Seorang pendekar tua membawa salah satu dari Lima Harta Suci sebuah benda yang kekuatannya bisa mengubah langit dan bumi.
Dikejar oleh puluhan pendekar dari sekte-sekte sesat yang mengincar harta itu, ia memilih bertarung demi mencegah benda suci itu jatuh ke tangan yang salah.
Pertarungan berlangsung tiga hari tiga malam. Darah tumpah, nyawa melayang, dan pada akhirnya sang pendekar pun gugur.
Namun saat dunia mengira kisahnya telah berakhir, seberkas cahaya emas, menembus tubuhnya yang tak bernyawa dan membawanya kembali ke masa lalu ke tubuhnya yang masih muda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biru merah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 13. Gadis Kecil
Lin Yan kembali ke vila bambu merah dan seperti biasa memulai harinya dengan berlatih serta membersihkan halaman. Hari-hari berlalu tenang, hingga akhirnya Guru Bai pulang dari misi yang ditugaskan oleh Ketua Zhong.
Pagi itu, Lin Yan sedang menyapu daun-daun kering di halaman vila saat sosok berjubah putih muncul dari kejauhan.
"Yan’er, guru sudah kembali. Apa kau mengalami masalah saat guru pergi?" tanya Guru Bai, suaranya tenang namun menyimpan kekhawatiran.
Lin Yan meletakkan sapunya dan menatap gurunya dengan senyum tipis. "Ada sedikit pertengkaran dengan salah satu murid luar, tapi tidak perlu dikhawatirkan."
Guru Bai mengangguk. "Baiklah. Sekarang guru akan melapor pada Ketua Sekte, setelah itu kembali lagi ke sini."
Di Aula Utama Sekte Pedang Suci
Tok… Tok… Tok…
"Masuk," sahut suara tegas dari dalam ruangan.
Guru Bai melangkah masuk dan menunduk hormat. "Ketua Sekte, saya ingin melapor tentang misi perjalanan saya."
Ketua Zhong mendengarkan dengan seksama, membiarkan Bai selesai menjelaskan seluruh laporan. Begitu laporan selesai, Bai kembali menunduk.
"Itu saja, saya mohon pamit."
Namun Ketua Zhong mengangkat tangan, menghentikannya. "Tunggu dulu, Tetua Bai. Ada hal penting yang perlu saya bicarakan."
Ketua Sekte pun menceritakan kejadian beberapa hari lalu—tentang Lin Yan yang terlibat insiden kecil dengan murid luar. Wajah Guru Bai sempat menegang, namun ia hanya bisa menggelengkan kepala pelan mendengarnya.
"Anak itu memang... tidak bisa diam." gumamnya, hampir tidak terdengar.
Sebelum Bai benar-benar berpamitan, Ketua Zhong menambahkan, "Oh, satu hal lagi. Ketua dari Aula Es akan tiba besok. Beritahu yang lain, kita akan menyambut mereka."
Kembali ke Vila Bambu Merah
Guru Bai langsung mencari Lin Yan dan menanyakan detail tentang kejadian yang diceritakan oleh Ketua Sekte. Kali ini Lin Yan tidak bisa mengelak dan menceritakan semuanya dengan jujur.
Keesokan paginya, setelah menyelesaikan pekerjaan membersihkan vila, Guru Bai meninggalkan Lin Yan untuk menemui rombongan dari Aula Es.
Lin Yan yang memiliki waktu luang memutuskan berjalan-jalan mengelilingi sekte. Saat melewati jalanan dekat taman dalam, seseorang menabraknya dari depan.
"Akh! Sakit!" seru seorang anak kecil sambil memegangi kepalanya.
Anak itu ternyata seorang gadis kecil, dengan wajah cantik namun ekspresi menyebalkan.
"Sial, kalau jalan pakai mata dong!" semprot gadis kecil itu dengan kesal.
"Bukannya kamu yang menabrakku?" sahut Lin Yan, tenang.
"Sudah jelas kamu yang salah, masih bisa menyalahkan aku pula!" balas gadis kecil itu marah.
Lin Yan hanya diam. Ia malas menanggapi lebih jauh.
Sikap cueknya justru membuat gadis itu makin geram. Ia mencoba memukul Lin Yan, namun semua pukulannya dengan mudah dihindari.
Merasa diremehkan, gadis itu langsung ingin mencabut pedangnya, namun langkahnya terhenti saat terdengar suara dari belakang.
"Nona muda! Apa yang Anda lakukan di sini? Yang lain mencarimu ke seluruh penjuru sekte!"
"Aku bosan," jawabnya singkat.
"Ayo kembali, Nona."
"Huh! Beruntung kau, aku tak jadi menggunakan pedangku," gumam si gadis, sebelum akhirnya pergi bersama pengawalnya.
Lin Yan hanya menghela napas dan memutuskan untuk kembali ke vila. Ia tidak ingin dicari-cari oleh gurunya.
Pertemuan Resmi dengan Aula Es
Begitu tiba di vila, benar saja, Guru Bai sudah menunggunya.
"Yan’er, bersiaplah. Guru diperintahkan untuk mengajakmu bertemu rombongan dari Aula Es."
Tanpa banyak bicara, Lin Yan mengikuti gurunya menuju aula pertemuan. Di sana, suasana sudah ramai, dan rombongan Aula Es telah tiba.
Begitu melihat salah satu anggotanya, Lin Yan sedikit terkejut. Gadis kecil yang sebelumnya menabraknya ternyata adalah bagian dari rombongan tersebut.
"Dia! Bukankah dia yang menabrakku waktu itu!" celetuk gadis kecil itu lantang.
"Justru kamu yang menabrakku..." sahut Lin Yan, masih tenang.
"Masih berani menyangkal juga!" gerutu gadis itu, wajahnya memerah karena kesal.
Ketua Sekte Pedang Suci tertawa kecil menyaksikan interaksi mereka.
"Oh, kalian sudah saling kenal rupanya?"
"Ya, kami bertemu tadi pagi. Ketika dia menabrakku saat aku sedang jalan," jawab Lin Yan pelan, namun cukup keras untuk didengar gadis itu.
"Apa katamu! Kamu—!"
Melihat hal ini, Ketua Sekte mengangkat tangan. "Bagaimana kalau kalian bertanding saja? Sebagai pertarungan persahabatan antara Sekte Pedang Suci dan Aula Es."
Mata gadis kecil itu langsung berbinar. "Baik! Aku terima!"
Ketua Aula Es hanya bisa menggelengkan kepala, namun tak melarang.
"Lin Yan, bagaimana denganmu?" tanya Ketua Sekte.
"Baiklah," jawab Lin Yan singkat.
Arena Pertarungan
Pertarungan digelar di arena utama sekte. Beberapa tetua dan murid menyaksikan dari tribun.
"Ingat, ini hanya pertarungan persahabatan," seru salah satu tetua yang memimpin. "Tidak boleh membunuh ataupun melukai lawan secara berlebihan."
Lin Yan dan gadis kecil itu berdiri di tengah arena. Gadis itu langsung menyerang dengan tangan kosong. Pukulannya kuat dan mengandung hawa dingin yang menusuk.
Lin Yan hanya bertahan dan menghindar.
"Apa kamu meremehkanku?! Serang balik!" seru gadis itu.
Lin Yan tahu, jika ia tidak melawan, itu bisa dianggap menghina. Apalagi hubungan antara Sekte Pedang Suci dan Aula Es sedang dalam kondisi harmonis. Maka ia mulai melancarkan beberapa serangan balik.
Kini gadis kecil itu berada dalam posisi bertahan. Salah satu pukulan Lin Yan berhasil mendarat, membuat gadis itu mundur beberapa langkah. Marah, ia mencabut pedangnya dan bersiap bertarung serius.
Lin Yan pun mengeluarkan pedangnya—Pedang Merah Membara.
Pertarungan berubah menjadi duel pedang. Namun perbedaan teknik mulai terlihat jelas. Lin Yan jauh lebih mahir mengendalikan pedangnya, gerakannya tajam namun tetap elegan.
Terpojok, gadis kecil itu akhirnya mengaktifkan teknik pamungkasnya: Pedang Dewi Es, jurus tingkat tinggi dari Kitab Dewi Es. Serangannya berubah drastis—cepat, menusuk, dan dingin seperti es abadi.
Lin Yan kini benar-benar serius. Ia melangkah ringan, lalu mengaktifkan Tarian Pedang Laut. Gerakan pedangnya seperti ombak, bergelombang dan memukul balik semua tekanan es.
Serangan demi serangan saling bersambut, namun akhirnya pedang di tangan gadis kecil itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah.
Sorakan terdengar dari penonton. Lin Yan memegang pedangnya dengan tenang, tidak menunjukkan ekspresi menang.
"Teknik pedangnya memang luar biasa. Jika bukan karena perbedaan pengalaman, mungkin aku yang kewalahan," batin Lin Yan.
Gadis kecil itu menghela napas panjang, lalu memalingkan wajahnya.
"Hmph! Kau beruntung."
Namun kali ini, nada suaranya tidak sekeras tadi. Mungkin, ada sedikit rasa kagum yang ia sembunyikan.