aku memberikan apa yang dia inginkan.”
"Kau benar-benar bodoh, Erik. Kenapa kau mempercayai dirinya untuk menangani bisnis yang begitu penting?"
"Sudah aku katakan dia memiliki kemampuan itu!"
“Tapi sampai kapan?” nada putus asa sang ibu begitu jelas. “Sampai kapan kau akan mempertahankan istri tak berguna seperti itu?”
Sampai kapan? Dia sendiri tidak tahu sampai kapan dia akan mempertahankan Laras. Tak ada jawaban menandakan jika Erik tidak mungkin menceraikan istrinya dalam waktu dekat dan bisa saja Laras yang tidak mau bercerai dengan Erik.
"Aku sedang sibuk. Nanti aku akan hubungi Mama lagi!" Dengan gerakan cepat, ia memutus panggilan telepon.
Kepalanya penuh dengan suara, bukan hanya ibunya, tapi juga perkataan Laras tentang Diana. Apa benar pernikahan Diana bermasalah? Pikiran Erik melayang jauh. Seandainya dulu Diana tidak menikah dengan lelaki lain, mungkin ia sudah menjadi istrinya sekarang, dan Laras tidak akan pernah hadir dalam hidupnya.
Tok. Tok.
Suara ketukan di pintu mengusik lamunannya. Erik buru-buru merapikan berkas di mejanya. “Masuk,” ucapnya.
Pintu terbuka. Dewi melangkah masuk dengan senyum manis di wajahnya. Meski tersenyum, matanya menyimpan semburat kesedihan.
“Aku kira kau tidak akan datang hari ini,” ucapnya sambil berjalan menggoda, pinggulnya bergoyang pelan seperti biasa.
“Tutup pintunya rapat. Jangan sampai ada yang masuk,” perintah Erik dingin.
Dewi terkekeh kecil. “Selain istrimu, aku rasa tak ada yang cukup kurang ajar untuk masuk ke ruangmu tanpa izin. Ngomong-ngomong, kenapa hari ini aku tidak melihat Laras?”
“Dia sedang tidak enak badan,” jawab Erik singkat.
“Tidak enak badan?” Dewi melompat duduk di atas meja, tepat di hadapan Erik. Gerakannya provokatif, sudah menjadi kebiasaannya. “Atau mungkin... dia terlalu bersemangat menggoda Pak Nugraha semalam?”
Mata Erik membelalak. Rahangnya mengeras. “Apa maksudmu, Dewi?”
Dewi tersenyum tipis, seperti kucing yang baru saja menemukan mainan baru.
“Apa maksudmu Laras menggoda Pak Nugraha?” Erik meninggikan suara, tubuhnya condong ke depan.
“Kau benar-benar tidak tahu, Erik?” Dewi menahan tawa. “Istrimu sudah merayu pria itu sebelumnya. Aku rasa mereka pernah bertemu diam-diam… bahkan mungkin sudah menghabiskan malam bersama.”
“Jangan asal bicara kalau kau tidak punya bukti!” Erik meraih bahu Dewi dengan cengkeraman keras.
Dewi meringis. “Sakit, Erik!”
“Jawab! Bisakah kau mempertanggungjawabkan ucapanmu?”
Amarah membakar dada Erik. Meski ia tidak mencintai Laras, tapi membayangkan istrinya bersama pria lain membuat darahnya mendidih.
Dewi tergagap, mencoba tersenyum. “Aku hanya menebak… karena Laras tahu proposal yang kau ajukan akan ditolak. Aneh, kan, bagaimana dia bisa membawa revisi baru tepat waktu?” Dewi meringis sakit.
"Bisakah lepaskan bahuku barulah kita bicara?" Dia tidak pernah menyangka Erik akan semarah itu saat mendengar Laras menggoda pria lain.
Bukankah tidak ada perasaan di antara mereka berdua? Tapi kenapa Erik begitu marah dan bertingkah seperti suami yang sedang cemburu?
Erik melepaskan bahu Dewi dan mengatur nafas. Apa yang baru saja dia lakukan? Padahal dia tahu Laras tidak mungkin melakukan hal itu sekalipun dia tidak pernah memperlakukan Laras dengan baik dan mencintai dirinya.
Erik berbalik mengambil minuman di sudut ruangan. Ia butuh menenangkan diri. Dewi memegangi bahunya yang memerah. Ini pertama kali dia melihat Erik semarah itu.
“Pergilah. Mood-ku sedang buruk. Aku tidak ingin melakukan apa pun denganmu hari ini.”
“Erik, aku tidak bermaksud membuatmu marah. Aku hanya mencurigai Laras. Kau bisa bertanya langsung padanya kalau kau mau.”
“Ini urusanku dengan Laras. Aku akan menyelesaikannya nanti,” jawab Erik datar.
Dewi bangkit, berjalan menghampirinya. Tangannya terulur, mengusap dada Erik dengan lembut. “Aku benar-benar tidak suka proyek itu jatuh ke tangan Laras. Kenapa bukan aku yang kau percayai, Erik?"
"Proyek itu sangat penting, Dewi. Aku tidak mau kehilangannya. Aku harus mengutus Laras karena dia lebih memiliki kemampuan."
"Aku juga memiliki kemampuan, Erik. Berikan aku proyek besar lainnya. Aku akan buktikan padamu, aku jauh lebih baik darinya.”
“Dewi, ini bukan ajang persaingan. Sedikit kesalahan saja bisa membuat perusahaan rugi. Belajarlah dulu sebelum aku memberimu tanggung jawab sebesar itu.”
“Aku sudah siap, Erik. Percayalah padaku. Aku tidak meminta apa-apa darimu… hanya kepercayaan. Sebagai gantinya, aku akan memberimu sesuatu sebagai ungkapan terima kasih. Kau boleh melakukan apapun padaku malam ini, jika kau mau.” Suaranya merayu, nyaris berbisik.
Dia tidak boleh kalah dengan Laras, apalagi dalam hal ini. Dia tidak akan membiarkan Laras menertawakan dirinya. Dia harus selalu berada di atas Laras. Saat dia berhasil mendapatkan proyek yang jauh lebih besar, maka dia yang akan menertawakan Laras.
Akan dia buktikan dia jauh lebih baik agar Erik tidak ragu lagi padanya.
Erik menarik napas panjang. Ia tahu Dewi tidak bisa dipercaya untuk hal sebesar itu. Namun ia juga tahu, menolak mentah-mentah hanya akan memperburuk suasana.
“Baiklah. Aku akan lihat nanti. Sekarang keluarlah, dan lakukan pekerjaanmu.”
"Terima kasih, Erik. Kau memang yang terbaik!"
Dewi tersenyum lebar, lalu berjinjit untuk mencium bibirnya. Erik hanya diam, tidak membalas. Pikirannya sudah melayang jauh, dihantui pertanyaan yang ditinggalkan oleh Dewi.
Apakah benar Laras menggoda Briant Nugraha?
Ia tahu banyak wanita tergila-gila pada pria itu. Tapi Laras? Tidak, Erik yakin istrinya bukan tipe yang begitu rendah. Namun, keyakinan itu tidak cukup untuk meredam keresahan yang mulai mencengkeramnya.
Satu hal yang pasti, ia akan menanyakannya langsung pada Laras begitu mereka bertemu nanti.
hayuu Erik n Ratna cemuuuunguut utk tujuan kalian yg bersebrangan 🤣🤣
semangat utk mendapat luka Erik 🤣
hayuuu Briant gaskeun 😁
buat Erik kebakaran jenggot 🤣🤣