Siapa yang ingin bercerai? Bahkan jika hubungan pelik sekalipun seorang wanita akan berusaha mempertahankan rumah tangganya, terlebih ada bocah kecil lugu, polos dan tampan buah dari pernikahan mereka.
Namun, pada akhirnya dia menyerah, ia berhenti sebab beban berat terus bertumpu pada pundaknya.
Lepas adalah jalan terbaik meski harus mengorbankan sang anak.
Bekerja sebagai sekertaris CEO tampan, Elen tak pernah menyangka jika boss dingin yang lebih mirip kulkas berjalan itu adalah laki-laki yang menyelamatkan putranya.
laki-laki yang dimata Satria lebih pantas dipanggil superhero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 - YAYASAN SEKOLAH
"Divine, kamu suka melihat anak-anak?" tanya Morena yang berdiri di belakang sang putra.
"Ya Bunda, mereka juga salah satu semangatku!" jawab Divine, sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari Satria.
Divine bersyukur, Satria memiliki banyak teman sekarang, meskipun hingga saat ini ia masih belum berani menampakkan dirinya di hadapan bocah kecil itu.
Divine takut, jika Satria akan menolaknya, Divine takut kalau Satria tahu saat ini ia hanya laki-laki lemah yang duduk di atas kursi roda.
"Benar-benar anak Bunda, itulah kenapa meskipun sudah menikah dengan Ayahmu, Bunda masih mengurus langsung yayasan ini." Morena mengulas senyum, sedikit berjongkok ia di sisi Divine.
"Yayasan ini yang mengharumkan nama Bunda saat belum menikah, dan ini salah satu peninggalan kakek nenekmu," ujar Morena.
Ingatannya menerawang ke masa lalu. Dimana ia hidup diantara orang-orang tak punya, Morena bilang pada kedua orang tuanya ingin mendirikan sekolah untuk anak-anak tak mampu. Hal itu berhasil diwujudkan oleh kedua orang tuanya, meski tak lama setelah itu satu persatu dari mereka meninggalkan Morena.
"Bunda sedih ya keinget Kakek sama Nenek?" tanya Divine.
Morena mengangguk, akan tetapi bibirnya tersenyum.
"Tapi sekarang enggak, kan ada kamu! Kamu harus semangat untuk sembuh ya? Bunda sedih liat kamu murung terus," ujar Morena lagi.
Divine mengangguk, saat melihat Satria dan teman-temannya sudah tak ada, ia segera mengajak sang bunda masuk ke dalam ruangan.
Hampir lima belas menit Keyra dan Elen menunggu Satria.
"Masih berapa lama lagi biasanya Key?" tanya Elen.
"Hehe masih setengah jam-an sih," Keyra nyengir kuda, lantas mengajak Elen duduk di kursi bawah pohon. Cukup jauh dari sekolah Satria, mereka memesan es teh.
Tak berselang lama, ia melihat sebuah mobil hitam legam lewat. Memang bukan mobil Divine, tapi ia bisa melihat jelas bahwa Divine berada di dalamnya dari kaca mobil yang terbuka hampir setengah.
Uhuk...
Tiba-tiba Elen tersedak membuat Keyra yang asik minum esnya segera menoleh.
"Kenapa, Len?"
"Tak apa, Key! Aku hanya tak menyangka kalau laki-laki yang kamu maksud beneran Divine tapi kakinya..." Elen menjeda ucapannya, ia menunduk semakin merasa bersalah saat ini.
"Ada masalah apa? Bukannya dia juga datang ke kantormu?" tanya Keyra, berharap Elen mau sedikit cerita terhadapnya.
"Dia kecelakaan Key, dan itu semua gara-gara aku. Waktu itu, dia mengajakku pulang. Disaat yang sama Rafael menawariku tumpangan." Elen menghela napas.
"Kamu pulang sama Rafael? Seingatku, kamu selalu datang ke tokoku dengannya?" tebak Keyra.
"Benar, aku menolaknya dan pulang bersama Rafael. Dia memerintahku, meski pada akhirnya Rafael mencoba memberi pengertian jika arah rumah kami berbeda!"
"Sungguh membingungkan, atau jangan-jangan sebenarnya Boss kamu itu tertarik tapi gengsi jadi lebih suka memerintah apapun asalkan kamu tetap di dekatnya," jawab Keyra.
"Hah, waktu itu saja aku diusir dari rumah sakit." Elen menunduk sedih.
"Percaya gak, menurut analisaku? Dia gak ingin kamu melihat dia yang lemah, apalagi tadi kan? Dia pakai kursi roda, bisa jadi sebenarnya dia gak ingin kamu tau apa yang terjadi dengannya!"
"Hm, entahlah! Eh, sudah pada pulang, ayo cari Satria." Elen bangkit dari duduknya pun dengan Keyra. Lantas, mereka segera mendekat ke gerbang dan mencari keberadaan Satria.
Hari itu, mereka lewati dengan jalan-jalan bersama. Satria senang, bisa menikmati waktu bersama dua momy-nya yang tangguh.
Lain halnya di kediaman Wijaya. Meski Morena sudah berusaha sebaik mungkin mengalihkan Divine dengan hal-hal sederhana. Putranya itu kembali murung dan merenung jika sudah berada di dalam rumah.
"Divine," panggil Morena.
"Iya Bunda."
"Kamu kalau perlu apa-apa bilang Bunda, ya?"
"Siap Bunda." Divine merebahkan tubuhnya sebentar. Jam masih menunjukkan pukul dua, Morena keluar dan menutup pintu.
"Ck! Aku benar-benar orang yang lemah,"ucapnya menatap nanar langit-langit kamar.
"Bukan, bukan hanya lemah tapi juga pengecut. Bahkan menemui Satria aja aku gak berani, aku pengecut!" makinya pada diri sendiri.
Tak tahu, dibalik pintu Morena merasakan sesak mendengar kalimat Divine. Bukan hanya sang putra yang merasakan sakit, ia pun juga.
Rasa-rasanya ia tak tega melihat Divine terpuruk.
***
Paginya,seperti biasa Morena bersiap ke Yayasan sementara Wijaya saat ini sibuk mengurus pekerjaannya sebab Divine istirahat total.
"Kamu di rumah aja, ya? Bunda cuma sebentar kok. Lagian hari ini dokter pribadi akan datang untukmu memulai terapi!" Morena memaksakan senyum.
"Tak masalah, Bund! Bukankah aku harus mengikuti terapi agar cepat sembuh?" Divine tau Bundanya sangat sedih, tapi ia tak ingin menambah beban pikiran wanita tercantiknya itu.
Di Kantor, Wijaya dan Rafael tengah mempersiapkan diri untuk rapat besar para investor jam dua nanti. Namun, ia membutuhkan beberapa tanda tangan Divine karena memang perusahaan ini sudah resmi menjadi milik sang putra.
"Elen, bisakah kamu pergi ke rumah? Saya akan kasih alamatnya sama kamu!" pinta Wijaya saat memanggil Elen ke ruangannya.
"Boleh saya tahu alamatnya, Pak?" tanya Elen.
Wijaya menyerahkan alamat lengkap, "perumahan Cendana ya, Pak?"
"Ya, benar. Disitu ada nomor rumahnya! Kamu kesanalah naik taksi dan minta tanda tangan Divine." Wijaya menyodorkan beberapa dokumen di hadapan Elen.
"Baik, Pak!"
"Tak usah buru-buru, kamu bisa sambil makan siang. Rapat masih jam dua nanti," ujar Wijaya lagi.
"Baik, Pak. Saya akan jalan sekarang!"
Elen keluar dari ruangan CEO dengan perasaan entah. Harus bagaimana ia menghadapi Divine? Bertemu dengan laki-laki itu langsung apakah ia siap?
"Astaga, mikir apa sih! Niat aku murni kerja, kerja buat Satria." Elen merapalkan mantra, gegas masuk ke dalam lift yang membawanya ke lantai bawah.
Saat berjalan keluar perusahaan tak sengaja Elen berpapasan dengan Anita. Wanita yang tak dikenalnya itu memandang sengit. Namun, Elen tak perduli. Ia terlalu buru-buru dan tak punya waktu meladeni orang-orang yang membencinya.
"Taksi..." Elen melambaikan tangan, hingga tak berselang lama taksi mendekat ke arahnya.
"Perumahan Cendana, Pak!" ujarnya setelah masuk ke dalam.
"Baik, Bu."
Saat Elen bertanya lagi perihal nomor rumah, supir taksi itu bahkan tahu hingga mempermudah Elen melakukan pekerjaannya.
"Cari siapa, Mbak?" tanya seorang satpam jaga rumah Wijaya.
"Saya Elen, sekertaris Pak Wijaya. Apa saya bisa bertemu dengan Pak Divine, ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangani." Elen berkata jujur. Hingga satpam itu mempersilahkannya masuk dan mengantarkannya bertemu dengan Morena.
"Permisi, Bu. Saya mau minta tanda tangan Pak Divine untuk rapat jam dua nanti," ujar Elen sesopan mungkin.
Morena mengulas senyum, "ayo saya antar bertemu Divine nya."
"Baik, Bu!"
Morena mengajak Elen menuju taman belakang, disana tampak Divine tengah memandangi taman bunga dimana belakang rumah terdapat beberapa jenis mawar disana.
"Divine, ada tamu sayang!" Morena mendekat bersama Elen, saat Divine menoleh mata keduanya bertemu.
RAHIM ELEN JUGA SUBUR....