NovelToon NovelToon
Jejak Cinta Di Bukit Kapur

Jejak Cinta Di Bukit Kapur

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / Dokter
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ichi Gusti

Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.

Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".

Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TUBUHKU DI SINI, JIWAKU DI SANA

Langit Talago Kapur tertutup awan kelabu ketika Kirana dan Raka menapaki jalur semak menuju Gua Batu Bundo. Raka membawa senter dan kantong pertolongan darurat. Kirana  menggenggam kalung manik di lehernya, seperti menggenggam rasa yang belum bisa ia definisikan secara lengkap.

Tidak ada kata-kata di antara mereka sepanjang jalan. Tapi keheningan itu bukan ketegangan — melainkan pengakuan diam: bahwa mereka sedang masuk ke wilayah yang bukan menjadi teritori mereka. Wilayah yang berbalut mistik.

Setelah mendaki dan melewati batu besar yang membentuk gapura alami, mereka tiba di depan mulut gua.

Kirana menatap ke dalam dengan napas pendek. “Tempat ini... seperti menungguku.”

Raka berdiri di sampingnya. Lelaki itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya menjadi penjaga bagi Kirana.

Mereka melangkah masuk. Langit-langit gua lebih rendah dari yang Raka ingat dari catatan MakYusra. Kirana berjalan lebih dulu, seakan sudah hafal setiap batu dan belokan.

Mereka sampai di ruangan utama — tempat ukiran matahari dan siluet perempuan itu terpatri di dinding. Raka menyorotkan senter ke ukiran. “Ini... terlihat seperti simbol kesuburan. Arsitektur spiritual kuno.”

Kirana tidak menanggapi. Ia sudah berdiri di depan dinding batu, dan tanpa sadar, menyentuh ukiran matahari dengan telapak tangannya.

Dan saat itu juga…

Tubuhnya jatuh terduduk. Matanya terbuka lebar, tapi tidak melihat. Nafasnya dangkal. Tangan kirinya menggenggam udara, seolah memeluk sesuatu yang tak kasat mata.

“Kirana!” Raka panik, berlutut di sisinya. “Kirana! Dengar aku!”

Tapi Kirana… tidak merespon panggilan Raka. Ia seperti  berada di tempat lain.

Dalam pikiran Kirana, ia berdiri di halaman rumah panggung kayu. Langit kemerahan. Suara anak-anak terdengar di kejauhan. Seorang lelaki berpakaian adat—Sutan Darwis—berjalan menghampirinya, membawa sehelai kain dan sepucuk surat.

“Waktu kita hampir habis, Anna.”

“Aku tak bisa pergi tanpamu.”

“Kalau kau tak ikut malam ini, mereka akan mengawasi selamanya.”

Kirana—atau Anna—menangis. Tapi bukan karena takut.

Karena sadar… pilihan mereka hanya dua: lari atau lenyap.

Lalu semuanya menjadi kilatan cepat.

Tangis.

Suara teriakan.

Cahaya lampu minyak yang terjatuh.

Dan... batu.

Gelap.

Sunyi.

***

Di gua, Raka masih berusaha menyadarkan Kirana. “Kirana, tolong... kembali. Aku di sini.”

Tiba-tiba, Kirana menarik napas panjang. Matanya kembali fokus. Tubuhnya menggigil, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap Raka.

“Saya tahu kenapa Anna menghilang.”

Raka menatapnya tajam. “Apa yang kamu lihat?”

Kirana bergetar. “Dia tidak kabur. Mereka tidak sempat. Anna... diburu. Oleh orang-orang yang menganggap cintanya ancaman. Mereka pikir dia akan bawa aib pada garis keturunan. Jadi mereka... mengurungnya di sini.”

Raka terdiam.

Kirana menunduk. Matanya basah. “Aku yakin, ia meningal di sini. Tapi bukan karena kutukan. Karena manusia. Karena keputusan.”

Ia menggenggam kalungnya. “Dan dia... belum bisa pergi sampai semua tahu bahwa cinta bukan kutukan. Tapi keberanian.”

Malam itu, saat mereka kembali ke rumah dinas, Kirana duduk sendirian di tangga, menatap langit.

Raka berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dalam diam.

Untuk pertama kalinya, ia merasa:

Kirana bukan hanya wanita yang ia kagumi... tapi jiwa yang sedang menuntaskan kisah yang pernah disalahpahami.

Dan jauh di dalam dirinya, Raka tahu…

Kisah ini belum berakhir.

Tapi Kirana sudah masuk terlalu dalam untuk berhenti.

***

Hujan turun pelan pagi itu. Embun membalut Talago Kapur seperti tirai yang menutupi luka lama. Kirana duduk di beranda rumah dinasnya, memegang buku catatan Anna dengan tangan yang tak lagi gemetar—tapi mantap.

Di dalam, Raka menyiapkan air panas untuk teh sambil memperhatikan jam. Sudah dua jam posisi Kirana seperti itu, tapi tak satu pun kata keluar dari bibirnya. Dan itu… membuat Raka gelisah.

“Aku akan kembali ke gua,” ujar Kirana akhirnya.

Raka berhenti menuang air.

“Apa??" Raka terkejut.  "Sendiri?”

“Tidak. Tentu saja kalau Pak Raka mau, saya minta ditemenin lagi. Tapi aku harus masuk lebih dalam. Ke bagian yang kemarin belum kita lewati.”

Raka meletakkan teko dengan pelan. “Kirana! kemarin kamu sempat tak sadarkan diri. Kamu bicara mengeluarkan suara orang lain seperti mabuk dan teler. Kamu bilang Anna mati di gua itu. Sekarang kamu mau masuk lebih dalam?”

Kirana berdiri dan menatapnya. Matanya tidak lagi ketakutan. Justru seperti seseorang yang tahu harus melangkah, bahkan jika itu berarti menghadapi kematian.

“Aku harus cari tahu ke mana Anna menghilang. Jika ia mati, saya rasa jasadnya... masih di sana." Dan Kirana  berharap bahwa Anna belum mati.

Raka terdiam.

Sore harinya, mereka kembali ke Gua Batu Bundo. Kali ini, Kirana membawa peralatan medis kecil, senter cadangan, dan masker. Raka tak berkata banyak. Tapi matanya selalu awas, memperhatikan langkah Kirana, bahkan cara ia bernapas.

Mereka masuk lebih dalam, menyusuri lorong yang lebih sempit, melewati genangan air, dan belokan yang gelap. Di ujung lorong itu, ada celah sempit yang nyaris tertutup batu. Kirana berlutut dan menyorot ke dalam.

“Ada ruang di baliknya. Lembap… tapi ada aliran udara. Ini bukan ujung gua.”

Raka ikut berlutut. “Tunggu. Saya yang masuk duluan.”

Raka mendorong tubuh melewati celah itu, menghela napas saat berhasil menjejakkan kaki ke ruang kecil di dalam—ruangan alami setinggi dada, dindingnya lembap dan berlumut, tapi bersih dari binatang liar.

Dan di sudut ruangan itu… ada tulang-tulang manusia.

Raka menegakkan tubuh perlahan. Tulang belulang itu tidak dalam posisi terkubur, melainkan terbaring terlentang di atas batu datar yang tertutup lumut. Di sebelah nya, sebuah kantong kulit sobek dengan inisial pudar: A.V.W.

Kirana masuk beberapa detik kemudian. Dan saat melihatnya, air matanya langsung jatuh.

“Kirana…!” panggil Raka.

Kirana berlutut pelan, membuka kantong itu dengan hati-hati. Di dalamnya, sisa gulungan kain perban tua, peniti yang sudah berkarat, dan surat kecil yang masih bisa terbaca sebagian besar isinya.

Raka memungutnya dan membaca pelan:

“Jika aku tak kembali, katakan pada siapa pun yang menemukan ini: aku tidak mati karena cinta. Aku mati karena kebencian yang ditanam oleh rasa takut. Tolong… akhiri ini. Dan ceritakan kebenaran.”

Kirana menutup mulutnya, menahan isak. Raka meraih bahunya, menggenggam nya erat.

“Dia tidak hilang, Raka. Dia... disembunyikan. Mereka menguburnya dalam diam, agar nama keluarganya tetap bersih.”

Raka menatap tulang itu. “Ini harus dilaporkan ke pihak desa. Atau polisi.”

“Tunggu,” bisik Kirana. “Sekarang belum saatnya.”

“Kenapa?”

“Karena jika ini diumumkan sekarang, mereka akan menutupi lagi. Menghapus. Menyangkal. Kita butuh waktu. Bukti. Dan orang yang bisa bersuara.” Tantangan nya adalah masyarakat adat yang kolot masih ada.

Raka tak menjawab. Ia paham apa yang ada di pikiran Anna. Tapi ia juga menyangkal bahwa ini adalah kejahatan yang disebabkan masyarakat adat secara umum. Kecuali jika Anna melakukan suatu dosa yang besar.

Malam itu, di rumah dinas, Kirana mencatat di jurnalnya:

“Jasadnya ditemukan. Tapi kebenaran belum. Sekarang aku tahu: aku bukan hanya dokter yang datang ke desa ini. Aku adalah suara bagi mereka yang dibungkam sejarah.”

Dan di ruang tamu, Raka duduk sendirian, merenung. Ia menatap foto istrinya yang masih ia simpan, lalu beralih ke arah jendela rumah Kirana yang samar terlihat.

Dalam hatinya, ia sadar:

Ia mulai merasakan keinginan besar untuk melindungi seorang wanita.

Wanita yang sedang berjalan terlalu dekat… dengan bayangan kematian.

1
kalea rizuky
lanjut donk seru neh
kalea rizuky: ia nanti cuss
Ichi Gusti: Sambil nunggu update-an baca Cinta Cucu Sang Konglomerat ja dulu kak. udah tamat novelnya.
total 2 replies
kalea rizuky
ini dunia gaib apa dunia jaman dlu sih Thor
Ichi Gusti: Dunia zaman dulu yang memiliki hal-hal gaib
total 1 replies
kalea rizuky
transmigrasi apa gmna nieh
kalea rizuky
ini cerita sejarah apa misteri sih
Purnama Pasedu
berlanjut
Purnama Pasedu
serem
Purnama Pasedu
horor ya
Ichi Gusti: genre misteri 😁
total 1 replies
Purnama Pasedu
lakukan dok
Purnama Pasedu
senangnyaaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!