NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:593
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13 OUT OF PLAN

Zia menelan ludahnya. Ia perlahan melepaskan cengkeramannya dari Manuel.

Seketika, atmosfer berubah.

Jantung Zia berdebar. Ia tak bisa menebak apa yang akan dilakukan pria itu. Ia belum pernah melihat Viren dalam keadaan seperti ini—diam, tapi jelas marah.

Ck, aku tidak tahu apa yang akan terjadi… batinnya mulai kacau.

Manuel membungkuk sopan dan pamit. Kini hanya tersisa mereka berdua—dalam hening yang seolah memeluk ruang itu dengan tegang.

Langkah Viren mulai menuruni anak tangga, pelan tapi mantap. Setiap langkahnya terdengar jelas di telinga Zia, meski tidak berisik. Seolah waktu melambat dan dunia hanya menyisakan suara sepatu Viren yang mendekat.

Zia ingin bergerak, tapi kakinya tidak cukup cepat. Lari? Mustahil. Berjalan? Percuma. Gerakan Viren jauh lebih cepat dari luka kakinya.

"Aku harus bagaimana?" pikirnya panik, jari-jarinya mencengkeram sisi bajunya sendiri.

"Siapa yang mengizinkanmu keluar?" suara itu meluncur seperti bilah baja tipis—dingin, kaku, dan tepat sasaran.

"Anu... Aku..." Zia menunduk, lidahnya terasa kelu. Ia tak sanggup menatap mata pria itu.

"Siapa?"

"Aku pergi ke rumah sakit," jawab Zia, masih menunduk, seolah tatapan Viren bisa membakar tubuhnya.

"Aku tanya siapa yang mengizinkanmu keluar?" ulang Viren dengan tekanan, langkahnya semakin mendekat.

Zia bergeming, wajahnya pucat. “Tidak ada…” jawabnya akhirnya.

Zia bergeser, matanya memandang ke belakang, sadar bahwa ia makin terdesak ke sofa.

“Lalu kenapa kau keluar?”

“A-aku pergi ke rumah sakit...” ucapnya, suaranya mulai bergetar. Matanya mencari pegangan, tapi tak ada yang bisa menyelamatkannya.

“Sendiri?”

Langkah Viren tinggal beberapa inci dari tubuh Zia. Jarak mereka kini begitu dekat hingga Zia bisa mencium samar aroma khas pria itu—aroma sabun, logam dingin, dan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan selain: bahaya.

Zia mundur setapak lagi, tapi kakinya terpeleset di sisi bawah karpet. Pergelangan yang masih sakit tak sanggup menopang berat tubuhnya.

Brugh!

Zia terjatuh ke sofa dengan tubuh tak terkendali. Viren yang begitu dekat, secara refleks bergerak menangkapnya—tapi justru ikut terbawa, hingga mereka jatuh bertumpuk. Dada pria itu membentur tubuh Zia, membuat napasnya tercekat.

“Aw…” Zia mengerang pelan. Kakinya tertekan posisi jatuh yang tidak ideal.

Matanya berkaca. Ia mencoba menahan tangis, tapi tubuhnya tak berdaya. Kejutan, sakit, dan rasa takut bercampur jadi satu, meledak begitu saja tanpa ia tahu bagaimana menghadapinya.

Viren belum bergerak. Tubuhnya sedikit menahan beban agar tidak sepenuhnya menindih Zia, tapi jarak mereka nyaris tak ada.

Dan untuk sesaat, waktu berhenti.

Viren masih belum bangkit.

Hanya satu lengan yang menyangga sandaran sofa agar tubuhnya tidak sepenuhnya menindih Zia. Namun, jarak mereka begitu dekat. Nafasnya menyentuh pelipis Zia, dan Zia tak bisa mengalihkan tatapan dari mata pria itu—gelap, tenang, tapi berbahaya seperti laut dalam sebelum badai datang.

Zia berani bersumpah, suara detak jantungnya terdengar sampai ke dinding-dinding ruangan.

Tubuhnya kaku. Ia tak tahu harus bicara atau diam. Tak ada yang pernah mengajarinya bagaimana menghadapi pria yang membungkus kemarahannya dalam ketenangan mematikan.

“Maaf…” bisik Zia akhirnya, nyaris seperti helaan napas yang tertahan terlalu lama.

Viren masih belum bergeming. Matanya menelusuri wajah Zia tanpa ekspresi. Sorotnya bukan marah, bukan sedih, tapi seperti sedang menimbang… menimbang apakah wanita di bawah tubuhnya ini pantas dimengerti atau dihancurkan.

“Aku hanya ingin memeriksakan kakiku…” lanjut Zia pelan, bibirnya bergetar.

Detik itu juga, Viren menarik dirinya perlahan. Ia bangkit dari posisi jatuh, berdiri tanpa suara. Gerakannya tenang, nyaris anggun, seolah kejatuhan barusan tidak berarti apa-apa.

Zia tetap terbaring di sofa. Tubuhnya gemetar karena campuran ketakutan dan rasa sakit di pergelangan kakinya yang kini berdenyut lebih tajam.

Viren berdiri membelakanginya, diam.

Zia menunggu. Tidak ada yang keluar dari mulut pria itu selama beberapa detik yang terasa seperti seabad.

Akhirnya, suara itu terdengar.

“Jangan ulangi lagi.”

Pelan, datar, dan jelas.

Zia menunduk. “Baik…”

Viren berbalik. Cahaya lampu menyinari sebagian wajahnya, menampilkan garis rahangnya yang tegas dan mata yang kini tampak sedikit lebih lembut—hanya sedikit.

“Aku tidak menyuruhmu untuk menjadi tahanan,” katanya pelan, nyaris tak terdengar, “tapi kau harus mengerti situasinya.”

Zia menoleh, matanya berkaca.

“Aku tidak melarangmu melakukan rutinitasmu, tapi lihat kondisimu sekarang.”

Zia tak menjawab. Lidahnya kelu. Ia hanya mengangguk perlahan, walau matanya berkata lebih banyak dari itu: ketakutan, rasa bersalah, dan luka batin yang sulit dijelaskan.

Viren mendekat lagi—kali ini tanpa ancaman. Ia duduk di ujung sofa, mengambil bantal kecil dan menyelipkannya di bawah kaki Zia dengan pelan. Gerakan yang berbanding terbalik dengan cara ia bertanya tadi. Sangat pelan. Sangat hati-hati.

Zia menahan napas.

“Jangan bergerak terlalu banyak malam ini,” ucap Viren tanpa menatapnya.

Zia menunduk. “Terima kasih…”

Viren bangkit, menatapnya sekali lagi.

“Kau bisa memanggilku kalau butuh sesuatu.”

Ia melangkah pergi meninggalkan ruangan. Suara langkahnya menghilang di ujung lorong, digantikan kembali oleh sunyi yang menggantung. Namun, kali ini keheningan itu tak hanya membawa dingin—ia membawa tanda tanya, dan denyut perasaan yang perlahan mulai berubah.

Zia masih di sofa. Ia memejamkan mata, menahan air yang hampir jatuh dari kelopak matanya.

Tapi bukan karena takut.

Karena bingung.

Karena lelah.

Dan karena pria itu—Viren—selalu hadir sebagai teka-teki yang tak pernah selesai ia pahami.

Sementara itu Viren berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerjanya. Sepi. Lampu-lampu gantung bergoyang ringan diterpa angin dari kisi jendela yang lupa tertutup.

Setiap langkahnya nyaris tanpa suara, namun pikirannya penuh dengung—suara-suara yang tak keluar dari mulutnya saat berdiri di hadapan Zia. Suara yang sejak tadi ia tekan agar tak berubah menjadi ledakan.

Ia membuka pintu ruang kerjanya. Aroma kayu tua dan lembaran kertas menyambutnya seperti biasa. Tapi malam ini, semuanya terasa berbeda.

Viren berdiri di ambang pintu sebentar. Punggungnya tegang. Lalu ia masuk dan menyalakan satu lampu meja, menyisakan sebagian besar ruangan dalam bayang.

Tangannya meraih gelas kristal kosong dan menuangkan sedikit bourbon ke dalamnya. Ia duduk di kursi besar dengan punggung tinggi, lalu mendongak menatap langit-langit. Wajahnya masih dingin, tapi ada sesuatu yang berubah di sorot matanya: seperti seseorang yang tahu ia sudah kelewat batas… namun tak bisa mundur.

Ia mengangkat gelas ke bibir, meminum seteguk—pelan, menahan amarah yang masih berdenyut di balik kulitnya.

Terkilir, katanya. Pergi sendiri. Dengan orang asing. Di luar pengawasan. Dengan nama belakangku menyatu di dokumennya.

Viren mengembuskan napas lewat hidung. Dalam. Panas.

Zia. Selalu sulit dibaca. Selalu menghindar. Tapi bukan itu yang paling membuatnya gila malam ini.

Yang membuatnya paling gila… adalah bahwa ia khawatir.

Ia membenci rasa itu.

Benci karena ia tak bisa mengontrolnya. Benci karena ia tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi jika sesuatu menimpa wanita itu—baik karena kelalaiannya, atau karena ulah musuh yang belum menunjukkan wajah.

Dan ia tahu, satu-satunya alasan ia jatuh ke atas Zia tadi… adalah karena ia terlalu dekat.

Terlalu dekat secara fisik.

Terlalu dekat secara batin.

Dan itu bukan bagian dari rencana.

Viren meletakkan gelas di atas meja. Tangan kirinya menekan pelipis. Ia mencoba meredam semua perasaan itu, mencoba menanamkannya kembali ke dalam peti baja dalam pikirannya—tempat di mana semua emosi tidak perlu hidup.

Namun kali ini, peti itu sedikit terbuka. Dan dari celah kecil itu, nama Zia terus menyusup keluar seperti bisikan malam.

Ia berdiri.

Langkahnya kembali ke arah lorong, tapi kali ini tidak menuju tangga. Ia menuju sudut gelap tempat rak lama dan lemari besi berdiri.

Jari-jarinya menyentuh permukaan sebuah laci kecil. Ia membukanya perlahan dan mengambil sebuah foto tua. Gambar buram dari seseorang yang berdiri di depan pintu rumah sederhana.

Wajah yang nyaris tak terlihat. Tapi ia tahu siapa itu. Seseorang dari masa lalu yang tak semestinya kembali.

Leo.

Dan seketika, pikirannya berpindah. Kembali pada semua sebab-musabab kenapa Zia ada di Calligo. Kenapa ia menikahinya. Kenapa semua ini bukan tentang cinta.

Tapi malam ini—Viren sadar.

Satu hal kecil telah berubah.

Ia tidak suka melihat Zia jatuh.

Dan yang lebih buruk:

Ia sangat tidak suka melihat Zia… bersama orang lain.

Zia masih diam di sofa.

Kepalanya menyandar pada sandaran, matanya menatap langit-langit tinggi Calligo yang seolah tak pernah berubah, seolah tak pernah peduli siapa yang merasa hancur di bawahnya.

Kakinya berdenyut. Tapi bukan itu yang paling mengganggunya. Bukan juga kemarahan Viren yang dingin, atau benturan fisik mereka yang masih tersisa di tubuhnya.

Yang paling menyakitkan adalah keheningan yang ditinggalkan.

Ia menunduk perlahan, menatap perban putih di kakinya. Tangan kanannya gemetar saat mengusap ujung matanya sendiri. Ia tak tahu sejak kapan air mata itu turun, atau mungkin tak sadar kalau ia sudah lelah setengah mati.

Ia menoleh, dan dengan sisa tenaga di tubuhnya, ia mengangkat suara pelan—nyaris hanya seperti gumaman.

“Kau…” panggilnya lirih pada seorang pengawal yang berdiri tak jauh di ambang pintu.

Pria itu segera mendekat. "Ya, Nyonya?"

Zia mengatur napasnya. “Bisakah kau… panggilkan Emi?”

Pengawal itu menunduk sopan. “Segera, Nyonya.”

Zia hanya mengangguk lemah.

Langkah sang penjaga segera menghilang di balik lorong panjang, dan Zia kembali membenamkan punggungnya ke sofa. Napasnya pelan, matanya kosong. Malam di Calligo terasa lebih sunyi dari biasanya. Bahkan detik jam di dinding terdengar terlalu nyaring.

Dan di antara diam yang menggulung itu, satu hal perlahan terbersit dalam benaknya:

“Aku benar-benar sendirian di rumah ini.”

Tak lama, suara langkah kaki mendekat. Suara ringan, beraturan, lalu diikuti ketukan halus di sisi pintu.

“Nona?” Suara lembut itu terdengar, membawa sedikit kehangatan.

Zia menoleh, sedikit mengangkat dagunya.

Emi datang, wajahnya sedikit cemas saat melihat Zia masih di sofa dengan posisi yang tampak tak nyaman.

“Kau memanggilku?” tanya Emi sambil segera menghampiri.

Zia hanya mengangguk. Suaranya nyaris hilang. “Bantu aku ke kamar.”

Emi tanpa banyak tanya langsung berlutut di sampingnya, memegangi lengan Zia dengan penuh kehati-hatian. “Kakimu… terlihat lebih parah dari yang aku dengar.”

“Tidak apa-apa,” potong Zia singkat. “Aku hanya lelah.”

Emi mengangguk kecil, lalu membantu Zia bangkit perlahan. Mereka bergerak perlahan menyusuri lorong, langkah demi langkah, dengan bunyi tapak lembut yang terdengar bagai nyanyian sunyi dari penghuni rumah yang tidak pernah benar-benar tidur.

Setibanya di kamar, Emi membuka pintu dan menuntunnya masuk.

Zia duduk di sisi ranjang. Matanya menatap lantai, kosong. Tubuhnya seolah masih membawa jejak kehadiran Viren yang belum lama meninggalkannya.

Emi menunggu, berharap akan ada kalimat, keluhan, atau cerita. Tapi Zia hanya berkata satu hal sebelum membaringkan tubuhnya perlahan.

“Matikan lampu… aku ingin tidur.”

Dan malam kembali menelan suara-suara, menyisakan satu perempuan yang terluka, bukan hanya di kakinya—tapi jauh lebih dalam, di bagian yang tak pernah terlihat siapa pun.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!