Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, semua memiliki cerita dan ujiannya masing-masing. Semuanya sedang berjuang, bertahan atau jutsru harus melepaskan.
Seperti perjalanan rumah tangga Melati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Ibu dan Viola sudah menempati rumah Mas Kalingga yang ditempati Melati dan anak-anaknya juga. Di antara beberapa kamar yang ada, memang kamar utama, kamar Melati dan Mas Kalingga serta kamar kedua anaknya yang paling besar dan memiliki fasilitas yang cukup baik.
Karena memang Mas Kalingga mempersembahkan rumah ternyaman dan terbaiknya untuk Melati dan anak-anaknya.
Hati Viola tergerak ingin menempati kamar itu. Dengan santainya dia merapikan semua barang-barang Melati ke dalam kardus lalu menempatkan barang-barang miliknya. Tentu saja Viola mendapatkan dukungan penuh dari Ibu mertua.
Setelah rapi dia pun menemui Ibu yang menghuni kamar Sakura dan Lili.
"Ibu sudah selesai belum rapi-rapinya?."
"Baru selesai."
"Kalingga belum tahu 'kan kita pindah ke sini?."
"Belum, Bu, ini akan menjadi kejutan yang menyenangkan untuknya."
"Kamu memang istri pandai."
"Tapi ngomong-ngomong Melati dan anak-anaknya belum pulang? Padahal ini sudah sore. Kalingga sebentar lagi pulang."
"Belum, aku juga tidak peduli mereka mau atau tidak, yang penting sekarang aku mau pesan makanan untuk suamiku. Mas Kalingga pasti sangat lelah setelah seharian ini bekerja."
"Iya."
Viola keluar kamar Ibu, dia segera memesan makanan kesukaan suaminya.
Tiga puluh menit kemudian pesanan makanan Viola sudah sampai di rumah, Viola menyajikannya di atas meja makan. Air putih dan teh hangat madu sudah ada juga di sana. Kemudian Mas Kalingga pulang dan langsung ke dapur karena biasanya Melati berada di sana.
Langkah cepat Mas Kalingga terhenti ketika Viola yang dilihatnya di sana.
"Sedang apa kamu di dapur Melati?," tanyanya dengan nada tinggi dari tempatnya.
"Mas! Jangan bicara dengan nada tinggi padaku!," teriak Viola sangat marah.
Suara teriakannya memanggil Ibu untuk segera turun dan melihat apa yang terjadi.
"Aku ini istrimu juga! Berhak penuh atas rumah ini dan isinya juga!. Lupa kamu, Mas?." Air mata Viola tumpah, emosinya sangat tidak stabil faktor kehamilannya juga.
"Viola benar, Kalingga, lagi pula Melati yang menyuruhnya tinggal di sini. Telepon saja Melati kalau kamu tidak percaya," Ibu mengusap punggung Viola untuk menenangkannya.
Kemudian Ibu mengajak Viola duduk setelah Viola tidak menangis lagi, memberinya minuman.
Mas Kalingga meninggalkan Ibu dan Viola, dia berjalan menuju kamarnya. Suasana hati Mas Kalingga bukannya membaik setelah berada di kamarnya justru semakin tersulut emosi dengan menghilangnya barang-barang Melati.
Mas Kalingga mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dia baru membaca pesan Melati.
"Untuk beberapa hari aku dan anak-anak pulang ke rumah Ayah. Tolong biarkan kami di sana dan kami janji akan kembali lagi ke rumah . Jangan menyusul kami, kami akan baik-baik saja."
Sambungan telepon terhubung tapi Melati tidak ada meresponnya, menghubungi Sakura dan Lili dua-duanya tidak aktif.
"Kalau begini bagaimana aku tidak menyusul kalian."
Mas Kalingga segera membersihkan tubuhnya, tidak mau meributkan barang-barang Viola yang berada di kamarnya. Sekarang Mas Kalingga harus memutar otak supaya bisa pergi. Setelah rapi, Mas Kalingga ke bawah. Istri dan Ibunya masih ada di sana.
"Mau ke mana sudah rapi?," tanya Viola sambil bangkit lalu memegangi tangan Mas Kalingga.
"Ada pekerjaan," sambil menujukkan email pada Viola.
Viola cemberut, wajahnya terlihat sangat kesal.
"Aku ikut," bujuknya.
"Tidak apa-apa, tapi kamu harus pisah meja karena klienku banyak yang merokok."
"Sudah kamu di sini saja menemani Ibu, Viola. Biarkan suamimu bekerja, asal tidak bersama Melati dan anak-anaknya saja."
Kemudian Viola mengangguk, mau melepaskan tangan Mas Kalingga. Tapi sebelum pria itu pergi, Viola mencium bibir Mas Kalingga dengan penuh gairah. Berharap Mas Kalingga tidak jadi pergi dan melanjutkan ciuman itu di atas tempat tidur. Tapi Mas Kalingga tetap pergi darinya.
*
Ayah sangat senang menyambut kedatangan putri dan kedua cucunya. Ayah langsung memeluk Melati, menguatkan atas lemahnya kaki Melati untuk bertahan dengan pijakannya yang sudah retak.
Ayah mengarahkan Sakura dan Lili ke kamar karena kedua cucunya sangat mengantuk.
"Nanti kita main di sawah, ya, Mbah Kakung?," di tengah rasa kantuknya Lili masih bisa menyampaikan keinginannya.
"Iya, Lili. Sekarang bobo dulu."
Lili dan Sakura langsung terlelap di atas tampat tidur yang sama. Ayah pun keluar lagi menemui Melati yang duduk di teras depan sambil memandangi hamparan padi yang siap di panen.
Tak ada kata tanya mengenai apapun yang menyangkut rumah tangga putrinya. Sengaja Ayah tidak melakukan itu, Ayah mau membuat nyaman putrinya ketika pulang ke rumah.
"Di sini udaranya lagi sejuk, kadang Ayah suka kedinginan."
"Ayah jangan lupa pakai pakaian yang tebal. Tidur di kasur pakai selimut. Jangan tidur di bale terus. Tubuh Ayah sudah tidak muda lagi," Melati menampakkan senyumnya. Seperti bunga yang sedang mekar, hati Ayah menghangat, putrinya masih bisa dan tidak lupa untuk tersenyum.
"Iya, Ayah sudah tidak muda lagi. Kamu yang masih muda harus jaga kesehatan. Anak-anakmu juga, berikan yang terbaik yang kamu bisa."
Kembali Melati tersenyum, tapi kali ini tidak selepas tadi.
"Itu pasti dan sedang aku usahakan, Yah."
"Ayah bersyukur, kamu dan anak-anakmu tetap sehat."
Hening untuk sejenak, walau obrolan mereka tidak memiliki judul, namun baik Ayah dan Melati sama-sama tahu arah pembicaraan mereka ke mana.
"Lebih baik kamu istirahat, nanti kita lanjut ngobrol lagi. Ayah harus ke sawah, ada yang mau Ayah lihat."
Melati mengangguk sambil menatap Ayahnya yang bangkit lalu berjalan ke arah sawah. Sekilas memorinya kembali pada Langit, mereka banyak menghabiskan waktu bersama di sana.
"Mama! Adek demam lagi," teriak Lili dari dalam kamar.
Melati berlari menuju kamar, mengambil obat penurun demam yang selalu dibawanya. Dia pun mengecek suhu tubuh Sakura, dan demamnya mencapai 40 derajat celcius.
"Adek, bangun," Melati tetap tenang sambil mengganti pakaian Sakura. Lalu merebus air untuk mengompres dan membawa teko untuk persediaan minum Sakura supaya tidak dehidrasi.
"Papa..." Sakura mengigau, memanggil Papanya. Melati tertunduk lemas, Sakura sangat menyayangi Papanya.
"Adek, bangun, di sini ada Kakak sama Mama." Lili menangis tak kuasa menyaksikan Mama dan Adiknya yang sama-sama terluka karena Papanya.
Melati harus kuat, menepati janjinya melakukan yang terbaik yang bisa dilakukannya untuk anak-anaknya.
Melati mengompres beberapa bagian tubuh Sakura, berharap yang di lakukannya dapat menurunkan demam Sakura.
Demam Sakura mulai turun setelah Melati terus mengompresnya, dia pun mengganti airnya yang sudah dingin.
"Di luar ada yang mencari Mama," Lili berdiri di depan Mamanya setelah membuka pintu karena ada suara ketukan. Mengambil alih pekerjaan Mamanya untuk mengompres Sakura.
Melati ke depan melihat siapa yang datang.
"Langit? Kamu di sini? Untuk apa?."
Ini bukan kebetulan semata, pasti pria itu mengetahui sesuatu tentang keberadaannya di sini.
Bersambung