 
                            Masih saling sayang, masih saling cinta, namun terpaksa harus berpisah karena ego dan desakan dari orang tua. Ternyata, kata cinta yang sering terucap menjadi sia-sia, tak mampu menahan badai perceraian yang menghantam keras.
Apalagi kehadiran Elana, buah hati mereka seolah menjadi pengikat hati yang kuat, membuat mereka tidak bisa saling melepaskan.
Dan di tengah badai itu, Elvano harus menghadapi perjodohan yang diatur oleh orang tuanya, ancaman bagi cinta mereka yang masih membara.
Akankah cinta Lavanya dan Elvano bersatu kembali? Ataukah ego dan desakan orang tua akan memisahkan mereka dan merelakan perasaan cinta mereka terkubur selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jesslyn Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menantu kesayangan mama
Suasana tampak canggung. Tidak ada obrolan di antara mereka berempat, mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Hingga suara Ryuji memecah keheningan.
Ryuji melirik jam tangan di pergelangan tangannya. "Vanya, saya pamit ke pulang,"
"Loh gak ke kantor pak?" Tanya Vanya penasaran, karena Ryuji orang yang gila kerja sama seperti Vano.
"Ah iya maksud saya, saya pulang ke kantor." Ryuji meralat.
Vanya pun mengantar Ryuji ke depan pintu.
"Orang saya sudah sampai di parkiran, nanti saya minta dia untuk antar kunci sampai ke sini."
"Terimakasih banyak pak. Maaf merepotkan." Vanya menganggukkan badan.
"Tidak apa-apa Vanya, oh iya ambil lah cuti beberapa hari lagi sampai Elana benar-benar sembuh," tambahnya lagi.
"Terimakasih banyak pak,"
Dan Ryuji pun benar-benar menghilang dari padangan mata Vanya.
"Baik banget ya bos kamu? Sampai begitu perhatian sama kamu dan El. Pantas saja kamu betah kerja sama dia. Bahkan jadi sekertaris di kantorku pun kamu menolak." sindir Vano saat Vanya kembali.
"Bapak Elvano yang terhormat. Bukan saya yang menolak, tapi Bapak Dharmawan selaku presiden direktur tidak menerima lamaran saya di kantor bapak. Bahkan baru masuk lobby saja saya sudah di usir scurity," terang Vanya, sekian lama memendam rahasia akhirnya ia bongkar sendiri karena sudah merasa jengah kala Vano menuduh nya yang tidak-tidak.
Vano sangat terkejut saat mendengar pernyataan Vanya. "Apa kamu berkata jujur?"
"Apa kamu melihat kebohongan dalam diriku?" Vanya menyakinkan.
Vano menatap mata Vanya, dan benar saja apa yang di katakan Vanya dirinya berkata jujur. Vano paham betul karakter Vanya. "Kenapa kamu tidak pernah bilang padaku?"
"Memangnya kalau aku bilang, kamu akan belain aku? Yang ada hanya di minta sabar dan mengalah," ucap Vanya melemah.
"Vanya," panggil Vano lirih.
"Gak usah mengelak, itu fakta!" Kesal Vanya dengan ketus. "Makanya kamu harus bersyukur, istrimu yang sekarang sangat di inginkan oleh kedua orang tuamu," Vanya menyindir sambil melirik Bella.
Bella hanya terdiam mendengar perbedaan sengit antar mantan tersebut.
"Sayang... Sebaiknya kita pulang dulu. Biarkan Vanya istirahat." Bella mencoba melerai perdebatan.
Vanya tersenyum sinis saat mendengar Bella memanggil Vano dengan sebutan sayang.
Memang sudah seharusnya Bella tidak ikut campur permasalahan yang mereka hadapi. Akhirnya Vano menurut perkataan Bella dan memutuskan untuk pulang.
"Urusan kita belum selesai," Bisik Vano saat hendak meninggalkan unit apartemen.
"Vano, terlalu banyak rahasia yang aku pendam dan sembunyikan. Aku kira, aku akan kuat menghadapinya sendiri. Namun jika jujur padamu, aku hanya takut kamu akan membenci kedua orangtuamu. Untuk itu aku tak pernah sekalipun membahas perlakuan orangtuamu. Karena aku tidak pernah bisa berbohong di hadapanmu." Vanya menatap nanar punggung Vano yang mulai menghilang dibalik pintu.
-
-
Sepanjang perjalanan Vano hanya diam, dia hanya fokus mengemudi dan menatap ke depan jalan.
Bella mencoba mencairkan suasana yang hening itu. "Kita mau tinggal di mana setelah ini sayang?"
"Terserah kamu saja," Jawab Vano datar.
"Mama Erika minta kita tinggal di rumah utama dulu untuk beberapa waktu," ucapnya ragu.
"Ya silahkan jika kamu mau."
"Oke kalau begitu mungkin beberapa hari ke depan kita tinggal di rumah utama dulu, setelah itu kita diskusikan lagi kita akan tinggal di mana," Bella mencari jalan tengah. Rasanya percuma berdiskusi dengan Vano karena laki-laki itu tidak ingin mengambil keputusan apapun.
"Ya atur saja." Vano bahkan terlihat sudah muak.
Vano dan Bella pun kembali ke hotel untuk mengambil beberapa barang-barang mereka yang masih berada di sana.
Setelah selesai mengambil barang-barang di hotel, Vano pun melanjutkan perjalanan. Namun Bella tak mengenali jalan ini, yang pasti bukan jalan ke rumah mama Erika.
"Ini rumah kak Vano?" Tanya Bella penasaran saat Vano memarkirkan mobil di halaman sebuah rumah yang sangat sederhana, namun terasa nyaman, sejuk dan asri karena di kelilingi oleh tanaman hijau dan bunga-bunga yang bermekaran.
"Ini rumah Elana. Aku hanya akan mengambil beberapa barang yang tertinggal," Vano membuka kunci dan masuk kedalam rumah.
Bella pun hanya mengikuti Vano dari belakang sambil memperhatikan setiap detail sudut rumah. Vano masuk ke sebuah kamar untuk mengambil sesuatu, sedangkan Bella hanya menunggu di ruang tamu. Sepertinya ia tak sanggup jika harus ikut masuk ke kamar itu.
Vano memang tak merubah sekecil apapun detail dari rumah itu. Bahkan barang - barang Vanya dan Elana pun masih tersimpan rapih. semua masih sama seperti saat dulu dirinya, Vanya dan Elana hidup bahagia di sana.
"Rumah ini pasti punya banyak kenangan buat Kak Vano," gumam Bella sambil memandangi foto-foto keluarga kecil Vano yang tersusun rapi di dinding rumah.
"Ayo Bella, aku sudah selesai," ujar Vano keluar dari kamar dan segera keluar dari rumah itu.
"Iya." Bella segera menyusul Vano keluar rumah.
Mereka pun akhirnya meninggalkan rumah itu dan berangkat menuju kediaman pak Dharmawan.
Kedatangan Vano dan Bella di sambut hangat oleh mama Erika, Pak Dharma dan seluruh karyawan yang bekerja di sana. Sedangkan Kirana, perempuan itu sibuk dengan persiapan pembangunan butiknya. Sikap mama Erika dan pak Dharma kali ini berbanding terbalik saat dulu Vanya pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu. Bahkan saat pernikahan Vano dan Vanya pun, mama Erika dan Pak Dharma tidak hadir. Hanya ada Kirana dan Askara yang hadir sebagai perwakilan keluarga.
Mama Erika memeluk Bella dengan erat. Terlihat mama Erika begitu menyayangi Bella. "Ayo masuk sayang," Mama Erika menggandeng Bella masuk ke dalam rumah.
"Mama harap kalian tidak menunda-nunda untuk mempunyai momongan. Mama mau segera gendong cucu." pinta mama Erika penuh harap.
"Mama sudah punya cucu, tapi gak pernah mama gendong sekalipun." Vano tersinggung, ucapan Mama Erika sungguh melukai hatinya. Elana bahkan belum pernah di gendong oleh mama Erika sejak lahir.
"Mama mau cucu dari kamu dan Bella," ucap mama Erika seolah tak menganggap Elana sebagai cucunya.
Tanpa berkata-kata Vano langsung naik ke lantai atas tanpa menunggu Bella.
"Vano!" Panggil mama Erika kesal.
"Sudah, tidak apa-apa ma. Nanti biar Bella yang bicara sama kak Vano ya," Bella mengelus lengan Mama Erika.
"Terima kasih ya Sayang," ucap mama Erika pada menantu kesayangannya
"Bi Jum, mang Anto bawakan barangnya ke atas," pinta Pak Dharma pada karyawannya.
"Sayang, tak usah di ambil hati ucapan mama," Bella mengelus bahu Vano.
Vano hanya diam, kini ia menyadari ternyata masalahnya semakin rumit. Dia memang sudah mendapatkan apa yang di inginkan tapi mengapa hatinya tidak bahagia? Hatinya justru terasa hampa, separuh jiwanya terasa hilang. Ternyata selama ini bukanlah harta yang membuatnya bahagia. Melainkan keluarga kecilnya.
Harus Vano akui sedari kecil hidupnya selalu penuh tekanan dari orangtuanya. Selalu di tuntut menjadi apa yang orangtuanya inginkan. Dan untuk pertama kalinya dirinya melawan kehendak orangtua adalah saat dirinya menikahi Vanya walaupun tanpa restu. Hidup dengan Vanya memberikan warna baru dalam hidupnya, ia bisa menjadi diri sendiri, bisa melakukan apapun yang dia mau. Dan bodohnya kini ia melepaskan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya.
"Sayang, kok diam saja?"
"Bella tolong! Aku hanya butuh waktu untuk sendiri,"
***
Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen ya...
lari vanya.. lari.... larilah yg jauh dr vano n org2 di sekitaran vano pd gila semua mereka