Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.
Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ajakan
Celah-Celah Laporan
Tumpukan lembaran laporan terbentang rapi di atas meja kerja besar yang dipenuhi cahaya lampu minyak. Aroma tinta dan kertas memenuhi ruangan, bercampur dengan kesunyian yang hanya dipecah oleh suara gesekan pena dan helaan napas Elena.
Elena duduk tegak di kursinya, jemarinya lincah membalik halaman demi halaman. Matanya yang tajam menelusuri angka-angka dan catatan pengeluaran kediaman Carwyn dengan teliti, seolah setiap baris kalimat adalah teka-teki yang harus ia pecahkan.
Keningnya berkerut tipis ketika menemukan kejanggalan kecil pada salah satu laporan. Ia mengetuk meja dengan ujung penanya, matanya tak lepas dari barisan angka itu.
Tok… tok…
Suara ketukan terdengar dari balik pintu, diikuti seorang pelayan yang masuk dengan langkah sopan. Ia membungkuk hormat sebelum berbicara.
“Saya datang untuk menyampaikan pesan dari Tuan Duke. Beliau meminta Duchess berkenan meluangkan waktu untuk tea time,” ucapnya penuh hormat.
Fokus Elena teralih dari lembaran-lembaran laporan di meja. Ia meletakkannya perlahan, lalu menatap pelayan itu.
“Kapan?” tanyanya singkat.
“Sore ini, Duchess,” jawab pelayan itu cepat.
Elena mengangguk tipis. “Baiklah. Sampaikan bahwa aku akan datang.”
Pelayan itu kembali membungkuk sebelum bergegas keluar, meninggalkan Elena yang kini termenung sejenak di kursinya.
...
Taman belakang Mansion Carwyn sore itu dipenuhi aroma bunga mawar yang merekah, dedaunan bergoyang lembut diterpa angin. Meja bundar dengan taplak putih telah dipersiapkan, porselen teh berkilau, dan kudapan kecil tersusun rapi di atas piring perak.
Elena sudah duduk di sana, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ritme tak sabar. Tatapannya sesekali melayang ke arah jalan setapak berlapis batu, namun sosok yang ditunggu belum juga muncul.
Wajahnya menegang, dagunya terangkat anggun namun matanya menyimpan kilatan kesal. Elena tidak pernah menyukai menunggu apalagi jika yang membuatnya menunggu adalah Mervyn.
Ketika langkah berat akhirnya terdengar mendekat, Elena menghela napas panjang, menahan amarah yang hendak meletup.
Mervyn muncul dengan langkah mantap, ekspresi wajahnya tetap tenang seolah waktu bukanlah sesuatu yang penting baginya. Ia berhenti di sisi meja, lalu membungkuk sedikit.
“Maaf membuatmu menunggu,” ucapnya singkat, suaranya tenang seperti biasa.
Elena menoleh, menatapnya tajam. “Kau menyebut ini ‘tea time’, tapi entah siapa yang sebenarnya menikmatinya. Karena sejauh ini, hanya aku yang duduk di sini sendirian.” Nada suaranya dingin, namun elegan.
Mervyn menatapnya beberapa detik, lalu perlahan duduk di kursi seberangnya. “Kesalahanku,” katanya pelan, suaranya mengandung ketenangan yang dibuat-buat. “Kupikir, mungkin teh ini akan terasa lebih manis jika diminum bersama.”
Elena mendengus halus, memalingkan wajahnya. “Kata-kata manis tidak membuat waktu yang terbuang kembali.”
Pelayan menuangkan teh ke dalam cangkir mereka, aroma melati menguar di udara. Hening sesaat. Mervyn meraih cangkirnya, menatap Elena sebelum berbicara lagi.
“Aku tidak memanggilmu hanya untuk menikmati teh,” katanya tenang, tapi kali ini matanya lebih serius. “Aku ingin kau menemaniku dalam kunjungan ke wilayah kekuasaan Carwyn. Ada beberapa hal yang perlu kau lihat sendiri.”
Elena menoleh, keningnya berkerut tipis. “Kunjungan?”
Mervyn mengangguk. “Ya. Aku juga ingin memperkenalkanmu pada beberapa bisnis keluarga Carwyn.
Elena menatapnya beberapa detik, lalu meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi kecil tak di atas piringnya.
“Aku rasa itu bukan urusanku,” ucapnya dingin. “Kediaman ini sudah berjalan tanpa aku sebelumnya, dan bisnis Carwyn tetap berdiri kokoh. Mengapa tiba-tiba aku harus ikut campur?”
Nada tajam itu membuat udara di antara mereka sejenak membeku. Elena menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, dagunya terangkat, jelas sekali menunjukkan ketidaksukaan.
Mervyn menatapnya lama. Alisnya sempat bergerak tipis, nyaris tidak terlihat, sebelum ia meletakkan cangkirnya perlahan kembali ke meja.
“Karena sekarang kau adalah Duchess Carwyn,” katanya pelan, nada suaranya datar tapi mengandung ketegasan.
Elena terkekeh kecil, namun tawanya dingin. “Gelar itu tidak membuatku wajib menuruti semua keinginanmu, Tuan Duke. Terlebih lagi jika kau bahkan tidak bisa menghargai waktuku.”
Kata-kata itu menohok, membuat keheningan kembali turun. Mervyn menahan napasnya sejenak, sorot matanya sempat mengeras, namun kemudian melembut sedikit. Ia bersandar, menautkan jemari di atas meja.
“Kau benar. Aku seharusnya datang tepat waktu,” ucapnya, kali ini suaranya lebih rendah, nyaris menyerupai pengakuan.
Elena terdiam. Matanya menunduk pada permukaan teh yang sudah mulai kehilangan asap hangatnya. Ia tidak menanggapi, hanya mengangkat cangkir perlahan lalu menyesap sedikit.
Mervyn memperhatikan gerakannya, tatapannya dalam. Bibirnya sempat terkatup rapat, namun ia menghela napas perlahan, lalu bersuara lagi.
“Elena…” suaranya kini lebih lembut. “Aku tahu kau tidak suka menunggu. Dan aku memang salah karena membuatmu melakukannya.”
Elena tetap diam, tidak mengangkat kepala.
“Aku ingin pergi bersamamu.” lanjut Mervyn, nada bicaranya lebih pelan dari biasanya, senyum samar muncul di sudut bibirnya, tipis namun tulus.
Jari-jarinya bergerak perlahan, mengambil teko dan menuangkan teh baru ke dalam cangkir Elena yang hampir kosong. Gerakannya tenang, bahkan hati-hati.
Elena menatap cangkir yang kini kembali penuh, uap hangatnya naik tipis. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. Ia hanya meletakkan cangkir ke meja perlahan, lalu menautkan jemari di pangkuannya.
Elena tidak segera menanggapi. Hanya tatapan matanya yang berpindah dari cangkir teh ke wajah Mervyn, seolah menimbang sesuatu yang tak ia ucapkan.
Mervyn menahan tatapan itu, tidak tergesa, hanya menunggu dengan sabar.
Keheningan berlangsung cukup lama sebelum akhirnya Elena menarik napas dalam-dalam. Bibirnya melengkung samar, bukan senyum sepenuhnya, namun juga bukan penolakan.
“Baiklah,” ucapnya akhirnya, pelan namun jelas. “Aku akan ikut.”
Ada kilatan lega di mata Mervyn meski ekspresinya tetap terkendali. Ia mengangguk sekali, seolah keputusan itu memang sudah seharusnya terjadi.
Tea time pun berlanjut dalam percakapan yang lebih tenang, meski di antara mereka masih ada sisa ketegangan yang belum sepenuhnya mencair.
Malam hari.
Udara dingin berembus lembut di halaman belakang Mansion Carwyn. Cahaya bulan menerangi taman, membuat bayangan pepohonan jatuh panjang di atas tanah berumput. Elena berdiri di balkon kamarnya, selendang tipis menutupi bahunya, menikmati sejenak udara segar sebelum beristirahat.
Ia memejamkan mata, membiarkan semilir angin menyentuh wajahnya. Hening. Hanya suara jangkrik dan desir dedaunan.
Namun tiba-tiba, perasaan aneh merayap di tengkuknya.
Tatapan.
Seperti ada mata yang mengawasi, menelusuri setiap geraknya dari kejauhan.
Elena membuka mata dan segera menoleh cepat ke arah taman. Pandangannya menyapu gelapnya pepohonan, kursi-kursi taman yang kosong, bahkan jalan setapak yang temaram diterangi lampu minyak.
Tidak ada siapa pun.
Ia menoleh sekali lagi ke arah taman yang sunyi, tapi hanya kesunyian yang menjawab. Dengan langkah tenang, Elena berbalik dan masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu balkon di belakangnya.
Cahaya bulan tetap menggantung di langit, menyinari halaman Mansion Carwyn.
Dan di antara bayangan pepohonan yang bergoyang… sepasang mata tersembunyi menatap ke arah balkon yang baru saja ditinggalkan Elena.