Cerita tentang Dewa dan Dewi Cinta yang awalnya saling mencintai. Mereka bertugas di alam manusia untuk menolong dan meringankan penduduk di bawah bukit cinta. Tetapi semuanya musna ketika Dewi Cinta jatuh cinta kepada manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulynn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
"Serius kamu bisa tidur gitu aja?" seru Sarah tak percaya dengan cerita yang baru saja didengarnya. "Siapa namanya tadi? Richard... siapa?" Sarah menarik kursinya mendekat, penasaran.
"Richard Henry. Keren banget kan namanya?" puji Carissa sambil menepuk-nepuk pahanya, matanya berbinar-binar. "Suaranya juga... aduh, bikin meleleh!"
"Wah, wah, wah... kamu jatuh cinta?" goda Sarah sambil menyenggol lengan Carissa.
"Iya! Jatuh cinta banget! Mulai sekarang, Richard Henry adalah pacarku!" jawab Carissa dengan semangat menggebu-gebu.
"Eit, tunggu dulu! Kita kan belum lihat tampangnya si Henry. Jangan-jangan..."
"Pasti sesuai dengan tipe idamanku! Aku yakin seratus persen!" potong Carissa tanpa ragu sedikit pun.
"Ini Mbak, sate kambingnya, ini sate ayam," seorang pramusaji datang menginterupsi, mengantarkan pesanan mereka. Sarah yang tadinya ingin mengungkapkan keraguannya tentang Richard Henry, pacar imajinasi Carissa, jadi mengurungkan niatnya.
Ia tak tega menghancurkan harapan sahabatnya. Yang bisa ia lakukan adalah memastikan bahwa Richard Henry itu pria baik-baik, masih lajang, dan kalau bisa... mapan. Tapi, pria mapan mana yang mau duduk di kursi ekonomi? Batin Sarah bertanya-tanya.
"Rah, ada job?" tanya Carissa sambil mengelap bibirnya dengan tisu.
"Ada nih," jawab Sarah sambil memeriksa ponselnya. "Dua hari lagi ke Bukit Cinta."
Raut wajah Carissa langsung berubah, bayangan Brandon melintas di benaknya. Namun, ia segera menguasai diri dan memasang wajah ceria kembali saat Sarah menatapnya. "Mau nggak?"
"Nggak deh, bosen," elak Carissa.
"Sama, aku juga bosen," timpal Sarah, lalu mereka berdua tertawa.
***
"Penduduk setempat percaya kalau jiwa dewa dan dewi cinta masih bersemayam di bukit ini," ucap Carissa lantang, berusaha meyakinkan para turis. Mereka pun celingukan, mencari-cari tanda keberadaan dewa-dewi cinta di antara semak belukar.
Carissa mengusap keringat yang membasahi pelipisnya. Topi jerami yang dipakainya terasa semakin panas dan gatal. Ia menjauh dari kerumunan, mencari tempat teduh untuk beristirahat. Ia duduk di dekat loket, mengipasi wajahnya dengan majalah usang. Tiba-tiba, seorang wanita mendekat. Seorang ibu paruh baya dengan topi kets dan syal mahal yang menutupi separuh wajahnya. Hanya mata tuanya yang tampak sayu.
"Nak Rissa?" sapanya dengan suara serak. Ia mendekatkan wajahnya, mengamati Carissa dengan seksama. "Benar, ini Nak Rissa kan?" Ia menyipitkan mata, lalu menepuk bahu Carissa dengan ragu.
"I... Iya," jawab Carissa gugup. Jantungnya berdegup kencang. "Maaf, Ibu siapa ya?" tanyanya sopan, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Ini lho, saya!" Wanita itu membuka syalnya dan melepaskan topinya, memamerkan wajahnya yang sudah berumur. "Kenal kan?"
"Ehhh... ya ampun... Tante!" Carissa terkejut. Ia berusaha tersenyum ramah, meski hatinya berdebar tak karuan.
"Iya, ini Maminya Sarah!" Wanita itu merentangkan tangan, siap memeluk Carissa.
Carissa mendekat dan memeluk Mami Sarah sekilas.
"Tante sama siapa? Kok bisa ke sini?" tanya Carissa berusaha bersikap santai, padahal pikirannya sudah kalut.
"Sama Om. Itu, Om lagi asyik motret burung di sana," jawab Mami Sarah sambil menunjuk seorang pria yang mengenakan pakaian senada dengannya.
"Tante sama Om kok tiba-tiba ke sini?" tanya Carissa sambil mengusap keringat di lehernya. Ia berusaha mengendalikan diri, tapi rasa bersalah mulai menghantuinya.
"Nak, kami kangen banget sama Sarah. Sudah lama sekali dia nggak pulang. Kemarin, Om telepon ke kantor Sarah, katanya hari ini Sarah ada jadwal di sini. Tapi, kok Sarah nggak ada? Eh, malah ketemu sama Nak Rissa," jelas Mami Sarah panjang lebar.
Setiap kata yang diucapkan Mami Sarah bagai cambuk yang menghantam hatinya. Carissa merasa bersalah karena harus berbohong pada orang tua sahabatnya.
"Eh, sebenarnya Sarah... Sarah itu..." Carissa tergagap, mencari alasan yang bisa menyelamatkan Sarah.
"Sarah sakit kah, Nak?" tanya Mami Sarah dengan nada cemas.
"Iya, Tante! Sarah sakit... Eh, maksudnya... Sarah datang bulan, Tante! Jadi, saya yang menggantikannya hari ini," jawab Carissa dengan nada panik.
Raut wajah Mami Sarah berubah kecewa. Carissa semakin merasa bersalah dan ingin menghibur Mami Sarah, meski ia tahu kebohongannya telah menyakiti hatinya.
"Tante, ayo saya ajak jalan-jalan ke sana! Ada tempat yang bagus, cocok buat foto-foto," ajak Carissa sambil merangkul Mami Sarah.
"Ah, malas ah, Nak," tolak Mami Sarah dengan lesu. "Di mana-mana rame. Aku duduk di sini aja nunggu Om."
"Ayolah, Tante! Saya tahu tempat yang sepi, yang pemandangannya bagus banget!" Carissa menarik lengan Mami Sarah dengan sedikit paksa.
"Sarah mana? Kok nggak kelihatan?" tanya Papi Sarah saat mereka mendekat.
"Sarah nggak enak badan. Nak Rissa yang menggantikannya hari ini," jawab Mami Sarah dengan nada kecewa. Papi Sarah menepuk bahunya, lalu tersenyum pada Carissa.
"Halo, Om," sapa Carissa dengan senyum yang dipaksakan. "Ayo, Om, kita cari spot yang bagus buat foto burung! Di sana banyak jenis burung yang langka!"
"Wah, ide bagus! Di mana?" tanya Papi Sarah dengan mata berbinar.
Carissa memandu Papi dan Mami Sarah menyusuri jalan setapak yang semakin menanjak, menjauh dari hiruk pikuk turis. Jalan itu sempit, diapit oleh dinding-dinding batu yang menjulang angkuh. Tak lama, mereka tiba di persimpangan: lurus atau belok kanan. Tanpa ragu, Carissa memilih jalan ke kanan, yang ternyata mengarah ke hamparan semak belukar yang liar. Mami Sarah tampak risih, merasa kesulitan melangkah di antara semak-semak dan khawatir akan ancaman ular atau binatang buas lainnya. Sementara itu, Papi Sarah tampak berbinar-binar, matanya terpaku pada jalan di depan. Ia tahu, pendakian ini akan membawanya ke puncak bukit yang menawarkan surga bagi para pengamat burung.
Dan benar saja, setelah bersusah payah mendaki selama beberapa menit, mereka mencapai puncak bukit yang luas. Angin kencang menyambut mereka dengan ganas, menerpa wajah dan rambut mereka dengan kekuatan yang memabukkan. Carissa merentangkan tangan, memejamkan mata, membiarkan angin gunung yang bercampur aroma laut menyapu tubuhnya.
"Luar biasa... Sungguh luar biasa... Tempat ini sungguh luar biasa!" seru Papi Sarah dengan nada takjub. Mata abu-abunya yang redup kini bersinar terang, terpukau oleh keindahan alam yang terhampar di hadapannya. Mami Sarah, yang tadinya ketakutan dan kebingungan, kini tampak terpana, menikmati pemandangan yang menakjubkan.
Dari puncak bukit ini, mereka bisa menyaksikan panorama yang memukau. Di kejauhan, tampak pelabuhan yang ramai dengan aktivitas kapal-kapal, sementara di sisi lain menjulang gunung-gunung dan bukit-bukit yang diselimuti hijaunya pepohonan.
"Nak, apa kita bisa mendaki ke puncak bukit itu?" tanya Papi Sarah sambil menunjuk bukit di sebelah kiri mereka.
"Seharusnya bisa, Om. Tapi, saya nggak yakin ada jalan yang aman," jawab Carissa sambil menyipitkan mata, berusaha mencari jalur pendakian yang memungkinkan. Sebenarnya, ia bisa saja berbohong dan mengatakan tahu jalannya. Namun, ia meragukan kemampuan kedua orang tua ini untuk mendaki tanpa bantuan alat pengaman.
Carissa duduk di atas batang pohon tumbang, mengamati Papi dan Mami Sarah dengan senyum tulus. Ia merasa senang karena bisa menghadirkan kebahagiaan bagi mereka, menggantikan kekecewaan karena tak bisa bertemu dengan putri kesayangan mereka.
Tiba-tiba, Carissa merasakan sentuhan aneh di pergelangan kakinya. Ia tersentak dan menunduk, terkejut sekaligus terpesona dengan pemandangan di hadapannya. Dua ekor tupai kecil muncul dari persembunyiannya di antara akar-akar pohon yang besar. Carissa mengamati kedua tupai itu, yang juga sedang menatapnya dengan rasa ingin tahu. Perlahan, Carissa mengulurkan tangannya. Salah satu tupai mengendus jari Carissa, lalu dengan berani melompat ke lengannya dan memanjat ke atas pohon tempat Carissa duduk. Tupai kedua mengikuti jejak temannya, lalu mereka berdua tampak menguap bersamaan di samping Carissa, seolah mengajak Carissa untuk bersantai dan menikmati keindahan alam.
Carissa mengelus kepala kedua tupai itu dengan lembut. "Maaf ya, aku mengganggu kalian," bisiknya dengan nada menyesal.
Beberapa saat kemudian, smart watch Carissa bergetar, menandakan bahwa waktu tur sudah hampir habis. Ia harus segera mengumpulkan para turis dan kembali ke kapal.
"Aku harus kembali ke sini! Tempat ini sungguh mempesona! Lihatlah, Sayang, betapa banyak burung-burung langka yang tak bisa kita temukan di kebun binatang mana pun!" seru Papi Sarah dengan nada bersemangat. "Aku harus segera pulang dan mencari tahu nama-nama burung ini di buku ensiklopedia!"
"Iya, Pa. Hati-hati dengan langkahmu. Jangan terlalu bersemangat," Mami Sarah mengingatkan dengan nada cemas, khawatir suaminya akan terjatuh.
Carissa membantu Mami Sarah memegang lengan Papi Sarah di sisi lainnya. "Kita sudah hampir sampai di bawah, Om. Pelan-pelan saja, masih ada sepuluh menit sebelum kapal berangkat."
Seperti yang dikatakan Carissa, tak lama kemudian mereka tiba di lapangan tempat para turis berkumpul. Carissa berpamitan kepada Papi dan Mami Sarah, lalu meniup peluit yang tergantung di lehernya. Ia mengibaskan bendera kecil yang disimpannya di tas, lalu berjalan menuju loket. Para turis yang dibawanya mengikuti arahannya dengan patuh. Kemudian, ia menghitung jumlah turis, memastikan tak ada yang tertinggal. Ia juga melihat Mami dan Papi Sarah berada di antara rombongan turis. Setelah memastikan semuanya lengkap, Carissa mengarahkan mereka untuk naik ke kapal dengan tertib, sambil tetap menghitung jumlahnya. Carissa memang selalu teliti dan tidak mau mengambil risiko ada turis yang tertinggal. Apalagi, cuaca di pulau kecil ini bisa berubah sewaktu-waktu. Buktinya, tadi cuaca masih panas terik, sekarang awan-awan gelap sudah mulai berkumpul di atas pulau.
"Nak, kamu sering ya bantu Sarah?" Mami Sarah mendekat dan duduk di samping Carissa, matanya menyelidik. Ia ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan putrinya melalui sahabatnya ini.
"Nggak sering kok, Tante. Cuma pas Sarah lagi nggak bisa aja," jawab Carissa, berusaha bersikap ramah.
"Sarah emang beruntung punya teman kayak kamu, Nak," Mami Sarah menepuk tangan Carissa pelan, lalu menghela napas. "Kamu sendiri gimana, Nak? Kalau kamu bantu Sarah gini, kamu nggak kerja?"
"Aduh, Tante... Sebenarnya malu mau cerita," Carissa tertawa kecil, menutupi wajahnya dengan tangan. "Saya masih nganggur, Tante. Belum dapet kerjaan."
"Lho, kok bisa gitu? Kamu harus cari kerja yang beneran, Nak," Mami Sarah mengerutkan kening, tampak prihatin dengan keadaan Carissa.
"Saya sih lebih seneng gini, Tante. Nggak banyak uang, tapi bebas," jawab Carissa jujur, meski sedikit sungkan.
"Nggak... Nggak boleh gitu. Kamu harus kerja dulu sebelum nikah. Nanti direndahin mertua lho, kalau nggak punya apa-apa," Mami Sarah menggeleng, memberikan nasihat dengan nada serius.
"Aduh, Tante... Pacar aja belum punya, gimana mau nikah," jawab Carissa sambil tersenyum kecut.
"Makanya, kamu harus kerja dulu biar dapet pacar yang bener," Mami Sarah menatap Carissa dengan tatapan penuh harap, seolah ingin menjodohkannya dengan seseorang.
"Iya, Tante," jawab Carissa pelan, tidak berani membantah. Ia tahu, Mami Sarah hanya ingin memberikan yang terbaik, tapi ia juga merasa sedikit tertekan dengan nasihat-nasihatnya.
***
"Gila! Mami beneran bela-belain ke Bukit Cinta nyariin aku?" tanya Sarah dengan nada tak percaya, matanya membulat sempurna.
"Coba deh, kamu hubungi Mami kamu. Kayaknya mereka khawatir banget sama kamu," bujuk Carissa sambil membuka sebungkus Chitato rasa keju.
"Ogah!" Sarah meraih sebungkus Lays rumput laut dari meja dan menjatuhkan diri ke sofa dengan malas.
Tiba-tiba, nada dering iPhone Sarah memecah kesunyian di tengah keseruan mereka menonton film laga di Netflix.
"Shit!" seru Sarah begitu melihat nama yang tertera di layar iPhone-nya.
"Siapa?" tanya Carissa penasaran sambil menempelkan kepalanya ke pipi Sarah. "Angkat, dong?"
"Nggak ah. Pura-pura tidur aja," jawab Sarah sambil meletakkan kembali iPhone-nya ke meja dengan hati-hati, seolah benda itu bisa meledak jika disentuh dengan kasar.
"Masih jam delapan," kata Carissa, membuat Sarah mengernyitkan dahi dan menoleh ke arahnya.
"Kamu aja yang angkat! Bilang aja aku lagi mandi, lagi boker, lagi jungkir balik, terserah deh!" pinta Sarah dengan nada memohon.
Dengan ragu, Carissa mengangkat panggilan dari Mami Sarah. Di luar dugaan, Mami Sarah bukan mencari putrinya yang sengaja menghilang, melainkan mencari Carissa! Carissa merasa antara bingung, takjub, dan tidak percaya. Ia melirik ke arah Sarah, yang sudah penasaran setengah mati dan memberikan isyarat agar Carissa menyalakan speaker. Namun, Carissa entah pura-pura bodoh atau memang sedang terpana dengan panggilan itu. Sebelum lidah Sarah terbelit karena terlalu banyak menggunakan bahasa isyarat, Carissa menjauhkan iPhone Sarah dari telinganya.
"Apa sih? Bikin penasaran banget tau nggak?" protes Sarah sambil melempar bantal ke arah Carissa. Namun, Carissa malah bengong. "Carissa! Please deh!"
"Mami kamu nyuruh aku besok ke Grand... entah apa, tempat main golf gitu. Kamu tahu?" tanya Carissa dengan tampang linglung.
"Grand Voyage," jawab Sarah cepat. "Terus?"
"Terus, aku disuruh ke sana buat kerja," jawab Carissa, menatap sahabatnya dengan tatapan bingung.
"Cuma itu doang?" tanya Sarah, masih tidak percaya.
"Iya," jawab Carissa singkat.
"Jadi, Mami-ku nelpon ke HP-ku cuma buat nyuruh kamu kerja di tempat golf? Nggak nanya Sarah di mana? Sarah sehat? Sarah kelaparan, kedinginan, kesepian, atau masih hidup?" tanya Sarah dengan nada sarkastik.
"Nggak ada," jawab Carissa sambil tertawa terbahak-bahak hingga terguling dari sofa.
"Entah aku harus senang atau sedih," gumam Sarah sambil ikut menjatuhkan diri ke lantai. "Jadi, kamu mau terima kerjaan itu? Kamu tahu kan, Grand Voyage itu tempat elit banget. Pemain golf di sana semuanya profesional, dan yang bukan member dilarang masuk, apalagi main di sana!"
"Menurut kamu, aku harus terima nggak ya? Kayaknya tampangku nggak cocok deh kerja di sana. Apalagi aku buta banget soal golf," Carissa menghela napas, merasa semakin tidak yakin.
"Wooii! Ini kesempatan langka banget! Harus dicoba dong! Masa' kamu mau selamanya kerja serabutan gini?" Sarah menjitak kepala Carissa, berusaha menyadarkan sahabatnya. "Selama ini, kamu juga kerjanya dadakan. Cuma butuh browsing di Google semalaman, besoknya voila! Kamu hafal semua sejarah tempat wisata, bahkan informasi yang nggak ada di brosur pun bisa kamu dapat entah dari mana!"
"Tapi aku belum tahu bakal ditempatkan di bagian apa. Mana tahu cuma disuruh ngumpulin bola yang jatuh ke sungai," Carissa merengut, merasa semakin tidak percaya diri.
"Nggak! Nggak mungkin Mami-ku setega itu! Udah, yuk! Sekarang kita tinggalin cemilan dan Netflix, masuk kamar, dan pergi ke dunia Google! Kamu pasti bisa, Sa! Aku yakin!" Sarah bangkit dan menyeret Carissa masuk ke kamarnya.