Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.
Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.
Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Inspeksi Proyek dan Julukan Baru
Mobil SUV sewaan melaju melewati jalanan Jakarta yang mulai mereda dari kemacetan. Langit sore tampak pucat, dan matahari condong di balik gedung-gedung tinggi yang perlahan berganti menjadi pemandangan gudang besar, tanah lapang, dan bangunan setengah jadi. Suara klakson digantikan oleh deru mesin berat dari kejauhan, menandakan mereka sudah semakin dekat ke kawasan proyek.
Arash duduk di kursi depan, matanya sesekali melirik ke kaca spion, memastikan ekspresi Devan di belakang tetap tak berubah. Wajah pria itu seperti biasa—dingin, fokus, dan nyaris tanpa emosi. Tapi dalam diamnya, Arash tahu, Devan selalu memperhatikan segalanya.
Udara di luar tampak panas dan kering. Kontras dengan suhu dingin di dalam mobil yang menembus kulit. Arash merapatkan bajunya, mencoba menyeimbangkan rasa gugup dengan profesionalismenya.
Setibanya di lokasi proyek PT. Adhitama Jaya—anak perusahaan yang mengelola pembangunan properti—mobil berhenti di area parkir penuh kerikil dan debu. Arash segera turun, mengambil helm putih dan rompi oranye dari bagasi, lalu memakainya dengan cepat. Gerakannya cekatan, seolah tubuhnya sudah terlatih menghadapi situasi lapangan seperti ini.
Devan ikut turun dari mobil. Ia berdiri tegak di samping pintu, menatap bangunan beton setengah jadi di kejauhan. Angin berdebu menerpa jas hitamnya, tapi pria itu tampak tak terganggu. Tidak ada ekspresi lelah, bahkan tak ada niat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan proyek.
“Pak, sebaiknya pakai helm dan rompi dulu,” ujar Arash, sedikit ragu. Ia tahu Devan selalu tegas soal keselamatan kerja—pada orang lain. Tapi anehnya, pria itu sering lupa mematuhi aturannya sendiri.
Devan hanya menoleh sebentar. “Nanti.”
Arash mendesah pelan. “Dasar manusia kulkas…” gumamnya tanpa sadar.
Langkah Devan berhenti. Ia menatapnya tajam, matanya seperti mengiris udara. “Kamu bilang apa tadi?”
Arash tersentak. “Nggak, Pak! Saya cuma ngomong sendiri.”
Devan tidak bereaksi lama. Ia menatap Arash dari atas ke bawah, kemudian berkata datar, “Pakaikan saya rompinya.”
“Tapi, Pak—”
“Cepat.”
Nada suaranya membuat Arash menelan protesnya bulat-bulat. Ia mendekat, menarik napas panjang sebelum mulai memasangkan rompi oranye itu. Namun tubuh Devan yang menjulang lebih dari 190 cm membuatnya kesulitan. Ia harus berjinjit untuk merapikan bagian bahu yang tersangkut di kerah jas.
“Bapak, tolong menunduk sedikit,” ujarnya, berusaha tetap sopan.
Devan mendengus. “Dasar boncel.”
Mata Arash membulat. “Saya nggak boncel, Pak! Itu Bapak aja yang terlalu tinggi.”
Sudut bibir Devan tampak terangkat sekilas—entah karena geli atau mengejek—tapi ekspresinya segera kembali datar. Ia sedikit menunduk, membiarkan Arash menyelesaikan pekerjaannya.
“Helmnya sekalian, Pak.”
Devan mengambil helm putih yang diulurkan Arash, tapi memakainya sendiri. “Tidak perlu.”
“Baik, Pak.” Arash menahan senyum tipis yang nyaris lolos.
Tanpa menunggu lebih lama, Devan melangkah ke area proyek. “Ayo. Saya tidak punya banyak waktu untuk menatap debu.”
Suara mesin berat, teriakan mandor, dan dentuman logam memenuhi udara. Setiap langkah mereka disambut pandangan pekerja yang terkejut melihat Devan Adhitama datang langsung ke lapangan. Arash berjalan setengah langkah di belakangnya, membawa notebook kecil dan ponsel untuk dokumentasi.
Devan berbicara dengan manajer proyek, suaranya dalam dan tegas. Dari jarak beberapa meter, Arash bisa melihat cara pria itu menunjuk struktur baja dengan ekspresi tajam, menandakan ada sesuatu yang tidak sesuai dengan standarnya. Manajer proyek itu tampak berkeringat, mencoba menjelaskan sambil membolak-balik blueprint di tangannya.
Sementara itu, Arash berdiri menunggu perintah, mencatat detail-detail kecil yang mungkin dibutuhkan nanti. Ia bisa merasakan beberapa tatapan dari para pekerja, mungkin karena ia satu-satunya perempuan di sana—apalagi datang bersama CEO. Tapi ia tetap berdiri tegak, menahan rasa canggung di bawah panas matahari yang memantul dari beton.
“Maulidia,” suara Devan memanggilnya.
Arash segera menghampiri. “Ya, Pak?”
“Tolong ambilkan dokumentasi pondasi di sisi timur. Retakannya terlihat dari sini. Saya mau bukti visual yang jelas.”
“Iya, Pak.”
Arash berjongkok, mendekat ke pondasi. Ia mencondongkan tubuh, mencari sudut terbaik. Debu menempel di celana bahan yang ia kenakan, tapi ia tidak peduli. Ia hanya fokus pada hasil foto yang harus sempurna. Ia mengambil beberapa sudut, memotret detail retakan kecil di antara beton.
Tanpa ia sadari, Devan memperhatikannya dari belakang. Gerakannya teliti, tapi posisi tubuhnya terlalu dekat dengan balok baja yang belum terpasang stabil.
“Ceroboh,” gumam Devan pelan.
Arash menoleh, kaget. “Apa, Pak?”
“Perhatikan sekelilingmu. Kalau tadi kamu menyentuh balok itu sedikit saja, bisa jatuh menimpamu. Fokusmu terlalu mudah pecah.”
Nada suaranya tidak tinggi, tapi cukup membuat Arash menunduk. Ia menggenggam ponselnya erat-erat. “Saya akan lebih hati-hati, Pak.”
Devan menatapnya sekilas. “Saya tidak butuh ‘lebih hati-hati’. Saya butuh sempurna.”
Kata itu menusuk, tapi juga membakar semangatnya. Sempurna. Ia akan menunjukkan bahwa dirinya mampu.
Setelah inspeksi selesai, mereka kembali ke mobil. Devan duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela. Arash duduk di depan, diam, menatap lurus ke arah jalan yang berdebu.
“Kirimkan foto-foto itu ke email saya” ujar Devan tiba-tiba. “Dan siapkan laporan tentang cacat konstruksi itu. Harus selesai sebelum pukul lima.”
“Baik, Pak.”
Hening kembali memenuhi kabin. Hanya suara ban yang melindas aspal dan desau AC yang dingin. Tapi Arash bisa merasakan tatapan Devan dari belakang—dingin, tapi juga seperti sedang menilai sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Ia memandangi layar ponselnya, memastikan foto-fotonya tajam, pencahayaan sempurna. Ia ingin hasilnya tidak bisa dikritik sedikit pun.
Namun di sela-sela keseriusan itu, pikirannya kembali ke satu kata.
Boncel.
Ia menggertakkan gigi pelan. “Saya bukan boncel,” gumamnya dalam hati. “Saya cuma… tinggi normal.”
Senyum kecil lolos di bibirnya sendiri, tanpa sadar. Mungkin untuk pertama kalinya, Devan Adhitama membuatnya kesal sekaligus… hidup.
Ia mengepalkan tangan pelan. Baiklah, Pak Devan. Kalau Bapak mau kesempurnaan, saya akan tunjukkan kesempurnaan.
Dan di bawah langit sore yang mulai gelap, dua sosok itu duduk diam dalam mobil yang sama—dengan pikiran masing-masing yang sama tajamnya.
Satu ingin membuktikan diri.
Satu mulai tertarik pada keteguhan yang tidak mudah ia taklukkan.
Perjalanan mereka baru saja dimulai.