Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Rencana Penculikan
Tiga jam sebelum kejadian
Hujan pagi membasahi kota Lembang. Tanah, rerumputan dan dedaunan masih basah saat para pasien diminta berkumpul di aula. Seharusnya kegiatan olahraga dilakukan di taman seperti biasanya, atau jika tidak memungkinkan karena faktor cuaca, acara olahraga ditiadakan atau diganti ke sore hari.
Kali ini Kepala Sanatorium meminta semua pasien berkumpul bukan untuk olahraga, akan tetapi aula sudah disulap menjadi ruang makan besar untuk para pasien makan bersama.
Seorang perawat perempuan masuk ke kamarku membawakan handuk baru, piyama pasien, alat kosmetik sederhana seperti bedak tabur, lipstik dan parfum. Fasilitas yang mereka berikan setiap hari seperti di hotel mewah.
"Hania, bagaimana hari ini sudah lebih baik?" tanyanya
Aku mengangguk lemah, kurang tidur karena kejadian semalam. Aku tidak tahu bagaimana bentuk wajahku pagi ini, untuk mengambil wudhu pun aku tidak sanggup bangun hingga kucoba tayamum. Tuhan pasti mengerti kelemahan dan keterbatasanku hari itu.
"Hari ini kita akan makan bersama di aula bersama seluruh pasien. Karena keluarga pemilik Sanatorium ini akan hadir dan ingin mengenal kita semua. Mari saya bantu mempersiapkan diri."
"Sus, saya tidak ingin kemana-mana. Bisakah saya makan di sini saja? Saya masih lemas," tolak ku, suaraku nyaris tidak terdengar karena serak dan tercekat.
"Semua pasien wajib berkumpul mba Hania. Mari saya bantu mengganti baju baru." suaranya tegas tidak menyisakan sela untukku bantah.
Aku merasakan ada suatu yang berbeda dari sikap perawat yang datang pagi itu. Aku memang belum mengenal banyak perawat yang bertugas di Sanatorium ini, sikapnya tegas dan tatapan matanya tidak bersahabat padaku. Atau hanya pikiranku saja?
Aku pasrah dan menurut saat dia membuka paksa bajuku dengan kasar lalu menggantikan dengan yang baru, andai saja tubuhku tidak selemah ini, aku sudah menolak dan memintanya keluar saat aku mengganti pakaian.
Dia menarik ku kasar untuk duduk di kursi roda. Dan mendorong kursi dengan mengambil jalan yang rusak dan berlubang. Aku hanya bisa diam dan menahan semua ketidaknyamanan ini dengan istigfar. Hingga sampai kami di mulut aula, dia menyerahkan tugasnya kepada perawat laki-laki.
Perawat laki-laki itu jauh lebih baik, dia menjalankan roda perlahan hingga aku duduk di antara pasien lainnya. Di samping kananku pasien perempuan yang wajahnya cantik sekali, sekilas informasi dari perawat laki-laki tadi ia mengalami gangguan mental juga. Katanya setelah ketenarannya menjadi seorang artis meredup, ia mengidap Adjustment disorder.
Di samping kiriku juga perempuan cantik, dia gagal menjadi anggota legislatif karena nomer suara yang ia dapatkan hanya sepuluh suara saja. Saat aku sudah berada di sampingnya, ia menyodorkan sebuah amplop kosong dengan gambar dirinya dan nomor urut coblosan.
"Jangan lupa coblos nomer dua belas ya, saya sangat peduli dengan nasib perempuan. Kalau saya menjabat di kabinet, hak-hak perempuan akan saya perjuangkan."
Aku jawab dengan tersenyum dan mengangguk.
Setelah semua pasien berkumpul di aula, rombongan keluarga pemilik Sanatorium memasuki aula dan menduduki meja khusus yang disiapkan. Mereka berjumlah lima belas orang, semua memakai setelan jas yang didominasi hitam dan abu-abu. Yang membuatku terkejut, Raditya ada diantara mereka. Dia terlihat normal, seperti figur seorang pengusaha sukses.
Aku menunduk saat matanya terus tertuju kepadaku, rasa takut semalam masih aku rasakan, dia bisa lebih berbahaya dari apapun. Misteri suster Rara, sosok gadis kecil Tya tidak bisa ku hilangkan begitu saja meski sekarang dia terlihat normal dan berbeda.
Raditya dan lelaki paruh baya berdiri di atas panggung. Mereka bersiap memberikan sambutan dan kata-kata semangat untuk para pasien.
"Selamat pagi semuanya... " sapanya di depan microphone. Kami semua menjawab sapaannya.
"Kalian yang sudah lama tinggal di sini pasti sudah mengenal siapa saya, namaku Raditya Mahardika anak dari Arman Mahardika, lelaki yang dulunya tampan yang ada di sebelah saya," ucap Raditya sambil menggoda papanya.
"Sanatorium ini saya bangun sebagai rumah kedua saya, tempat saya beristirahat dari kejenuhan dan kepenatan menjalankan bisnis yang lelaki tua di sebelah saya ini bangun sejak masa muda. Yah, mau bagaimana lagi, tugas anak lelaki satu-satunya yang harus meneruskan kerajaan bisnis milik papanya." pak Arman tersenyum malu-malu saat Raditya terus membawa dirinya menjadi topik sambutannya.
Seorang pria berdiri dan berteriak, "kamu bukannya Tya? Aku suka Tya. Tyaaa... Main yuukk!" teriaknya.
Lelaki itu langsung tantrum saat Tya tidak merespon panggilannya. Ia lalu di seret keluar oleh beberapa pria berbaju hitam tampak seperti rombongan bodyguard.
Aku lihat Raditya gugup setelah diingatkan tentang Tya. Sorot matanya terus menatap ke arahku, ada kehancuran dari sorot matanya, rasa tidak percaya diri dan meminta pertolongan. Aku kembali menunduk tidak ingin menatap ke arah mana pun, tatapan mata lelah Raditya menggangguku.
Suara Raditya mulai goyah, sambutannya mulai tidak terarah, sepertinya dia mengalami serangan panik hingga dokter Diva naik ke atas panggung untuk meredakan kepanikan Raditya.
Sambutan berakhir, acara dilanjutkan makan bersama diiringi alunan musik dari band ibukota. Mereka menyanyikan lagu-lagu Country dan Reggae Barat. Mungkin genre musik yang disukai Raditya.
Acara itu membuatku bosan, setelah makan aku minta untuk diantarkan kembali ke ruanganku karena kepalaku mulai berdenyut, aku tidak nyaman, perutku belum siap terisi makanan lagi kini mulai terasa melilit lagi. Perawat perempuan yang kasar tadi, kembali ditugaskan untuk membawaku kembali ke kamar. Ingin sekali ku protes, tapi aku sudah kehabisan tenaga dan terasa sangat lelah.
Perjalanan kembali ke kamar kurasakan ada yang salah, jalur yang dilalui perawat itu bukan jalan ke kamarku. Aku menegurnya dan menunjukkan jalan yang seharusnya. Tiba-tiba sebuah jarum menancap di leherku, aku sempat melirik ke atas menatap perawat yang ada di belakangku, dia tersenyum sinis padaku.
"Kamu harus mati!" ucapnya.
Tubuhku seketika kaku, hawa dingin menjalar dari ujung kaki dengan cepat merambat ke tubuh bagian atas. Aku berusaha melawan rasa dingin ini tapi tubuhku semakin kaku dan tidak bertenaga. Tiba-tiba sebuah suara berteriak kencang ke arah kami.
"Hai mau dibawa kemana dia!" teriakan itu... Suara Raditya.
Perawat kasar yang mendorong kursi rodaku, berlari ke arah parkiran. Di sana sudah menunggu sebuah ambulance yang siap membawanya pergi. Apa ini sebuah rencana penculikan? Siapa yang ingin menculik ku?
Aku merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhku, pandanganku kabur, tubuhku mengejang, aku masih merasakan tubuhku diangkat dari kursi roda dan dilarikan ke sebuah bangunan yang pertama kali aku kunjungi saat di sini, gedung IGD.
"Cepat selamatkan dia!" teriak seseorang... Wajahnya samar, seperti Raditya.
Mataku tidak bisa melihat apa-apa lagi, tubuhku kaku karena rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Hanya suara teriakan Raditya dan kepanikan para nakes yang bisa kudengar.
...***...
Di rest Area.
"Prof, tolong saya... Hania mengalami kejang di Medica Prima, tolong kirim bantuan tenaga medis yang terbaik di wilayah sana... dalam waktu satu jam saya baru bisa sampai ke sana. Baik, baik Prof." ucap Wina panik di sambungan telepon.
Telepon diakhiri, Wina keluar dari mobil untuk memeriksa bannya yang sedikit goyang saat berkendara dengan kecepatan tinggi. Ia meminta petugas layanan jalan tol untuk memeriksanya. Saat akan berbalik, ia mengenali mobil yang tidak jauh darinya, mobil Sabil.
Wina kembali menghubungi Professor Darmono.
"Prof, dokter Sabil mengikuti saya. Apa yang harus saya lakukan?"
"Aku akan menyuruhnya kembali ke Jakarta. Kamu lanjutkan perjalanan ke Lembang dan selamatkan perempuan itu."
"Baik Prof, bagaimana tenaga bantuan untuk Hania, apa profesor sudah menghubungi bantuan tenaga ahli?"
"Kamu tenang saja, aku sudah mengirimkan orang kepercayaanku ke sana."
*
*
Di dalam mobil Sabil
"Aku tidak bisa kembali, aku sedang urusan penting."
"Lelaki ini mengaku papa anda, dokter. Apa yang harus kami lakukan?"
"Tanyakan siapa namanya?" suaranya seketika melemah
"Tuan Hanan."
"Baik aku akan kembali."
Sabil meremas setirnya dengan kuat. Nama itu, orang itu kembali lagi dalam hidupnya. Orang yang sudah menelantarkan mamanya juga dirinya. Ia tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah dan ibu yang mengidap penyakit gangguan mental sejak ia di lahirkan. Mamanya mengalami baby blues akut (Postpartum Depression).
Penyakit mamanya semakin parah semenjak papanya meninggalkan mereka dan menikah dengan sekretarisnya. Setengah dirinya tidak berharap papanya kembali, tapi setengah dirinya yang lain ingin menemuinya dan menanyakan kenapa mereka ditinggalkan. Apa salahnya?
Untuk apa sekarang lelaki itu kembali?
Sabil memutar kendaraannya menuju arah pulang, ia menggagalkan rencananya mengikuti Wina yang ia duga akan menemui Hania.
Beberapa menit Wina menunggu Sabil menjauh dan memastikan Sabil tidak lagi mengikuti, Wina berbelok ke arah kiri untuk masuk ke tol Cipularang.
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?