Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengerikan
Jam istirahat telah usai. Seluruh murid kembali ke kelas, dan Ratna yang sedari tadi tenggelam dalam buku barunya, segera menyembunyikan benda misterius itu di dalam tasnya dengan cepat.
Geng Kevin masuk sambil tertawa-tawa, masih membahas insiden di kantin tadi—momen ketika Ratna terjatuh dengan gerakan memalukan. Sesekali, mereka melirik ke bangku Ratna, seolah menikmati puas momen itu.
Derap langkah sepatu terdengar dari koridor. Seorang guru Seni Budaya, Bu Tutik, memasuki kelas. Anak-anak langsung duduk rapi. Ketua murid memberi aba-aba agar semua mengucapkan salam. Suara mereka terdengar kompak dan santun.
“Tugas yang kemarin sudah?” tanya Bu Tutik.
“Sudah, Bu. Palingan si Kevin yang belum,” celetuk Bobi, membuat seluruh kelas pecah tawa.
Kevin dengan ringan menepuk bahu Bobi. “Enak aja. Gue ini rajin ngerjain tugas, loh!”
“Ya udah, Vani… tolong bantu Ibu kumpulkan tugas teman-teman, ya!” pinta Bu Tutik. Ia membuka buku paket, kemudian mulai menulis materi hari ini di papan tulis.
“Dih, kok gue sih?” Vani berdecak kesal, tapi tak berani menentang. Gadis itu pun mengelilingi bangku-bangku teman, mengambil buku-buku mereka. Seperti biasa, sikapnya selalu ketus kepada siapa pun.
“Lama amat, sih, lu! Gue pegel tau,” keluhnya pada seorang siswi.
“Ya sabarlah. Gue kan harus nyari dulu,” jawab siswi itu.
Sekarang giliran bangku Ratna. Mata Vani menyorot dengan mendelik penuh ketidaksukaan. Ia merampas buku Ratna dengan sikap sangat jutek. Ratna hanya pasrah, enggan memperpanjang masalah. Lawan sikap Vani bisa membuatnya menjadi sasaran bullying lebih parah.
Semua buku kini berada di tangan Vani. Ia berjalan santai menuju bangku guru, namun langkahnya terhenti ketika Bu Tutik menatapnya dengan wajah yang membuat bulu kuduk merinding.
Setengah wajah guru muda itu berubah menyeramkan. Iris matanya memucat, rambutnya mengembang liar, kulitnya memancarkan rona kebiruan. Urat-urat di leher menonjol seakan ingin keluar.
Vani menjerit, terjatuh ke lantai. Ia berteriak-teriak seolah kerasukan. Bu Tutik, bingung, melangkah mendekat, namun tiba-tiba lemparan buku dari Vani mengenai kepalanya.
Salah satu ujung buku menabrak kepala guru itu.
“Vani, kamu kenapa, sih? Istigfar!” teriak Bu Tutik.
“Pergi! Gue gak punya urusan sama lu. Gue gak bersalah!” teriak Vani.
Para siswa terdiam sejenak, kemudian berdiri, bingung harus bertindak bagaimana. Vani mulai kelabakan, merangkak cepat hingga berhenti di depan Ratna, lalu memeluk kaki gadis itu. “Tolongin gue, Rat, tolongin… usir dia.”
Ratna menengok ke arah guru, lalu menunduk kembali ketika sosok Bu Tutik menyeringai. Perasaan aneh menyergapnya—mengapa gurunya bisa berubah begitu menyeramkan? Namun ia berusaha tetap tenang, takut jika terlihat panik, sosok itu justru akan lebih mengancam.
“Ratna, lakuin sesuatu!” teriak Vani.
“A-aku….”
Bu Tutik semakin mendekat.
Di depan semua mata, seolah hendak menolong Vani, tapi yang terlihat oleh Vani dan Ratna, wanita itu seakan mencekik Vani hingga gadis itu meronta di lantai.
Vani mulai kesulitan bernapas. Kepanikan menyebar di kelas. Bu Tutik menepuk-nepuk pipi Vani, berusaha melepaskan tangan yang tampak mencekik itu sendiri.
Tak lama kemudian, Vani pingsan.
“Bawa ke UKS, cepat!” teriak Bu Tutik.
Bobi dan Agam segera bergerak sigap. Dua murid lelaki lain ikut membantu mengangkut Vani menuju UKS.
Akhirnya, Bu Tutik hanya memberi tugas melukis gambar wajah bebas, lalu segera bergegas ke kantor untuk melaporkan kondisi Vani kepada guru lain.
Jantung Ratna berdegup kencang. Ia duduk lemas di bangkunya, mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya. Syok masih membayang di matanya. Apa yang baru saja dilihatnya terasa seperti mimpi buruk—permainan jelangkung di hutan ternyata membawa bencana, bahkan bagi si pemain, termasuk dirinya yang ikut serta kala itu.
Di ruang UKS, Vani akhirnya sadar. Bobi meminta dua murid yang mengantarnya untuk pergi, sementara ia dan Agam menemani Vani. Tak lupa, mereka mengirim pesan kepada Kevin dan Kila agar segera datang.
“Lu kenapa, sih, Vani? Kayak orang gila tadi,” ucap Bobi dengan nada sinis.
Vani langsung bangkit, wajahnya panik. “Gue lihat muka Bu Tutik berubah jadi zombie.”
Agam menempelkan tangannya ke kening Vani. “Lu agak demam, Vani. Kayaknya efek sakit.”
“Orang gue baik-baik aja pas tadi berangkat. Demi Allah, kalian harus percaya. Tadi wajah Bu Guru jadi serem banget. Lu percaya, kan, Gam?” Vani merengek seperti anak kecil, menggoyang tangan Bobi dengan kuat.
“Kayaknya lu masih capek pas pulang dari kemah. Harusnya istirahat.”
Vani kesal, ia mengempas tangan Bobi dengan kasar. Tak disangka, kedua temannya itu tidak percaya dan menganggapnya halusinasi. Jelas-jelas Vani ketakutan, tapi mereka tampak enggan menanggapinya serius.
Tak lama kemudian, Kevin datang bersama Kila. Sebagai teman sejak SMP, Kila langsung panik. Ia memeriksa kondisi Vani dari atas sampai bawah, memastikan tidak ada luka.
“Setan itu nyekek leher gue, Kila. Lu percaya sama gue kalo Bu Tutik jadi setan, kan?” tanya Vani.
Kila terdiam, menoleh ke teman-temannya. Mereka terlihat bingung, terutama Kevin yang bersikap acuh. Pemuda itu bersikukuh bahwa Vani selalu berlebihan—dari kejadian di hutan hingga sekarang di sekolah. Kevin bahkan memperingatkan Vani agar lebih waras, supaya tidak dikeluarkan dari gengnya.
“Ini tuh gara-gara lu, tapi bisa-bisanya lu bilang gue lebay. Lu keterlaluan, Kevin!” teriak Vani.
“Berisik, Vani. Kalo sampe mereka semua tahu kita macam-macam di hutan, berarti ini semua gara-gara lu!”
Kevin gegas keluar, menggebrak pintu UKS hingga semua terperanjat. Bobi dan Agam ikut menyusul, sedangkan Kila tetap di tempat, menarik napas dalam-dalam. Dada terasa sesak, kepalanya pusing memikirkan harus berpihak pada siapa.
Vani kembali merengek, bersumpah bahwa apa yang dikatakannya benar. Agar Vani sedikit lebih tenang, Kila akhirnya berkata bahwa ia percaya. Namun, Kila berpesan supaya Vani jangan banyak bicara di depan Kevin.
......................
Sepulang sekolah, Ratna tiba-tiba merasa ingin pergi ke tempat yang sepi. Ia ingin sendiri, merenungi segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Gadis itu berjalan menuju sebuah bukit, di mana dari sana bisa memandang kota Jakarta dari atas. Ia duduk bersandar di sebuah pohon besar, ditemani buku gambar kosong.
Tangannya lincah menggoreskan pena, menorehkan pemandangan tata kota yang indah. Waktu hampir dua jam berlalu, dan Magrib sebentar lagi tiba. Suasana di bukit yang biasanya ramai, kini hening. Tak satu pun orang melintas.
“Kayaknya aku harus pulang,” ucap Ratna sambil memasukkan peralatan gambarnya ke dalam tas. Gadis berkacamata itu berdiri, berbalik, dan terkejut. Seorang gadis sudah berdiri di belakangnya, tersenyum lebar.
“Na-Naya?” Ratna tergagap.
“Dari kejauhan aku udah lihat, ini kayak… kenal deh. Pas ke sini, eh beneran kamu, Ratna!” Naya berseru dengan penuh kegembiraan. Gadis berambut panjang itu meraih jemari Ratna, lalu menggenggamnya.
Dahi Ratna mengernyit. Entah hanya perasaannya saja, atau memang tangan Naya terasa sangat dingin.
“Kamu malah ngelamun, Rat!”
“Eh, iya, Nay. Seneng banget ketemu kamu di sini. Ternyata kamu udah nggak liburan di rumah nenek kamu, ya?”
Naya mengangguk. “Aku juga sekolah sekarang, sama kayak kamu. Btw, jalan-jalan yuk. Keliling aja di sini sambil cerita-cerita.”
Senyum Ratna mengembang. Ia langsung setuju. Apalagi Ratna merasa senang memiliki teman baru, seseorang yang sama sekali tidak menganggapnya aneh. Kedua gadis itu berjalan di sekitar bukit, sesekali tertawa karena banyak hal yang mereka bicarakan. Tanpa terasa, langit mulai gelap.