Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.
Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.
Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.
Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.
Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 12. Sah Penuh Ketegangan
Ruang hotel itu berubah seperti istana mendadak. Lampu kristal berkilauan, bunga mawar putih berjejer di sepanjang karpet merah, dan aroma wangi mahal memenuhi udara.
Naina duduk diam di depan cermin besar, wajahnya hampir tidak ia kenali lagi. Make up menutupi semua letih, gaun pengantin putih dengan payet berkilau membuatnya terlihat bak putri. Tetapi dibalik tatapan matanya, ada gurat kosong yang sulit disembunyikan.
Seorang MUA menepuk bahunya pelan. “Cantik sekali, Dek. Semua orang pasti akan terpesona,” ujarnya dengan senyum tipis.
Naina hanya mengangguk, bibirnya kaku, jantungnya berdebar aneh antara takut, pasrah dan tidak percaya.
Di ruangan sebelah, Ihsan berdiri gagah dengan jas hitam rapi. Senyumnya dingin, penuh keyakinan seakan semua ini adalah kemenangannya.
Tatapannya lurus ke arah Bu Rahayu yang duduk manis di sofa, puas melihat rencana besarnya berjalan mulus.
“Ini semua yang ibu Rahayu minta sudah saya siapkan,” ucap Ihsan tegas, nada suaranya datar tapi penuh gengsi.
Ia menoleh ke arah meja, lalu menunjuk berkas dan kotak-kotak mahal yang sudah tersusun rapi.
“Masalah mahar sebesar tiga milyar, satu unit mobil mewah, satu mobil sport, rumah atas nama Naina yang tak boleh diganggu gugat oleh siapapun dan satu set berlian khusus untuk dia.”
Bu Rahayu mengangguk cepat, senyumnya lebar, matanya berbinar seperti baru saja memenangkan lotre dan sudah berfikir kalau kelak dia bisa meminta mahar itu dan menjadikan mahar Naina miliknya.
“Bagus sekali, Pak Ihsan. Saya percaya semua janji bapak bukan sekadar kata-kata,” imbuhnya dengan nada penuh kepuasan.
Ihsan menarik napas panjang, lalu menegakkan tubuh. “Naina harus tahu, semua ini bukan sekadar harta. Aku memilih dia bukan karena usia, tapi karena aku jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya. Dia akan jadi milikku,” katanya sambil menatap lurus, ekspresinya penuh percaya diri.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Naina dipapah keluar, gaun panjangnya terseret indah di lantai marmer. Semua mata tertuju padanya.
Para saksi terdiam, terkesima, seolah lupa bernapas. Namun Naina melangkah kaku, seolah kakinya terikat rantai tak kasat mata.
Dalam hatinya bergemuruh.”Apa benar aku harus berdiri di sini, di hadapan mereka semua, menyerahkan hidupku hanya demi ambisi Mama?” pikirnya getir.
Penghulu memulai acara, suara lantang memecah hening ruangan. Ihsan duduk di depan meja akad dengan wajah tenang, sementara Naina menunduk, kedua tangannya menggenggam erat kerudung tipis yang menutupi gaunnya.
“Ihsan Ghazi bin…” suara penghulu menggema, diikuti prosesi sakral yang seolah menutup seluruh ruang dengan takdir yang sudah digariskan.
Dengan suara mantap dan tanpa ragu, Ihsan mengucapkan ijab kabul. Satu kali, langsung sah.
Para saksi bersuara serempak mengucapkan kata, “Sah!”
Tepuk tangan pelan terdengar. Bu Rahayu langsung menyeka air mata pura-puranya, lalu meraih tangan Naina untuk diletakkan di tangan Ihsan.
“Mulai hari ini kamu resmi jadi suami istri. Ingat, jangan pernah kecewakan Pak Ihsan,” katanya penuh tekanan.
Naina menegakkan wajah, menatap sekilas ke arah Ihsan yang kini tersenyum puas. Senyum yang baginya terasa seperti belenggu.
Hatinya berbisik lirih,”Tuhan, apakah ini jalan yang harus aku tempuh, atau hanya jebakan yang akan mengurungku selamanya.”
Acara akad baru saja selesai, ruangan mulai sepi. Para tamu undangan yang hanya beberapa orang berangsur pulang, meninggalkan aroma bunga yang masih menyengat.
Ihsan berdiri tegap di tengah aula, jas hitamnya masih rapi, wajahnya dingin tanpa senyum.
Naina duduk di kursi panjang, pandangan kosong menatap gaun putihnya yang berat.
Ihsan menoleh ke arah salah satu staf kepercayaannya. “Ardiansyah, antar pulang Bu Rahayu malam ini. Mulai detik ini, Naina dan keluarganya tidak ada hubungan apapun lagi dengan istriku,” titahnya datar namun tajam menusuk.
Ruangan langsung hening. Bu Rahayu yang tadi masih larut dalam euforia harta, sontak terbelalak. Tangannya yang menggenggam tas mahal bergetar, matanya menyipit penuh amarah.
“Apa maksud bapak bicara begitu? Jangan kira setelah ini semuanya selesai begitu saja,” ucapnya dengan nada tinggi, menahan geram.
Ihsan mengangkat dagunya sedikit, ekspresinya tetap dingin. “Janji saya sudah saya tepati. Mahar, rumah, mobil, berlian semua sudah atas nama Naina. Kamu tidak berhak ikut campur lagi. Mulai malam ini, posisimu sudah selesai.”
Bu Rahayu bangkit, suaranya meninggi, wajahnya merah padam. “Jangan sombong dulu, Pak Ihsan. Ingat, darah yang mengalir di tubuh Naina itu darah saya. Selama saya masih ibunya, saya bisa kapan saja mengatur hidupnya. Kalau saya mau, saya bisa bikin rumah tangga kalian hancur dengan satu kata!” serunya lantang.
Beberapa staf Ihsan saling pandang, suasana makin tegang. Naina menunduk, perutnya terasa melilit mendengar pertengkaran itu, namun ia tak sanggup menyela.
Ihsan melangkah mendekat, suaranya merendah namun tajam bagai pisau.
“Coba saja, Bu Rahayu. Tapi ingat, saya bukan laki-laki yang mudah dipermainkan. Sekali saya bertindak, saya pastikan jalan kembali untukmu tertutup rapat. Jadi, berhati-hatilah.”
Tatapan keduanya saling bertubrukan, ibarat dua ekor macan lapar yang berebut wilayah. Bu Rahayu terdiam sejenak, bibirnya bergetar, lalu tersenyum tipis penuh licik.
“Baiklah, Pak Ihsan. Tapi jangan salahkan saya kalau suatu hari nanti anak yang kamu cintai justru jadi senjata paling tajam untuk melawanmu,” imbuhnya sinis sebelum berbalik dengan langkah cepat.
Ardiansyah segera mengikuti, meski suasana terasa masih panas.
Sementara itu Naina hanya bisa memejamkan mata.
Hatinya gamang. Ia tahu benar meski perkataan Ihsan terdengar keras, Mama tidak akan tinggal diam.
Ruangan itu masih diliputi ketegangan. Bu Rahayu belum benar-benar pergi, langkahnya tertahan di ambang pintu.
Senyum sinisnya masih tergantung, seakan kemenangan ada di tangannya. Namun tiba-tiba suara lembut tapi bergetar terdengar.
“Mama cukup.”
Semua mata langsung menoleh. Naina berdiri perlahan, gaun pengantinnya menjuntai, wajah cantiknya yang dipoles MUA kini basah oleh air mata. Tangannya mengepal, namun suaranya tegas.
“Mulai hari ini, Mama jangan lagi campuri hidupku. Aku lelah jadi alat, aku muak diperlakukan seperti barang dagangan. Aku menikah bukan karena cinta, tapi karena paksaan Mama. Dan sekarang Mama masih berani menuntut lebih?” ucapnya tatapannya tajam ke arah ibunya.
Bu Rahayu terbelalak. “Kamu bicara apa, Naina? Kalau bukan karena aku, kamu nggak akan dapat rumah, mobil, uang miliaran,” sergahnya terbata hingga wajahnya memerah.
Naina langsung memotong, suaranya meninggi. “Semua itu bukan impianku! Aku cuma pengin hidup sederhana, sekolah, nari, punya masa depan tanpa harus ditukar dengan laki-laki yang seumuran Papa! Mama yang rakus, Mama yang tamak dan aku yang jadi korban!” serunya penuh getaran.
Rubi yang baru masuk ke aula bersama tas sekolahnya karena diam-diam datang ke Bandung, spontan terdiam melihat pemandangan itu. Matanya menatap Naina dengan perasaan campur aduk.
Ihsan sendiri menahan napas, untuk pertama kalinya melihat keberanian itu keluar dari bibir gadis yang baru saja sah menjadi istrinya. Ada perasaan bangga, tapi juga rasa bersalah yang mengiris.
Bu Rahayu gemetar, suara tertahannya pecah jadi bentakan.
“Anak durhaka! Mama melakukan ini semua demi kamu, demi masa depanmu!” teriaknya keras.
Naina melangkah maju, menatap ibunya lurus tanpa gentar. “Bukan demi aku, Ma. Demi diri Mama sendiri. Demi keserakahan Mama yang nggak pernah puas. Jadi mulai malam ini, anggap saja aku bukan anak Mama lagi. Aku sudah memilih jalan sendiri, tanpa Mama,” katanya lirih namun mantap.
Seisi ruangan terdiam. Bu Rahayu mendadak lunglai, tapi tatapan liciknya masih tersisa. Ia sadar, Naina kini bukan lagi anak yang bisa dikendalikan semudah dulu.
Naina berdiri dengan tubuh bergetar, tapi tatapannya tak lagi bisa digoyahkan. Suaranya pecah namun setiap kata keluar seperti pisau yang menancap.
“Bukannya aku cuma anak hasil dari pria yang pernah memperkosa Mama waktu Mama mau menikah sama Papa Aditya?” ucapnya lantang membuat semua orang yang mendengar terhenyak.
Ruangan seketika membeku. Rubi spontan menutup mulutnya, tak percaya kata-kata sekeras itu bisa keluar dari mulut Naina.
Naina melanjutkan, suaranya parau. “Bukannya Mama sendiri yang pernah bilang kalau aku ini aib, kalau Mama dulu pengin bunuh aku waktu masih dalam kandungan?” ujarnya lagi air matanya semakin menetes tanpa bisa ditahan.
Bu Rahayu seakan tersambar petir. Wajahnya pucat, tangannya gemetar, bibirnya berusaha bergerak tapi tak ada kata yang keluar.
Ia tidak pernah menyangka rahasia kelam yang dulu ia umbar dalam amarah justru diingat jelas oleh putri yang kini berdiri menantangnya.
“Jadi, kenapa sekarang Mama masih bisa dengan entengnya bilang semua ini demi aku?!” seru Naina suaranya pecah dadanya naik turun menahan sesak.
“Mama bahkan nggak pernah benar-benar anggap aku anak. Aku cuma alat buat dapat uang, kekuasaan, kemewahan.”
Tangisnya pecah, tapi ia tetap tegak berdiri.
“Kalau memang dari awal Mama nggak ingin aku hidup, biar aku yang memilih caraku sendiri. Aku nggak butuh restu Mama, aku nggak butuh harta Mama, aku cuma pengin bebas dari belenggu Mama!” imbuhnya lantang meski suaranya bergetar hebat.
Ihsan terdiam kaku, untuk pertama kalinya menyadari luka yang begitu dalam di balik sosok tangguh Naina.
Rubi bahkan menunduk, hatinya mendadak teriris melihat rival abadinya itu ternyata hidup dengan trauma yang lebih perih dari yang ia kira.
Sementara Bu Rahayu perlahan mundur selangkah, wajahnya penuh shock bercampur amarah yang tak bisa tersalurkan.
“Kamu berani ungkit itu semua?” gumamnya nyaris tak terdengar, sebelum akhirnya ia menoleh cepat dan bergegas pergi dengan langkah terguncang.
Ruangan itu kembali hening, hanya suara isakan kecil Naina yang masih terdengar, memecah keangkuhan dinding-dinding megah rumah itu.
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺