Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Sampai bertemu di pengadilan, Mas Shaka.
Langkah kaki Amara bergema cepat di lantai marmer lobi Wirantara Air, seirama dengan napasnya yang memburu. Sorotan mata karyawan yang berpapasan dengannya hanya sekilas, tak ada yang berani menatap lama, karena wajah wanita itu menyimpan badai.
Begitu pintu kaca otomatis terbuka, angin luar langsung menyambut. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pintu. Zico turun cepat, menyingkirkan jasnya agar Amara bisa masuk dengan leluasa. Namun sebelum Amara sempat melangkah, suara langkah berat terdengar di belakang.
“Amara!”
Nada itu dalam, berat, dan menahan emosi. Shaka berdiri beberapa meter darinya napasnya juga berat, mata tajamnya penuh campuran marah dan bingung. Dalam dua langkah lebar, ia sudah di depan Amara dan langsung menarik pergelangan tangannya.
“Ke mana kamu mau pergi?” suaranya nyaris bergetar.
Amara menatap dingin, berusaha menarik tangannya, tapi genggaman Shaka terlalu kuat.
“Ke mana pun aku pergi bukan urusanmu lagi,” katanya tajam.
Shaka mencengkeram lebih erat, matanya menatap dalam, penuh amarah dan kelelahan.
“Selama kita belum bercerai, itu masih urusanku!” bentaknya.
“Apalagi kamu sedang mengandung, Amara. Aku punya hak tahu ke mana istri dan bayiku pergi.”
Amara menatapnya dengan tatapan penuh luka. “Bayi kita?” ia mengulang sinis. “Kau bahkan meragukan anak ini di depan adikmu sendiri!”
Shaka terdiam sesaat, kalimat itu menampar nuraninya lebih keras daripada yang ia kira. Tapi sesuatu di dalam dirinya, mungkin ego, membuatnya justru berkata hal yang lebih menyakitkan.
“Kalau begitu jawab aku…” Shaka menatap Zico yang berdiri di sisi mobil. “Apa karena dia?”
Amara menatap ke arah yang sama, menatap Zico lalu kembali menatap Shaka dengan sorot tajam. Shaka melangkah satu langkah mendekat, nadanya semakin dingin.
“Atau jangan-jangan...” suaranya menurun, tapi tajam seperti belati,
“pria itu ayah biologis dari anak yang kau kandung?”
Plak!
Tamparan itu menggema keras di udara. Beberapa orang yang berdiri di dekat lobi spontan menoleh, tapi tak ada yang berani bicara. Shaka hanya mematung, pipinya memerah bekas tamparan. Tatapan Amara bergetar di antara marah dan sakit hati.
“Kalau aku masih punya hati untukmu, Mas Shaka,” katanya pelan namun jelas, “aku tidak akan di dekati oleh orang lain.”
Sebelum Shaka sempat menjawab, Zico melangkah maju dengan mata penuh amarah. Dalam gerakan cepat, ia mencengkeram kerah kemeja Shaka dengan kuat hingga suara kain terdengar tegang.
“Kau terlalu sampah untuk dicintai oleh Nona Amara,” desisnya dingin.
“Kau tidak layak menerima cintanya. Pantas dia ingin meninggalkanmu. Dasar pria brengsek!”
Bugh!
Satu pukulan keras mendarat di rahang Shaka, membuatnya tersentak mundur.
“Zico! Hentikan!” Amara berteriak, menarik lengan Zico sekuat tenaga.
“Cukup!”
Zico masih menatap tajam Shaka, napasnya memburu, namun perlahan menurunkan tangannya setelah melihat tatapan Amara yang memohon.
Amara lalu berbalik menatap Shaka yang berdiri dengan pipi berdarah sedikit. Tatapan mereka bertemu dingin, tapi di balik dingin itu masih ada sisa rasa yang belum mati sepenuhnya.
“Aku tidak akan lari, Mas Shaka,” ujar Amara pelan. “Tapi mulai sekarang, berhentilah memperlakukan aku seolah aku tidak punya harga diri.”
Setelah itu, ia melangkah ke mobil, masuk, dan menutup pintu dengan tenang. Zico masuk ke sisi pengemudi tanpa bicara sepatah kata pun.
Shaka masih berdiri di tempat, rahangnya mengeras, napasnya berat menahan amarah dan luka yang bercampur jadi satu. Amara menatapnya dari balik kaca, matanya tenang tapi dingin, seperti laut sebelum badai. Bibirnya melengkung samar, bukan senyum, tapi sebuah peringatan halus.
“Sampai bertemu di pengadilan, Kapten Shaka,” ucapnya datar, namun tajam menembus dada Shaka seperti peluru yang tak terlihat.
“Aku sudah mengirim surat cerai baru ke keluarga Wirantara.”
Kata-kata itu membuat udara di sekitar mereka seolah berhenti. Shaka menatapnya, tidak percaya. Bibirnya terkatup kaku, tangan terkepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Tapi sebelum ia sempat menjawab, kaca mobil itu kembali naik perlahan, menutup pandangan Amara. Mobil pun melaju, meninggalkan jejak roda dan kepulan debu kecil di jalanan depan gedung Wirantara Air.
Shaka terpaku, dadanya naik turun keras. Lalu dengan tiba-tiba, ia menghentakkan kakinya ke tanah,
“Amara!” teriaknya keras, suara serak dan bergemuruh, menggetarkan hati siapa pun yang mendengar.
“Aku tidak akan menceraikanmu! Dengar itu! Kau dengar aku?! Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Amara!”
Suaranya menggema, tapi mobil itu sudah jauh. Hanya bayangan hitam yang tersisa di ujung jalan, bersama sisa amarah yang menggantung di udara.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya