Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuan Ibrahim
Hari pertama kuliah terasa begitu menyenangkan bagi Cantika. Ia kembali duduk di ruang kelas, mendengarkan materi yang menurutnya sangat bermanfaat.
Namun, ketika jam istirahat tiba, Cantika melangkah keluar sendirian menuju kantin. Sudah biasa baginya berjalan sendiri, di kampus ini, tak ada yang benar-benar mau berteman dengannya selain Jesika.
Begitu sampai di kantin, Cantika langsung memilih duduk di pojok paling sepi. Ia ingin makan dengan tenang, jauh dari tatapan sinis orang-orang. Tak lama kemudian, ibu kantin yang melihatnya langsung bersuara dengan nada ketus.
“Hmm, paling kamu ke sini cuma mau beli teh manis doang, kan?”
Cantika hanya tersenyum tipis. Kalimat itu terdengar biasa di telinganya, tapi tetap saja menyesakkan dada. Ia menarik napas pelan lalu menjawab sopan,
“Saya pesan nasi goreng seafood, jus alpukat, sama stup roti, Bu.”
Ibu kantin mendengus.
“Halah, sok banget kamu, Cantika. Pesennya makanan mahal. Jangan-jangan mau ngutang lagi, ya? Maaf, kalau ngutang saya gak bisa kasih!”
Cantika menatap ibu itu tanpa marah, hanya geleng-geleng kepala pelan. Dunia memang terasa tidak adil bagi orang yang tak punya.
“Enggak, Bu. Saya punya uang. Sebut aja totalnya berapa, biar saya bayar sekarang,” katanya tenang.
Dengan wajah tak senang, ibu kantin mengambil kalkulator dan mengetik kasar.
“Sembilan puluh ribu.”
Cantika tersenyum kecil, lalu merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu.
“Gak usah dikembalikan, Bu. Buat Ibu aja.”
Ia kemudian duduk kembali di sudut kantin, memilih mengabaikan semua pandangan miring yang mengarah padanya.
Sementara itu, ibu kantin hanya melongo. Matanya menatap uang merah di tangannya tak percaya, biasanya Cantika hanya datang membeli teh manis lima ribuan, itu pun dengan uang receh seribuan dan gopean.
Kini, untuk pertama kalinya, ia merasa malu pada ucapannya sendiri.
Tak butuh waktu lama, menu yang Cantika pesan sudah tersaji di mejanya. Aroma nasi goreng seafood yang masih mengepul bercampur dengan manisnya jus alpukat, membuat matanya sedikit berkaca.
Dengan gerakan pelan, Cantika mulai menyuap makanannya. Setiap sendok terasa istimewa, bukan karena rasanya yang luar biasa, tapi karena ini pertama kalinya ia bisa makan enak setelah kepergian ayahnya.
Rasa haru menyelimuti dadanya. Ingatannya melayang pada masa lalu, ketika sang ayah masih ada. Dulu, setiap keinginannya, bahkan yang paling sederhana, selalu diusahakan oleh ayahnya.
Entah itu sekadar ingin makan roti kesukaannya, atau membeli nasi goreng di warung depan rumah, ayahnya tak pernah tega menolak.
Kini, ia duduk sendiri di pojok kantin, menikmati makanan yang dulu terasa biasa tapi kini terasa begitu mahal.
Di sela kunyahannya, Cantika tersenyum lirih.
“Pa... Cantika akhirnya bisa makan enak lagi,” bisiknya dalam hati.
Waktu bergulir cepat. Baru setengah jam Cantika beristirahat setelah pulang dari kampus, kini dia sudah kembali bersiap untuk bekerja.
Lelah?
Tentu saja. Tapi bukan Cantika namanya kalau mudah mengeluh. Ia sudah terbiasa menjalani hari-hari yang padat, dan dia bukan tipe perempuan yang lemah.
“Bu, Cantika pamit yah,” ucapnya sambil berdiri di depan pintu kamar ibunya.
“Iyah, Nak. Kamu hati-hati, ya,” jawab sang ibu lembut.
Cantika tersenyum kecil. “Iyah, Bu. Nanti malam Cantika pesenin makan, ya. Biar kurir yang antar.”
“Iyah, Nak,” sahut ibunya lagi.
Sebelum berangkat, Cantika mencium tangan ibunya, kebiasaan kecil yang selalu ia lakukan setiap kali akan pergi. Setelah itu, ia melangkah keluar dari rumah sederhana yang penuh kehangatan itu.
Begitu sampai di klub tempatnya bekerja, Cantika langsung berganti pakaian. Seperti biasa, Mami Viola sudah menyiapkan busana yang harus ia kenakan malam ini. Cantika tidak pernah repot memikirkan harus pakai baju apa, karena semua sudah tersedia di sana.
Setidaknya, itu salah satu keuntungan bekerja di klub, terutama bagi karyawan seperti Cantika yang belum mampu membeli baju sendiri.
“Cantika sayang, malam ini kamu ditunggu Tuan Ibrahim di ruang VIP nomor satu,” ucap Mami Viola sambil berjalan menghampiri Cantika yang baru saja keluar dari ruang kostum.
“Iya, Mami,” jawab Cantika sopan.
Mami Viola menyipitkan mata, memperhatikan penampilan Cantika dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wajahnya memang cantik, tapi matanya berhenti di bibir mungil Cantika yang terlihat pucat dengan lipstik warna nude yang dipakainya.
“Eitts, tunggu dulu. Warna bibir kamu kurang menarik, sayang.”
Tanpa menunggu izin, Mami Viola mengambil lipstik merah menyala dari meja rias dan mulai memoleskan warnanya ke bibir Cantika.
“Naah, ini baru cantik sempurna,” ujarnya puas, tersenyum lebar melihat hasilnya.
Cantika hanya tersenyum canggung. Dalam hati, ia merasa kurang nyaman dengan warna lipstik yang terlalu mencolok itu. Tapi ia tahu, di tempat seperti ini, penampilan adalah segalanya, dan kadang, ia harus menelan rasa tidak percaya dirinya sendiri demi terlihat sempurna di mata orang lain.
Dengan langkah pelan, Cantika berjalan menuju ruang VIP nomor satu. Sepatu hak tingginya beradu lembut dengan lantai marmer, membuat suara ketukan kecil yang terdengar jelas di lorong sepi itu.
Sesampainya di depan pintu, ia menarik napas panjang. Tangan kanannya sempat gemetar kecil sebelum mengetuk perlahan.
Tok... tok...
“Masuk,” terdengar suara berat dari dalam ruangan.
Cantika membuka pintu perlahan. Cahaya temaram dari lampu gantung membuat suasana di ruangan itu terlihat mewah namun menekan. Seorang pria paruh baya duduk di sofa kulit hitam, mengenakan jas mahal dengan jam tangan berkilau di pergelangan tangan kirinya.
“Selamat malam, Tuan Ibrahim,” sapa Cantika pelan sambil sedikit menunduk.
Pria itu menatapnya lama, senyumnya samar namun matanya tajam.
“Ah... ini dia Cantika yang sering diceritakan Mami Viola,” katanya tenang. “Ternyata lebih cantik dari yang kubayangkan.”
Cantika hanya tersenyum sopan, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang perlahan tumbuh di dadanya. Ia berjalan mendekat dan duduk di kursi seberang.
“Silakan duduk, Cantika,” ucap Ibrahim sambil menuangkan minuman ke gelas kristal.
“Terima kasih, Tuan,” jawab Cantika pelan.
Beberapa detik suasana hening, hanya terdengar suara lembut musik jazz dari speaker di sudut ruangan.
Ibrahim menatap Cantika tanpa berkedip. “Kamu baru ya di sini?”
“Iya, Tuan. Baru beberapa minggu,” jawab Cantika tenang.
Pria itu mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. “Kamu punya aura yang berbeda. Tenang... tapi menarik. Mungkin karena kamu bukan tipe perempuan yang banyak bicara.”
Cantika menunduk, menahan senyum canggung. Dalam hati, ia berharap malam ini cepat berlalu.
“Boleh aku tahu sedikit tentang kamu, Cantika?” tanya Tuan Ibrahim sambil menyandarkan tubuh ke sofa. Nada suaranya terdengar tenang, tapi matanya tajam, seolah ingin menelusuri siapa sebenarnya gadis di depannya.
Cantika menatapnya sekilas lalu tersenyum sopan. “Nggak ada yang menarik dari saya, Tuan. Saya cuma mahasiswa biasa yang sedang berusaha cari uang buat biaya kuliah dan kebutuhan di rumah.”
“Haha... kamu anak yang baik dan rajin,” puji Tuan Ibrahim sambil tersenyum puas.
Ia lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa dan menatap Cantika dengan sorot mata penuh makna.
“Malam ini kamu temani saya. Kalau kamu bisa membuat saya tidak jenuh...” suaranya menurun pelan, “saya kasih kamu tips sepuluh juta.”
Mata Cantika langsung membulat.
Sepuluh juta... nominal itu terlalu besar untuk diabaikan.
Bahkan dalam pikirannya, uang sebanyak itu bisa membayar biaya kuliah satu semester, juga membantu ibunya di rumah.
Namun di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang berontak, rasa takut, canggung, dan sedikit ragu. Ia menatap Tuan Ibrahim dengan pandangan bimbang, mencoba mencari arti dari ucapan itu.
“Tuan... maksudnya, saya cuma perlu menemani bicara, kan?” tanya Cantika hati-hati.
Ibrahim tersenyum samar, tidak langsung menjawab. Ia hanya meneguk minumannya pelan, lalu menatap Cantika lagi.
“Kalau kamu bisa buat saya nyaman, saya anggap itu sudah cukup,” katanya akhirnya.
Cantika menelan ludah. Tangannya tanpa sadar menggenggam ujung roknya erat-erat di bawah meja. Dalam hatinya, ia berusaha meyakinkan diri, bahwa malam ini, ia hanya akan jadi pendengar yang baik, seperti biasanya.
Namun entah mengapa, firasat di dadanya terasa berat, seolah malam itu akan mengubah sesuatu dalam hidupnya.
Cantika mencoba menenangkan diri. Ia menarik napas perlahan, lalu tersenyum sopan.
“Baik, Tuan. Saya akan berusaha membuat Tuan merasa nyaman malam ini,” ucapnya hati-hati.
Ibrahim mengangguk pelan, tampak puas dengan jawaban itu.
“Bagus. Santai saja, anggap saya teman bicara,” katanya sambil menuangkan minuman ke gelas Cantika.
Cantika hanya menatap sebentar, lalu menolak halus.
“Maaf, Tuan, saya nggak minum.”
“Hmm... baiklah,” jawab Ibrahim singkat, masih menatapnya tajam namun kini dengan nada lebih lembut.
Beberapa menit berlalu dalam percakapan ringan. Ibrahim banyak bercerita tentang bisnis, tentang kesibukannya, dan tentang betapa sepinya hidupnya meski bergelimang harta. Cantika mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberi tanggapan kecil agar suasana tetap hidup.
Dalam hati, ia mulai merasa sedikit kasihan.
“Ternyata, orang kaya pun bisa kesepian,” pikirnya pelan.
Ibrahim tersenyum, menatap Cantika lebih lama kali ini.
“Kamu tahu nggak, Cantika... sudah lama saya nggak merasa senyaman ini berbicara dengan seseorang.”
Cantika tersenyum canggung. “Saya senang kalau Tuan merasa nyaman.”
Hening sejenak. Hanya suara musik pelan yang mengisi ruangan.
Ibrahim menatapnya lagi, kali ini dengan tatapan yang sulit ditebak, antara kagum, iba, dan sesuatu yang lain.
“Kamu berbeda,” ucapnya lirih. “Kamu punya sesuatu yang jarang dimiliki perempuan di tempat ini... ketulusan.”
Cantika menunduk, pipinya memanas. Ia tak tahu harus menjawab apa. Dalam hatinya, ia hanya berdoa agar malam ini segera berakhir tanpa masalah.
Waktu berlalu tanpa terasa. Sudah hampir dua jam Cantika menemani Tuan Ibrahim berbincang. Tak ada hal berlebihan malam itu, hanya percakapan panjang yang entah kenapa terasa lebih dalam dari sekadar basa-basi.
Tuan Ibrahim akhirnya berdiri, mengambil jasnya yang terlipat di sandaran sofa. Ia melirik Cantika yang masih duduk sopan di tempatnya.
“Kamu tahu, Cantika,” katanya sambil tersenyum, “malam ini saya benar-benar merasa tenang. Mungkin karena kamu mendengarkan tanpa menghakimi.”
Cantika ikut berdiri, tersenyum kecil. “Saya cuma melakukan tugas saya, Tuan. Tapi saya senang kalau Tuan merasa nyaman.”
Ibrahim mengangguk, lalu merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah amplop putih tebal. Ia meletakkannya di atas meja.
“Saya menepati janji saya,” ucapnya tenang. “Di dalamnya ada sepuluh juta. Gunakan untuk sesuatu yang baik.”
Cantika membeku sejenak, menatap amplop itu dengan mata yang sedikit bergetar. “Tuan... ini terlalu banyak.”
“Tidak ada yang terlalu banyak untuk ketulusan,” jawab Ibrahim mantap. “Anggap saja ini bentuk terima kasih saya.”
Dengan hati-hati, Cantika menerima amplop itu. Tangannya terasa berat, bukan karena isinya, tapi karena rasa haru yang menumpuk di dadanya.
“Terima kasih, Tuan. Saya janji, uang ini akan saya gunakan sebaik mungkin.”
Ibrahim tersenyum hangat. “Saya percaya itu. Kamu gadis yang berbeda, Cantika.”
Cantika hanya tersenyum, menunduk sopan.
Saat ia pamit keluar dari ruangan, langkahnya terasa ringan tapi juga penuh pikiran. Malam itu bukan sekadar tentang uang, melainkan tentang harga diri, keberanian, dan sedikit harapan bahwa mungkin masih ada orang yang melihatnya bukan dari penampilannya, tapi dari ketulusan hatinya.