NovelToon NovelToon
Whispers Of A Broken Heart

Whispers Of A Broken Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:581
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)

Rianti bekerja di perusahaan milik Bramantya, mantan suami adiknya. Menjelang pernikahannya dengan Prabu, ia mengalami tragedi ketika Bramantya yang mabuk dan memperkosanya. Saat Rianti terluka dan hendak melanjutkan hidup, ia justru dikhianati Prabu yang menikah dengan mantan kekasihnya. Di tengah kehancuran itu, Bramantya muncul dan menikahi Rianti, membuat sang adik marah besar. Pernikahan penuh luka dan rahasia pun tak terhindarkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Pintu rumah terbanting keras saat Bramantya menyeret Rianti masuk ke dalam.

“Mas, lepaskan aku! Aku bisa jalan sendiri!” seru Rianti sambil berusaha melepaskan genggaman suaminya.

Namun Bramantya justru menariknya semakin kasar.

“Kamu puas, ya? Buat aku malu di depan semua orang?! Sudah buat keributan, sekarang pura-pura jadi korban di hadapan Mama Dewi?!” bentaknya.

Rianti menatapnya penuh amarah bercampur kecewa.

“Yang bikin malu itu kamu sendiri, Bram! Kamu bahkan mukuli Prabu tanpa alasan yang jelas!”

BRAKK!

Bramantya menendang meja kaca kecil di dekat sofa hingga pecah berantakan.

“Diam!” teriak Bramantya.

Rianti tersentak mundur saat suaminya membentaknya.

Bramantya mendekat lagi, menatapnya dengan mata merah penuh amarah.

“Kamu pikir aku akan tinggal diam saat laki-laki lain mendekatimu? Aku suamimu!” ucap Bramantya dengan nada tinggi.

Rianti memandang wajah suaminya yang dari tadi membentaknya.

“Suami? Mas bahkan tidak memperlakukan aku seperti seorang istri! Aku sudah capek, Mas! Aku bukan milikmu!”

Perkataan Rianti seperti pisau yang menancap di dada Bramantya.

Wajahnya mengera tangannya langsung mendorong bahu Rianti sangat keras.

“AARRGH!”

Rianti kehilangan keseimbangan, tubuhnya terjerembab ke lantai.

BUGH!

Kepalanya membentur sisi meja marmer dengan suara keras.

Sesaat semua menjadi hening setelah Rianti berteriak.

Rianti memegang kepalanya dan tubuhnya langsung ambruk tak berdaya.

“R-Rianti?!”

Bramantya berdiri mematung saat melihat istrinya yang ambruk.

Wajah Rianti pucat, matanya tertutup rapat. Darah mulai merembes dari sisi kepalanya.

“Ri…? Rianti? HEY!” seru Bram panik sambil mengguncang tubuh istrinya.

Bramantya langsung panik dan ia takut jika terjadi sesuatu kepada istrinya.

“R-Ri, bangun. Ri! Aku..."

Tangannya gemetar saat mencoba menepuk pipi istrinya.

“Jangan bercanda, Ri. Tolong buka matamu…”

Namun Rianti tetap terkulai tidak berdaya di pangkuan suaminya.

Bram menarik napas panjang, lalu mendekap istrinya erat-erat.

“Rianti, jangan tinggalin aku!"

Bramantya langsung membopong tubuh istrinya dan membawanya ke rumah sakit.

Selama perjalanan ke rumah sakit, ia melajukan mobilnya sekencang mungkin agar lekas sampai.

"Ri, tolong bertahanlah. Maafkan aku, Rianti." ucap Karan.

Tak berselang lama Bramantya menghentikan mobilnya di depan ruang UGD.

"DOKTER!!" teriak Bramantya.

Dokter dan perawat segera berlari membawa ranjang dorong.

"Anda tunggu disini dulu, biar dokter menangani istri anda." ucap perawat yang langsung menutup pintu ruang UGD.

Bramantya mendengar suara ponselnya yang berdering dan ia melihat mama Dewi yang sedang menghubunginya.

Ia memutuskan untuk tidak mengangkat ponselnya.

Beberapa menit kemudian dokter keluar dari ruang UGD.

"Bagaimana keadaan istri saya, dok?" tanya Bramantya dengan wajah cemas.

Dokter melepas sarung tangannya, lalu menatap Bramantya cukup lama sebelum berbicara.

“Benturan di kepalanya cukup keras. Ia mengalami luka terbuka dan pendarahan ringan. Untuk saat ini, kondisinya stabil, tapi ia masih belum sadarkan diri. Kami butuh waktu untuk memantau apakah ada trauma dalam yang lebih serius.”

Bramantya menelan ludahnya dengan susah payah.

“B-berapa lama sampai dia sadar?”

“Tidak bisa dipastikan. Bisa beberapa jam atau bisa lebih lama.” Dokter menepuk bahunya pelan.

“Tapi sejauh ini tidak ada penurunan kondisi. Anda bisa temui dia. Jangan terlalu keras atau membuatnya stres. Kami sudah bersihkan lukanya dan jahit bagian yang terbuka.”

Bramantya mengangguk cepat tanpa mendengar kalimat terakhir.

Ia mendorong pintu UGD yang setengah terbuka dan masuk ke dalam.

Di tengah ruangan dingin itu, Rianti terbaring lemah di ranjang, selang infus menempel di tangan, perban putih melingkari sisi kepalanya.

Wajahnya pucat, tapi tetap cantik meski penuh luka.

Bramantya duduk di kursi di samping ranjang, tangan gemetar saat menyentuh jemari Rianti yang dingin.

“Rianti…”

“Aku di sini, Ri. Dan aku nggak akan pergi ke mana-mana.”

Air matanya jatuh — untuk pertama kalinya, tanpa ia tahan.

“Aku bodoh dan sangat egois. Aku pikir aku bisa memiliki kamu sepenuhnya hanya dengan mengikatmu, tapi aku malah menghancurkanmu.”

Ia menundukkan kepalanya ke punggung tangan Rianti.

“Ri, tolong bangun. Marahi aku atau benci aku. Tapi jangan diam seperti ini." pinta Bramantya sambil menggenggam tangan istrinya.

Tengah malam suasana ruang rawat sangat sunyi dan hanya suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan.

Rianti membuka matanya dan melihat suaminya yang tertidur di kursi kecil di sebelah ranjangnya.

Tubuhnya membungkuk, kepalanya hampir jatuh ke depan, dan tangannya masih erat menggenggam jemari Rianti.

"Sekarang perhatian sama aku. Tadi malam marah seperti orang kesurupan." gumam Rianti.

Krucuk.... krucuk....

Rianti mengelus-elus perutnya yang sedang lapar sekali.

Ia melepaskan genggaman tangan suaminya yang masih tertidur pulas.

Setelah itu Rianti turun dari tempat tidur dengan tenaganya yang masih lemas.

Ia tidak sengaja menyenggol gelas yang ada di sampingnya.

PYARR!

Bramantya langsung membuka matanya saat mendengar suara gelas yang pecah.

"Ri, kamu kenapa? Mau kemana?" tanya Bramantya dengan wajah yang kebingungan karena terkejut melihat istrinya yang sudah sadar.

Rianti menundukkan kepalanya dan mengatakan kalau ia lapar.

"M-maaf, aku tidak sengaja memecahkan gelas." ucap Rianti.

Bramantya langsung membopong tubuh istrinya dan membawanya ke atas tempat tidur.

Kemudian ia memanggil perawat untuk membersihkan pecahan gelas.

Bramantya kembali duduk di samping tempat tidur istrinya.

"Mau makan apa?" tanya Bramantya dengan suara halus.

Rianti menelan salivanya saat mendengar suara suaminya yang tidak seperti biasanya.

"Ri, kenapa malah bengong? Kamu mau makan apa?" tanya Bramantya.

"Terserah kamu, Bram." jawab Rianti.

Bramantya menghela nafas panjang saat mendengar jawaban dari istrinya.

"Ri, ini tengah malam dan kalau kamu minta terserah. Aku nggak tahu, Ri." ucap Bramantya.

Untuk beberapa menu Rianti berfikir dan ia langsung tersenyum tipis.

"Aku ingin makan sate ayam, burger, ayam goreng, es teler." ucap Rianti.

Bramantya mengerjap pelan, memastikan ia tidak salah dengar.

“…empat sekaligus?” tanyanya pelan.

Rianti menatapnya sekilas, lalu mengangguk tanpa ekspresi.

“Kalau ribet, ya nggak usah. Aku nggak mau ngerepotin kamu."

Namun Bramantya justru berdiri, mengambil kunci mobilnya, lalu menatap istrinya dengan sungguh-sungguh.

“Enggak merepotkan sama sekali. Aku akan cari semuanya.”

“Bram, ini tengah malam. Memang masih ada yang buka?" tanya Rianti.

“Kalau perlu aku bangunin satu kota buat kamu,” potongnya lirih.

Rianti tersenyum tipis saat mendengar perkataan dari suaminya.

Tanpa menunggu jawaban, Bram keluar dari kamar, meninggalkan Rianti yang kini hanya bisa memandang pintu dengan tatapan tak percaya.

Rianti mengernyitkan keningnya saat melihat perubahan Bramantya yang drastis.

"Kenapa dia sekarang baik? Hii... Pasti ada maunya." gumam Rianti.

Rianti kembali merebahkan tubuhnya sambil menunggu suaminya yang masih mencari makanan yang diinginkan olehnya.

Udara malam terasa dingin saat Bramantya keluar dari rumah sakit.

Jalanan sepi, hanya lampu jalan yang redup menemani.

Ia berjalan cepat menuju mobilnya, menyalakan mesin, lalu melajukannya tanpa tujuan pasti.

“Sate ayam, burger, ayam goreng, es teler,” gumamnya berulang-ulang, seolah takut lupa satu pun.

Namun setelah berkendara cukup jauh, ia mulai menyadari satu hal.

Sebagian besar toko sudah tutup karena sudah tengah malam.

Warung sate langganan di pinggir jalan gelap gulita.

Restoran cepat saji yang biasa buka 24 jam sedang renovasi.

Gerai burger langganannya? Hanya lampu ‘CLOSED’ yang menyala di jendela.

“Kenapa semuanya tutup malam ini…” desisnya sambil mengacak rambut.

Ia terus berkeliling, mencari satu per satu.

Warung sate kedua tutup dan minimarket yang jual es teler instan stok habis.

Gerai ayam goreng hanya ada menu nasi tanpa ayam.

Ia mulai frustasi saat tidak mendapatkan yang diinginkan oleh istrinya.

Namun saat melewati sebuah gang kecil, ia melihat seorang bapak tua sedang mendorong gerobak sate yang hampir kosong.

Bramantya langsung menghentikan mobilnya dan mendekat.

“Pak! Satenya masih ada?”

“Masih sisa dikit, tapi udah dingin. Mau?”

“Berapapun, saya beli semuanya,” ujar Bram tanpa pikir panjang.

“Tapi ini tinggal tiga tusuk dan itu pun kulit semua.”

“Nggak apa-apa. Saya beli,” jawabnya sambil menyerahkan lembaran ratusan ribu.

Bapak itu melongo, lalu menerima uang itu dengan tangan gemetar.

“Mas, ini kebanyakan....”

“Buat Bapak saja, terima kasih.”

Bram mengambil plastik kecil berisi tiga tusuk sate kulit dingin itu.

Setelah itu melanjutkan pencarian menuju ke minimarket 24 jam.

Ia hanya menemukan burger kemasan plastik yang sudah pasti tidak enak serta es krim rasa kelapa muda yang ia harap bisa menggantikan es teler.

Untuk ayam goreng, ia bahkan mendatangi warung bubur ayam yang baru membuka lapak dini hari.

“Ibu, ayam gorengnya masih ada?” tanya Bram.

“Nak, ini bubur ayam…”

“Kalau aku beli ayam mentahnya aja boleh?” tanya Bram serius.

“Ambil aja, Nak. Gratis.”

Dengan plastik berisi tiga tusuk sate kulit dingin, burger dingin plastik, es krim kelapa, dan sepotong ayam mentah hasil minta, ia akhirnya kembali ke mobil.

Ia menghela napas panjang, menatap plastik belanjaannya pasrah.

“Semoga saja Rianti nggak marah.” gumam Bramantya

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!