Sebuah kisah cinta rumit dan menimbulkan banyak pertanyaan yang dapat menyesakan hari nurani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ericka Kano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stella sudah tiada (2019)
Pagi ini beda dengan hari lain. Ruangan staf marketing kosong. Lampunya padam. Tidak ada aktivitas di sana. Riva dan Windy diberhentikan. Mudah-mudahan saja pesangon mereka diberikan. Jika tidak, benar-benar tidak manusiawi. Sekarang ini, semua tugas marketing dihandle Kacab untuk kantor pusat, dan dihandle Kanit untuk kantor unit. Tidak ada staf marketing lagi.
Aku melangkahkan kaki menuju front office. Di sana juga tidak kalah sunyi. Hanya ada Icha. Kantor kami yang tadinya selalu jadi bintang yang bersinar kini bintang itu seperti hilang cahayanya.
"Bagaimana pendaftar kita, Cha?," tanyaku begitu tiba di depan meja front office
"Dua hari lalu ada satu, Bu," jawab Icha
"Sunyi sekali pendaftar kita," aku berbicara dengan lemah
"Iya Bu, beberapa kelas juga mulai tidak khoroum," nada suara Icha juga melemah
"Yuli ke sekolah ya?,"
"Iya, Bu. Katanya sulit nagihnya makanya dia hampir tiap hari ke sekolah,"
"Yuli jarang komunikasi dengan saya. Dia juga jarang melapor atau mungkin saya yang terlalu sibuk kegiatan marketing di luar sampai-sampai jarang ketemu dia,"
"Ibu kan tahu Yuli orangnya juga jarang ngomong,"
"Iya betul juga, Cha. Tapi saya harus mengaudit hasil penagihan nya. Saya harus tahu progres nya sudah sampe mana," ujarku.
Tiba-tiba telpon kantor berdering. Icha mengangkat gagang telpon dan mengucapkan salam khas kantor kami.
Aku tidak terlalu memperhatikan percapakan Icha. Mataku tertarik melihat Yuli yang sedang berjalan ke arah kantor. Di tangannya dia membawa beberapa dokumen. Pasti itu dokumen penagihan. Tangan sebelah nya menjinjing tas kotak warna hitam.
"Bu," Icha sudah menutup telponnya
"Siapa yang nelpon, Cha?," tanyaku
Icha terlihat susah payah menelan ludahnya. Wajahnya memucat.
"Cha, siapa yang nelpon barusan?,"
"Bu...itu...," Icha tergagap
"Kenapa, Cha?," tanganku berusaha menggapai tangannya.
"Bu...,"
"Icha, tarik napas. Tenang dulu,"
"Bu... Stella meninggal," tangis Icha pecah
Mataku terbelalak. Aku mundur satu langkah. Aku mengedipkan mataku cepat untuk mengembalikan kembali pandanganku.
Butuh beberapa saat bagi aku dan Icha untuk bernapas.
"Selamat siang," sapa Yuli begitu masuk lobi. Dia berdiri terpaku melihat ekspresiku dan Icha.
"Ada apa?," tanya Yuli
Aku dan Icha belum bisa menjawab.
"Bu Christy, Anda baik-baik saja?," Yuli mendekatiku dan memperhatikan wajahku.
"Ibu pucat? Tangan ibu dingin, ada apa?," tanyanya sambil memegang tanganku
"Yul...Stella meninggal,"
"Astaga, Tuhan yang memberi Tuhan yang memanggil," spontan Yuli berucap, "Kapan, Bu?," lanjutnya
"Barusan," jawabku singkat.
Icha sudah terisak menangis.
"Bu.. Kita harus ke rumah sakit. Mamanya pasti sendiri. Mereka bukan asli dari kota ini. Kerabat mereka pasti jauh," ujar Icha terbata-bata karena tangisan
"Iya, Cha. Saya ambil tas dulu," aku masih berusaha menyeimbangkan pikiran dan tubuh supaya tidak jatuh
"Bu, saya dan Nata gimana? Saya juga mau ikut," ujar Yuli
"Saya dan Icha duluan ke rumah sakit. Kamu dan Nata nanti langsung ke rumah kalau kelas sudah selesai sebentar. Nanti kantor tutup cepat saja," jawabku
"Baik, Bu,"
Aku segera kembali ke ruangan dengan langkah gontai. Tak berlama-lama, aku mengambil tas dan hp. Lalu kembali ke lobi. Icha sudah menunggu di depan pintu, sedangkan Yuli sudah stand by di front office.
"Ayo, Cha," ajakku ketika tiba di lobi
"Bu Christy tunggu sebentar, Bu," cegat Yuli ketika aku dan Icha sudah mau ke luar lobi
"Kenapa Yul?,"
"Bu, bisa tanda tangan ini sebentar? Saya harus mengirim laporan ini ke keuangan pusat. Harusnya Stella sudah kirim ternyata belum,"
Dengan langkah cepat, aku segera menuju ke front desk, mengambil pulpen dan tanda tangan di tempat yang ditunjuk Yuli.
"Tolong kirim file nya ke email saya. Nanti besok saya baca. Sekarang sudah tidak sempat lagi," perintah ku
"Baik, Bu,"
Begitu selesai tanda tangan, aku dan Icha segera menuju rumah sakit, kami tidak ingin cepat-cepat tiba di sana.
Dan kini, kami tepat berhadapan dengan tubuh Stella yang sudah ditutup kain putih hingga kepala.
Stella sudah tiada. Stella yang ceria itu sudah mengakhiri pertandingannya di dunia ini.