NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:660
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13 DIHINA DI TEMPAT UMUM

Hari itu langit kampus kelabu, seakan tahu badai akan datang. Amara melangkah pelan ke gedung kuliah, membawa buku catatan dan laptop. Bisik-bisik sudah terdengar sejak ia menyeberangi halaman.

“Itu dia, pengantin baru konglomerat.”

“Kau lihat berita online pagi ini? Ada foto baru.”

“Katanya dia bukan cuma dekat dengan Davin, tapi juga numpang nama di yayasan keluarga suaminya.”

Amara menunduk, menahan napas. Sejak fitnah foto kemarin, gosip memang makin liar. Ia bisa merasakan tatapan penuh ejekan di setiap sudut.

Ketika masuk kelas, suasana makin buruk. Selvia duduk di barisan depan, bersama kelompoknya. Begitu melihat Amara, ia berdiri. “Oh, lihat siapa yang datang. Nyonya besar kita!” suaranya lantang, membuat kelas bergemuruh.

Amara berhenti di pintu, menatap Selvia. “Aku datang untuk belajar, bukan bertengkar.”

“Belajar?” Selvia tertawa dingin. “Kau pikir orang masih peduli kau kuliah di sini? Semua orang tahu kau hanya istri simpanan Papa.”

Beberapa mahasiswa terkesiap, ada yang langsung menyalakan kamera ponsel. Amara merasakan jantungnya seperti diremas, tapi ia berusaha tetap tegak.

“Aku tidak akan membalas hinaanmu di kelas ini,” katanya tegas.

Selvia mendengus. “Tentu saja tidak. Karena semua yang kukatakan benar.”

Suasana ricuh, dosen yang baru masuk mencoba menenangkan. “Cukup! Ini kelas, bukan pasar.”

Namun Selvia belum berhenti. “Pak, bagaimana mungkin kampus ini menjaga reputasi kalau membiarkan mahasiswa seperti dia? Dia menikah demi uang, lalu pura-pura jadi korban!”

Dosen menghela napas, lalu menatap Amara. “Saudari Amara, kau boleh duduk. Kita lanjut pelajaran.”

Amara duduk di bangku belakang, menahan air mata. Tangannya gemetar, tapi ia menulis catatan seolah tak terjadi apa-apa. Ia tahu, kalau ia menangis sekarang, Selvia akan puas.

Saat jam istirahat, kerumunan mahasiswa berkumpul di kantin. Selvia kembali jadi pusat perhatian. Ia berdiri di atas kursi, memperlihatkan layar ponselnya. “Ini buktinya! Lihat semua! Foto-foto Amara dengan Davin!”

Sorakan dan tawa terdengar. Amara baru masuk ke kantin, langkahnya terhenti. Foto yang ditunjukkan Selvia adalah potongan yang sama dengan yang pernah diterima Bagas—jelas editan, tapi di mata orang-orang, itu cukup.

“Amara!” seru salah satu mahasiswa. “Kau mau jelaskan atau diam saja?”

Amara menarik napas panjang, lalu melangkah maju. “Ya, itu aku di foto. Tapi apa kalian pikir satu gambar bisa menjelaskan segalanya? Itu dipotong, disusun, dan dijadikan alat untuk menghancurkanku. Aku tidak punya kuasa menghentikan gosip, tapi aku punya kuasa untuk tidak tunduk pada kebohongan.”

Suara kantin mereda sesaat. Beberapa orang terdiam, terkejut karena Amara berani bicara. Tapi Selvia cepat-cepat menutup celah.

“Berani sekali bicara. Kau pikir dengan kata-kata manis orang akan percaya? Kau sudah kotor, Amara. Kau tidak pantas ada di sini.”

Amara menatap Selvia, matanya bergetar namun suaranya tenang. “Kalau aku tidak pantas di sini, biarkan dosen dan pihak kampus yang menilainya. Bukan kau, Selvia.”

Hening singkat lagi. Kali ini sebagian mahasiswa justru berbisik berbeda.

“Dia berani juga, ya.”

“Mungkin gosip itu nggak sepenuhnya benar.”

Selvia menegang, wajahnya memerah.

Sore hari, Amara pulang dengan langkah lelah. Begitu masuk rumah, ia langsung menuju kamarnya. Namun tak lama, pintu diketuk keras. Meylani masuk tanpa diundang.

“Kau benar-benar tahu cara membuat skandal,” katanya sinis. “Berita tentang pertengkaranmu dengan Selvia sudah menyebar. Bagus sekali, sekarang kau jadi bahan tontonan nasional.”

Amara menahan diri. “Aku tidak mencari masalah. Selvia yang memulai.”

Meylani mendekat, suaranya pelan tapi tajam. “Kalau kau terus membuat nama keluarga ini kotor, jangan salahkan aku kalau suatu hari kau benar-benar diusir.”

Amara menatapnya lurus. “Kau bisa menjatuhkan aku seribu kali, tapi aku akan bangkit seribu satu kali. Kau tidak akan pernah bisa membuatku menyerah.”

Meylani terdiam sejenak, tidak menyangka Amara berani melawan balik dengan tatapan setegar itu.

Malamnya, Amara duduk di balkon, menatap langit gelap. Bagas masuk, membawa secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di meja kecil.

“Aku dengar apa yang terjadi di kampus,” katanya singkat.

Amara menunduk. “Aku lelah, Bagas. Semua orang seakan ingin menghancurkanku.”

Bagas duduk di kursi seberang. “Mereka ingin kau runtuh. Jangan beri mereka itu.”

Amara menatapnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku sudah mencoba, tapi kadang rasanya aku tidak kuat.”

Bagas diam sesaat, lalu berkata, “Kau lebih kuat dari yang kau kira. Hari ini kau berdiri di depan banyak orang dan bicara. Itu tidak mudah. Itu cukup untuk membuatku percaya kau bisa melangkah lebih jauh.”

Amara tercekat. Ia menyeka air matanya, lalu tersenyum samar. Untuk pertama kali, ia merasa bukan hanya sendirian menghadapi dunia.

Malam itu, ia menulis di buku catatannya:

“Hari ini aku dihina di depan umum. Tapi aku juga belajar, keberanian kecil bisa mengubah pandangan orang. Aku tidak akan berhenti.”

Ia menutup buku, lalu berbaring. Meski tubuhnya letih, hatinya menyimpan bara baru. Esok hari mungkin lebih berat, tapi ia siap.

Hari itu langit kampus kelabu, seakan tahu badai akan datang. Amara melangkah pelan ke gedung kuliah, membawa buku catatan dan laptop. Bisik-bisik sudah terdengar sejak ia menyeberangi halaman.

“Itu dia, pengantin baru konglomerat.”

“Kau lihat berita online pagi ini? Ada foto baru.”

“Katanya dia bukan cuma dekat dengan Davin, tapi juga numpang nama di yayasan keluarga suaminya.”

Amara menunduk, menahan napas. Sejak fitnah foto kemarin, gosip memang makin liar. Ia bisa merasakan tatapan penuh ejekan di setiap sudut.

Ketika masuk kelas, suasana makin buruk. Selvia duduk di barisan depan, bersama kelompoknya. Begitu melihat Amara, ia berdiri. “Oh, lihat siapa yang datang. Nyonya besar kita!” suaranya lantang, membuat kelas bergemuruh.

Amara berhenti di pintu, menatap Selvia. “Aku datang untuk belajar, bukan bertengkar.”

“Belajar?” Selvia tertawa dingin. “Kau pikir orang masih peduli kau kuliah di sini? Semua orang tahu kau hanya istri simpanan Papa.”

Beberapa mahasiswa terkesiap, ada yang langsung menyalakan kamera ponsel. Amara merasakan jantungnya seperti diremas, tapi ia berusaha tetap tegak.

“Aku tidak akan membalas hinaanmu di kelas ini,” katanya tegas.

Selvia mendengus. “Tentu saja tidak. Karena semua yang kukatakan benar.”

Suasana ricuh, dosen yang baru masuk mencoba menenangkan. “Cukup! Ini kelas, bukan pasar.”

Namun Selvia belum berhenti. “Pak, bagaimana mungkin kampus ini menjaga reputasi kalau membiarkan mahasiswa seperti dia? Dia menikah demi uang, lalu pura-pura jadi korban!”

Dosen menghela napas, lalu menatap Amara. “Saudari Amara, kau boleh duduk. Kita lanjut pelajaran.”

Amara duduk di bangku belakang, menahan air mata. Tangannya gemetar, tapi ia menulis catatan seolah tak terjadi apa-apa. Ia tahu, kalau ia menangis sekarang, Selvia akan puas.

Saat jam istirahat, kerumunan mahasiswa berkumpul di kantin. Selvia kembali jadi pusat perhatian. Ia berdiri di atas kursi, memperlihatkan layar ponselnya. “Ini buktinya! Lihat semua! Foto-foto Amara dengan Davin!”

Sorakan dan tawa terdengar. Amara baru masuk ke kantin, langkahnya terhenti. Foto yang ditunjukkan Selvia adalah potongan yang sama dengan yang pernah diterima Bagas—jelas editan, tapi di mata orang-orang, itu cukup.

“Amara!” seru salah satu mahasiswa. “Kau mau jelaskan atau diam saja?”

Amara menarik napas panjang, lalu melangkah maju. “Ya, itu aku di foto. Tapi apa kalian pikir satu gambar bisa menjelaskan segalanya? Itu dipotong, disusun, dan dijadikan alat untuk menghancurkanku. Aku tidak punya kuasa menghentikan gosip, tapi aku punya kuasa untuk tidak tunduk pada kebohongan.”

Suara kantin mereda sesaat. Beberapa orang terdiam, terkejut karena Amara berani bicara. Tapi Selvia cepat-cepat menutup celah.

“Berani sekali bicara. Kau pikir dengan kata-kata manis orang akan percaya? Kau sudah kotor, Amara. Kau tidak pantas ada di sini.”

Amara menatap Selvia, matanya bergetar namun suaranya tenang. “Kalau aku tidak pantas di sini, biarkan dosen dan pihak kampus yang menilainya. Bukan kau, Selvia.”

Hening singkat lagi. Kali ini sebagian mahasiswa justru berbisik berbeda.

“Dia berani juga, ya.”

“Mungkin gosip itu nggak sepenuhnya benar.”

Selvia menegang, wajahnya memerah.

Sore hari, Amara pulang dengan langkah lelah. Begitu masuk rumah, ia langsung menuju kamarnya. Namun tak lama, pintu diketuk keras. Meylani masuk tanpa diundang.

“Kau benar-benar tahu cara membuat skandal,” katanya sinis. “Berita tentang pertengkaranmu dengan Selvia sudah menyebar. Bagus sekali, sekarang kau jadi bahan tontonan nasional.”

Amara menahan diri. “Aku tidak mencari masalah. Selvia yang memulai.”

Meylani mendekat, suaranya pelan tapi tajam. “Kalau kau terus membuat nama keluarga ini kotor, jangan salahkan aku kalau suatu hari kau benar-benar diusir.”

Amara menatapnya lurus. “Kau bisa menjatuhkan aku seribu kali, tapi aku akan bangkit seribu satu kali. Kau tidak akan pernah bisa membuatku menyerah.”

Meylani terdiam sejenak, tidak menyangka Amara berani melawan balik dengan tatapan setegar itu.

Malamnya, Amara duduk di balkon, menatap langit gelap. Bagas masuk, membawa secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di meja kecil.

“Aku dengar apa yang terjadi di kampus,” katanya singkat.

Amara menunduk. “Aku lelah, Bagas. Semua orang seakan ingin menghancurkanku.”

Bagas duduk di kursi seberang. “Mereka ingin kau runtuh. Jangan beri mereka itu.”

Amara menatapnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku sudah mencoba, tapi kadang rasanya aku tidak kuat.”

Bagas diam sesaat, lalu berkata, “Kau lebih kuat dari yang kau kira. Hari ini kau berdiri di depan banyak orang dan bicara. Itu tidak mudah. Itu cukup untuk membuatku percaya kau bisa melangkah lebih jauh.”

Amara tercekat. Ia menyeka air matanya, lalu tersenyum samar. Untuk pertama kali, ia merasa bukan hanya sendirian menghadapi dunia.

Malam itu, ia menulis di buku catatannya:

“Hari ini aku dihina di depan umum. Tapi aku juga belajar, keberanian kecil bisa mengubah pandangan orang. Aku tidak akan berhenti.”

Ia menutup buku, lalu berbaring. Meski tubuhnya letih, hatinya menyimpan bara baru. Esok hari mungkin lebih berat, tapi ia siap.

.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!