NovelToon NovelToon
Isekai To Zombie Game?!

Isekai To Zombie Game?!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Zombie / Fantasi Isekai / Game
Popularitas:520
Nilai: 5
Nama Author: Jaehan

Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Adam dan Hawa

Part 17

Selama dua hari penuh, Mirai dan Nero bersembunyi di rumah tua itu, tempat yang retak, sunyi, namun untuk sementara memberi mereka napas. Suara raungan zombie dari kejauhan masih sesekali terdengar, namun tak ada yang cukup dekat untuk mengancam. Mirai memanfaatkan waktu itu untuk merawat luka Nero dengan telaten, mengganti perban, membersihkan darah yang mengering, dan memastikan tidak ada infeksi. Pemuda itu demam tinggi, hujan dan luka membuat tubuhnya tumbang. Wajar saja, ini pertama kalinya ia terluka.

Meski tubuh Mirai lelah dan pikirannya nyaris runtuh, ia tak pernah absen menyentuh dahi Nero, mengecek suhu tubuhnya, dan membisikkan kata-kata tenang saat pria itu gelisah dalam tidur. Menceritakan tentang langit senja kemerahan yang sering ia lihat ketika pulang dari kantor di stasiun kereta, atau kerlip lampu gedung lain saat ia lembur ketika memandangnya dari jendela kantor yang sangat tinggi.

Nero sendiri mulai bisa duduk dan kuat berjalan pada hari kedua, meski masih harus sering bersandar pada dinding. Napasnya masih terdengar berat dan lemah, sesekali ia bersin. Mereka berbagi makanan instan seadanya, tidur bergantian, dan kadang berbincang pelan, mencari kehangatan dalam sunyi yang menggantung di antara retakan kayu rumah itu.

Pagi ketiga, langit tampak muram seolah enggan memberi harapan, namun Mirai dan Nero sudah bersiap sejak fajar. Dengan langkah pelan namun mantap, mereka meninggalkan rumah tua itu, menyusuri jalan sempit yang penuh reruntuhan dan bayang-bayang kematian. Alih-alih mengambil rute utama yang lebih cepat namun penuh risiko, mereka memilih jalur memutar melewati perumahan padat yang sebagian besar telah terbakar. Meski jalur itu membuat perjalanan lebih panjang, Nero meyakinkan Mirai bahwa di sanalah peluang mereka lebih besar untuk bertahan. Mereka berjalan berhati-hati, menahan napas setiap kali mendengar suara mencurigakan, dan berhenti di setiap tikungan untuk memastikan keadaan aman. Mirai memindai area dengan insting waspada seorang dokter lapangan, sementara Nero, meski belum sepenuhnya pulih-tetap berdiri paling depan, menghunus senjatanya dan melindungi Mirai seakan nyawanya tak ada artinya dibanding gadis itu.

Hari berikutnya, di tengah reruntuhan sebuah pusat perbelanjaan yang porak-poranda, langkah mereka terhenti saat suara gesekan besi dan napas berat terdengar dari balik rak-rak roboh. Dalam hitungan detik, tiga zombie melompat keluar, gerakannya cepat dan liar, seolah kelaparan tak terhingga mendorong mereka. Mirai langsung mundur, sementara Nero maju tanpa ragu, menebas satu zombie pertama dengan ayunan cepat. Yang kedua menyerangnya dari samping, sempat menjatuhkannya ke lantai, namun Mirai melemparkan batu besar ke kepala makhluk itu, cukup untuk mengalihkan perhatian hingga Nero menghabisinya. Zombie ketiga menyeruduk ke arah Mirai, tapi Nero berdiri di depannya tepat waktu, menancapkan pisau ke tengkorak makhluk itu dengan satu dorongan penuh tenaga. Napas mereka terengah-engah, tubuh penuh debu dan darah, tapi mereka hidup, dan itu sudah cukup untuk hari ini.

Tubuh mereka mulai terasa berat, bukan hanya karena luka atau kelelahan otot, tapi karena beban mental yang terus menumpuk hari demi hari. Setiap langkah terasa seperti menyeret beban tak kasatmata, ketakutan, trauma, dan keputusasaan yang diam-diam menggerogoti semangat. Mata Mirai mulai bengkak karena kurang tidur, sementara Nero tak lagi bisa menyembunyikan rasa sakit di setiap tarikan napasnya. Mereka duduk di bawah pohon mati di pinggir jalan yang retak, membiarkan angin kering meniup debu ke wajah mereka, dalam diam yang menggantung seperti kabut kelabu.

"Sudah berapa hari ...," gumam Mirai lirih, menatap kosong ke jalan di depan mereka, "dan kita belum ketemu satu pun manusia."

Nero mengangguk pelan, menyeka keringat dari pelipisnya. "Iya, ini cukup aneh.”

“Apa hanya kita yang dipanggil ke dunia ini?"

Pertanyaan itu tak mampu Nero jawab.

Setelah menyiapkan tempat berkemah seadanya di sudut atap yang cukup aman, Mirai dan Nero duduk berdampingan di tepi gedung, membiarkan kaki mereka menggantung di udara. Senja merekah indah di ufuk barat, menghadirkan warna jingga keemasan yang membalut reruntuhan kota dalam cahaya hangat nan melankolis. Untuk sesaat, dunia terasa diam, tanpa raungan, tanpa lari, tanpa darah. Hanya desir angin yang menyapu rambut mereka dan siluet bayangan panjang yang terbentuk di antara bangunan hancur.

Mirai menatap cakrawala dengan tatapan kosong namun damai, sementara Nero sesekali meliriknya, seolah ingin memastikan perempuan itu masih bisa menikmati keindahan kecil di tengah kehancuran. Dalam keheningan, tanpa perlu kata, mereka saling memahami bahwa momen sederhana seperti ini adalah kemewahan yang mungkin tak akan terulang.

Saat termenung, Mirai memecah keheningan. "Kita sendirian," ucapnya lirih.

"Mungkin."

"Kalau di dunia ini hanya ada kita berdua gimana?"

"Berarti kita Adam dan Hawa di dunia ini."

Mirai menoleh dan menemukan Nero yang tersenyum lembut padanya. Semburat merah mewarnai pipinya yang putih, namun ia tidak berpaling malu malah justru menunjukkannya. Menguji apakah pemuda itu bersungguh-sungguh mengatakannya. Tanpa disangka jemari Nero terselip pada tiap sela jari miliknya dan menggenggamnya erat. Senyum lebar Mirai merekah memperlihatkan barisan giginya yang rapi. “Yah, itu gak buruk.”

Angin menerpa rambut panjangnya yang tergerai, pipinya yang merona, dan mata besarnya yang menyipit telah sepenuhnya menaklukkan hati Nero. Bahkan langit senja dengan berlapis warna yang menawan pun tak sanggup membuatnya berpaling dari Mirai. “Iya, gak buruk selama kita terus bersama.” Jemari mereka terkait lebih erat, seolah semua kata dalam berbagai bahasa telah tersalurkan dari sana. Hati keduanya pun menghangat menyadari perasaan masing-masing yang tak mungkin terbantahkan lagi.

Langit mulai gelap, senja perlahan berganti malam. Suara angin yang sebelumnya tenang mulai terdengar seperti bisikan samar dari dunia yang terlupakan. Mirai menarik napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Nero. Bahu itu masih kaku, tapi hangat. Ia bisa merasakan  jantung Nero berdetak pelan namun pasti, dan entah kenapa, suara itu membuatnya merasa sedikit lebih hidup.

"Aku benci tempat ini," bisiknya tiba-tiba. "Tapi ... kalo aku nggak masuk ke dunia ini, mungkin aku nggak akan pernah ketemu kamu."

Nero terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, "Mungkin dunia ini sengaja diciptakan untuk bikin kita bertemu."

Mirai mengangkat wajahnya, menatap pemuda itu dari jarak dekat. Tatapan mereka bertemu dalam diam yang lebih nyaring dari pada kata-kata. Untuk sesaat, dunia hanya milik mereka, tidak ada zombie, tidak ada manusia lain, tidak pula nasib dunia beradadi pundak mereka. Hanya dua manusia yang ingin bertahan dan saling memahami.

"Kalau kamu bisa memilih," ujar Mirai pelan, "kamu lebih ingin bertahan atau keluar dari dunia ini?"

Nero menatap langit yang perlahan ditelan gelap, lalu memejamkan mata sebentar. "Aku ingin kamu hidup," ujarnya akhirnya. "Di sini atau di sana, itu nggak penting. Yang penting kamu hidup." Yah itulah tujuannya sekarang. Tidak peduli lagi dengan catatan kaki yang ditinggalkan oleh orang-orang yang tidak dikenalnya. Memangnya siapa mereka sampai harus menentukan arah tujuannya sendiri.

Dilain pihak kata-kata itu menghantam dada Mirai lebih keras daripada yang diharapkan. Digenggamnya tangan Nero lebih erat, menahan gemetar yang datang entah dari angin malam atau dari gejolak di hatinya.

Tak lama kemudian, mereka membaringkan tubuh di balik penutup terpal seadanya, memunggungi dunia yang begitu keras. Mirai memeluk ranselnya erat-erat seperti memeluk kenangan tentang rumah, sementara Nero tetap berjaga, mata setengah terpejam namun telinga tetap waspada. Di antara dinginnya malam dan tatapan bintang yang redup, mereka berusaha tidur walau hanya untuk beberapa jam agar esok bisa kembali bertahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!