Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan di Balik Tirai
Di sebuah kafe yang ramai, Fara duduk di salah satu sudut, sibuk dengan ponselnya sambil sesekali melirik ke arah pintu. Wajahnya terlihat bosan, tapi matanya tajam mengamati.
Tak lama kemudian, seorang gadis masuk. Fara melihatnya dan langsung melambaikan tangan, tersenyum lebar.
...Hanya ilustrasi gambar....
Gadis itu balas tersenyum sambil berjalan menghampiri meja Fara.
"Hai, Risa! Sini, duduk," kata Fara, mempersilakannya. "Apa kabar?"
Risa mengambil kursi di hadapannya, tatapan matanya penuh rasa ingin tahu. "Gue baik. Tumben lo ajak ketemuan?"
Senyum Fara berubah menjadi seringai licik. Ia tidak membuang-buang waktu. "Ada hal yang harus lo lakuin buat gue."
"Bantuin apa?" tanya Risa.
Fara tersenyum sinis, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Sebarin gosip. Bilang aja... bilang kalau Valeria itu cewek murahan. Bilang dia sering gonta-ganti cowok, terus suka godain cowok orang."
Risa terdiam, menatap Fara dengan bingung. "Tapi... kenapa? Dia kan kelihatan baik-baik aja."
"Lo nggak tahu aja," jawab Fara, suaranya dipenuhi kebencian. "Dia itu munafik. Dia pikir dia bisa ngambil semua yang gue mau. Lo nggak usah banyak tanya. Lakuin aja apa yang gue suruh. Gue bakal kasih lo imbalan yang setimpal."
Risa ragu. "Tapi, kalau ada yang tahu?"
"Nggak akan ada yang tahu kalau lo pinter," balas Fara. "Lagian, siapa yang peduli? Anggap aja ini latihan buat lo, biar lo terbiasa."
Risa menghela napas, menimbang-nimbang. Ia tahu ini salah, tapi ia juga tahu Fara bukan orang yang bisa diajak berdebat. Akhirnya, ia mengangguk.
"Oke," kata Risa. "Tapi lo janji, ya, bakal kasih gue imbalan?"
Fara tersenyum puas. "Tentu. Lo cuma perlu lakuin apa yang gue suruh."
"Oke, tapi sebelum itu, gue mau tahu apa imbalannya?" tanya Risa.
Fara menyandarkan tubuhnya di kursi, tersenyum sinis. "Lo mau apa?"
"Gue mau uang," jawab Risa, tanpa ragu. "Seratus juta."
Fara terkejut. "Gila, gede banget! Nggak, gue nggak mau."
"Risikonya juga gede, Fara," balas Risa. "Kalau imbalannya kecil, mending nggak usah."
Fara terdiam, memikirkan cara. Ia menghela napas. "Gimana kalau delapan puluh juta? Kalau lo nggak mau, gue bisa suruh orang lain."
"Yaudah," kata Risa, santai. "Suruh orang lain aja."
Fara menatapnya, kesal. Ia tahu mencari orang lain akan membuang-buang waktu. Akhirnya, ia setuju dengan terpaksa. "Oke, seratus juta."
Risa tersenyum menang.
"Tapi gue bayar cicil," lanjut Fara. "Delapan puluh juta sekarang, sisanya nanti bulan depan. Yang penting, kerjaan lo beres dulu."
Risa mengangguk, puas. Kesepakatan tercapai.
"Senang berbisnis dengan lo," kata Risa. "Jadi kapan lo bayar? Sekarang, kan?"
"Besok," jawab Fara. "Kalau beritanya sudah tersebar, gue bayar delapan puluh juta. Soalnya gue ragu kalau bayar sekarang, belum tentu rencana lo berhasil."
"Oke," kata Risa. "Malam ini gue akan buat berita gosip tentang Valeria dan gue sebarin di grup sekolah."
"Bagus," Fara tersenyum puas. "Gue juga senang berbisnis bareng lo. Lo pesan deh, mau minum atau makan apa. Silakan pesan sesuka lo. Tapi jangan sampai orang lain tau gue yang suruh lo. "
"Tenang aman, dan dengan senang hati gue akan pesan." kata Risa, lalu ia memanggil pelayan.
Pelayan pun datang. Mereka mulai memesan.
"Saya pesan Spaghetti Aglio Olio dan Chicken Katsu," kata Fara, "taruh katsu-nya di atas spageti. Minumnya Lemon Tea."
"Baik," jawab pelayan.
"Saya Steak dengan Saus Lada Hitam," Risa menimpali. "Minumnya sama, Lemon Tea."
Fara menatap pelayan. "Bisa take away?"
"Bisa, Bu," jawab pelayan itu.
"Kalau begitu, saya pesan satu lagi, Spaghetti Bolognese dan minumannya Milk Tea untuk dibawa pulang," kata Fara.
"Baik, akan saya siapkan," jawab pelayan, mencatat pesanan.
"Terima kasih," kata Fara.
Pelayan itu pun pergi. Tidak lama kemudian, pesanan mereka tiba. Pelayan menata hidangan di meja, dan aroma masakan langsung memenuhi udara.
Setelah selesai makan, Fara memanggil pelayan lagi. Tak lama, pelayan itu kembali membawa pesanan takeaway Fara yang sudah dikemas rapi.
"Berapa semuanya?" tanya Fara, sambil mengeluarkan dompet.
Pelayan itu tersenyum sopan. "Semuanya dua ratus lima puluh ribu rupiah, Kak."
Fara membayar tagihan dengan kartu debit, lalu mengambil tas dan bungkusan takeaway-nya. Ia dan Risa bangkit dari kursi.
"Malam ini jangan lupa, ya," bisik Fara sebelum mereka berpisah di depan kafe.
Risa mengangguk, senyum licik di wajahnya. "Tenang aja, gue jamin besok semua orang di sekolah bakal tahu."
Mereka berpisah, Fara masuk ke mobilnya, sementara Risa berjalan cepat pulang, tak sabar untuk menjalankan misinya.
Malam hari, Risa duduk di kamarnya, membuka grup chat sekolah yang ramai. Ia menarik napas dalam-dalam, merasa yakin dengan kerahasiaan identitasnya, karena ia telah membayar orang untuk merahasiakan identitasnya. Ia lalu mulai mengetik, menyebarkan gosip tentang Valeria.
Grup Chat 'Anak-Anak SMA Harapan'
Noname:
Gue denger gosip gila tentang Valeria!
Jihan:
Apaan tuh? Jangan bikin penasaran!
Budi:
Valeria anak mami itu? Kenapa emang?
Noname:
Katanya, dia itu sebenarnya cewek gampangan. Udah sering gonta-ganti cowok, terus suka godain cowok orang lain.
Jihan:
Hah? Seriusan? Nggak percaya gue. Dia kan anak baik-baik.
Budi:
Sumpah? Kalau bener, parah sih. Nggak nyangka.
Pesan-pesan itu menyebar seperti api, memicu diskusi heboh di grup. Ponsel Risa terus bergetar dengan notifikasi dari teman-teman yang penasaran dan ingin tahu lebih banyak.
Sementara itu, di kamarnya, Valeria sedang mengerjakan tugasnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar tak henti. Ia mengambilnya dan melihat puluhan notifikasi dari grup sekolah. Valeria membaca pesan-pesan tersebut, dan matanya membelalak kaget. Ia melihat namanya, disandingkan dengan kata-kata fitnah yang kejam.
Di rumah Aluna, Fara tiba dan langsung meletakkan bungkusan makanannya di meja makan. Tanpa membuang waktu, ia berjalan menuju kamar Aluna. Saat masuk, ia melihat Aluna duduk di meja belajar, sedang mengerjakan soal-soal.
"Lo udah makan?" tanya Fara.
Aluna hanya menggelengkan kepalanya, matanya masih terfokus pada buku.
"Lo makan sana. Ada makanan di bawah, di meja makan," kata Fara, suaranya terdengar tidak sabar.
Aluna hanya diam.
Fara kemudian berkata lagi dengan nada yang lebih tajam, "Sana, Aluna! Jangan bikin gue marah. Kalau lo sakit, gue yang dimarahin! Dikira gue nggak jaga elo. Udah sana, malah bengong."
Aluna menghela napas pasrah, menutup bukunya, melirik sekilas ke arah Fara, lalu keluar kamar menuju ruang makan.
Fara kemudian duduk di tempat tidur Aluna. Tak lama, ponselnya berdering. Nama "Risa" muncul di layar. Fara segera mengangkatnya.
"Halo?"
"Gue udah lakuin, Fara," kata Risa. "Gosipnya udah tersebar di grup sekolah."
Fara tersenyum puas. "Sangat senang mendengarnya. Gue mau lo masukin gue ke grup itu sekarang juga. Gue mau lihat."
"Nggak bisa," jawab Risa. "Kalau mau masuk grup, harus ada izin dari pihak sekolah."
"Terus lo nyebarinnya pakai nama lo sendiri?" tanya Fara, suaranya menuntut.
"Tentu bukan," balas Risa. "Gue pakai nama 'Noname' dna gue udah bayar orang buat mengamankan identitas gue. "
"Gue mau lihat," kata Fara. "Gue mau bukti."
"Lo bisa lihat di ponsel Aluna," jawab Risa, suaranya merendah.
Fara melirik ke arah meja belajar, di mana ponsel Aluna tergeletak. Ia memutuskan panggilan, lalu bangkit dan berjalan ke arah meja itu. Ia meraih ponsel Aluna dan membukanya.
Fara mengambil ponsel Aluna. Ia membuka grup chat sekolah dan melihat pesan-pesan yang sudah menyebar, tersenyum puas membaca semua komentar negatif. Kemudian, Fara mulai mengetik, berpura-pura menjadi Aluna, menambahkan bahan bakar ke dalam api gosip.
Grup Chat 'Anak-Anak SMA Harapan'
Aluna:
Tahu nggak kenapa gue sering banget bareng Valeria? Dia tuh suka deketin cowok yang lagi pacaran sama temen-temen gue. Dia nggak peduli sama perasaan orang lain.
Aluna:
Gue sering liat dia genit-genitan sama cowok, terus pas di depan kita dia sok alim. Munafik banget.
Aluna:
Gue capek ngadepinnya. Makanya gue mending jauhin dia sekarang.
Fara tersenyum puas. Setelah selesai, ia segera menghapus semua pesan yang ia kirim menggunakan ponsel Aluna, serta riwayat percakapan grup chat, sehingga Aluna tidak akan pernah tahu apa yang telah ia lakukan.
Setelah itu, tiba-tiba ponsel Aluna berdering. Terlihat nama "Revan" di layar ponsel.
Aluna, yang baru saja kembali ke kamar, melihat Fara memegang ponselnya. Ia langsung meminta ponselnya kembali, tetapi Fara tidak memberikannya.
"Balikin ponsel gue!" pinta Aluna.
Fara berbisik pelan, menatapnya tajam. "Awas kalau lo bilang sama Revan tentang rencana gue dan tentang gue ada di rumah ini. Awas."
Aluna mengangguk, ketakutan. Fara kemudian mengangkat panggilan itu dan menekan tombol loudspeaker. Fara membisikkan satu kata lagi, "Ngomong!"
"Halo, Aluna?" terdengar suara Revan dari seberang. "Tadi lo buru-buru banget, gue nggak sempat ngobrol banyak. Lo udah di rumah?"
Aluna menatap Fara, matanya dipenuhi air mata. Ia memaksakan dirinya berbicara. "Iya, gue... gue udah di rumah, Van." Suaranya terdengar serak dan bergetar, tidak seperti biasanya.
Revan bisa merasakan ada yang tidak beres. "Lo kenapa? Suara lo kok aneh?"
Fara melotot ke arah Aluna, memberi isyarat agar ia terus bicara.
"Nggak apa-apa," kata Aluna, mencoba terdengar normal. "Gue cuma... capek aja."
"Lo yakin?" tanya Revan, nada suaranya berubah khawatir.
Aluna mengangguk, melupakan bahwa Revan tidak bisa melihatnya. "Iya, yakin. Udah dulu, ya, Van. Gue mau... tidur."
Aluna segera mengakhiri panggilan. Ia mencoba mengambil kembali ponselnya, tetapi Fara menggenggamnya erat. Fara menatapnya tajam, sementara Aluna membalas tatapan itu dengan mata yang penuh kebencian.
Fara tersenyum puas. "Bagus. Sekarang lo tahu apa yang akan terjadi kalau lo nggak nurut sama gue."
Panggilan yang aneh itu meninggalkan Revan dengan perasaan tidak enak.
Fara melemparkan ponsel Aluna kembali ke atas meja "Jangan coba-coba hubungi siapa pun, terutama Revan," ancamnya. Setelah memastikan Aluna menunduk, Fara berbalik dan keluar dari kamar.
Rencana yang Terancam
Di rumah Kian, suasana terlihat tenang. Ia duduk di depan laptopnya, mencari proposal bisnis yang telah ia siapkan. Tangannya lincah membuka folder demi folder hingga akhirnya ia menemukan file yang dicari. Setelah menemukannya, ia menekan tombol print. Suara printer yang mulai bekerja memenuhi keheningan ruangan.
Tiba-tiba, suara notifikasi dari ponselnya terdengar. Kian mengabaikannya sejenak, tapi notifikasi kedua dan ketiga datang bertubi-tubi. Dengan penasaran, ia mengambil ponselnya.
Seketika, matanya membelalak. Layar ponselnya dipenuhi dengan pesan-pesan dari grup chat sekolah. Ia melihat gosip keji yang disebarkan oleh akun bernama "Noname" tentang Valeria. Kian membaca semua pesan itu, mulai dari komentar-komentar jahat hingga pesan dari teman-teman lainnya yang bingung. Ia menyadari apa yang sedang terjadi.
Rencana Fara telah berjalan. Gosip ini adalah serangan pertama.
Kian langsung mengambil ponselnya dan menelepon Revan. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, rencana mereka kini harus berubah.
Revan mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan dari Kian. "Ada apa?" tanyanya, suaranya terdengar malas.
"Lo udah lihat chat grup?" tanya Kian, suaranya tegang.
"Ada apa sih, Ki?" Revan mulai merasa ada yang tidak beres.
"Lo lihat aja," desak Kian.
Revan memutuskan panggilan dan membuka grup chat sekolah. Matanya langsung tertuju pada pesan-pesan yang dikirim oleh akun "Noname." Ia membaca setiap kata, merasakan amarah yang membara di dalam dirinya. Fitnah itu begitu kejam, dan ia tahu siapa yang berada di baliknya.
Di saat yang sama, ponselnya kembali berdering. Kali ini, Damian yang menelepon.
Revan mengangkat panggilan dari Damian.
"Van, lo udah liat grup chat?" tanya Damian, suaranya terdengar panik. "Ini nggak mungkin, kan?"
"Gue udah lihat, Dam," jawab Revan, suaranya berat menahan amarah. "Ini pasti kerjaan Fara."
"Tapi kenapa? Valeria bahkan nggak kenal sama Fara," kata Damian, bingung. "Terus, kenapa dia nyebarin gosip ini? Ada yang aneh, Van. Valeria itu orangnya tertutup, nggak mungkin dia begitu."
"Tunggu, Dam," kata Revan. "Gosipnya disebar pakai akun 'Noname'."
"Iya, kenapa?" tanya Damian.
"Berarti Fara nggak mau langsung ketahuan," jelas Revan. "Dia pakai orang lain, mungkin Risa. Dia sering kelihatan bareng Fara."
"Terus kita harus gimana?" tanya Damian.
Revan menghela napas. "Gue nggak tahu, Dam. Kita harus cari cara buat lawan mereka. Gue bakal cari tahu siapa dalang di balik semua ini."
"Gue juga," timpal Damian. "Gue bakal temuin Valeria."
"Jangan, Dam," kata Revan dengan tegas. "Jangan dulu. Kita nggak tahu apa yang Fara rencanain. Lo ke rumah gue sekarang. Gue bakal hubungin Kian juga. Kita harus bahas ini."
Damian setuju. Panggilan pun berakhir. Revan menatap ponselnya. Ia tahu ia harus menghubungi Valeria, tapi ia juga tahu Fara mungkin mengawasi.
Revan menelepon Kian. Kian langsung mengangkatnya.
"Kian, lo bisa ke rumah gue sekarang? Penting," kata Revan dengan nada serius.
"Oke, gue ke sana sekarang," jawab Kian, lalu menutup panggilan.
Kian segera mengambil kunci motornya dan keluar kamar. Ia menuruni tangga dengan cepat. Papanya, Rex Adrian, yang baru saja tiba di rumah, melihatnya.
"Kian, kamu mau ke mana buru-buru begini? Sudah malam," tanya papanya.
"Ada yang penting, Pa. Kian mau ke rumah Revan," jawab Kian.
"Revan? Revan anaknya Om Daniel?" tanya papanya, memastikan.
"Ya, anaknya Om Daniel, Pa," kata Kian.
"Ya sudah, pulangnya jangan tengah malam, ya. Besok kamu sekolah, kan?" tanya papanya lagi, nada suaranya berubah menjadi perhatian.
"Iya, Pa," jawab Kian.
Kian mencium tangan ayahnya, lalu bergegas keluar. Ia menyalakan motornya, dan dengan cepat melaju meninggalkan rumah menuju kediaman Revan.
Pengkhianatan yang Menyakitkan
Di kamarnya yang sunyi, Valeria mengambil ponselnya. Dengan tangan bergetar, ia membuka grup chat yang tadi bergetar tanpa henti.
Mata Valeria membelalak saat membaca setiap kata yang tertulis di sana. Fitnah keji tentang dirinya yang disebut sebagai 'cewek murahan' dan 'tukang goda'. Napasnya tercekat, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba mencari siapa yang menyebarkan gosip itu, dan pandangannya berhenti pada nama pengirim.
" Aluna. "
Valeria terkejut. Tubuhnya lemas, ia menjatuhkan ponselnya ke kasur. Air mata langsung menggenang di matanya. Ia tidak menyangka. Aluna, sahabat yang ia anggap dekat, tega menusuknya dari belakang. Pengkhianatan itu terasa jauh lebih sakit daripada gosip itu sendiri.
Valeria tidak tahu harus berpikir apa. Sebuah rasa benci yang menusuk tiba-tiba muncul di hatinya. Ia mengingat ketika Aluna dan Revan berpelukan tadi setelah pulang sekolah.
...Flashback Valeria...
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Pemandangan itu kini terasa seperti sebuah sandiwara.
Valeria kini bukan hanya korban gosip, ia juga korban pengkhianatan yang menyakitkan.
Valeria tidak sanggup lagi menahan perasaannya. Ia merosot ke lantai, lututnya ditekuk, dan wajahnya disembunyikan di antara kedua tangannya. Isak tangis yang tertahan akhirnya pecah. Ia menangis, bukan hanya karena gosip keji yang beredar, tetapi karena pengkhianatan yang ia rasakan.
...Hanya ilustrasi gambar....
Di antara air matanya, bayangan Aluna dan Revan yang berpelukan di depan matanya kembali muncul, menambah rasa sakit dan cemburu di hatinya.
Ia merasa begitu sendirian. Terperangkap di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan ketat, dan sekarang, ia yakin telah kehilangan satu-satunya teman yang ia miliki. Valeria tidak tahu harus berbuat apa. Seluruh dunia terasa runtuh di sekitarnya.
Kian tiba di depan gerbang rumah Revan. Ia menekan bel dan tak lama kemudian, seorang pelayan membukakan pintu.
"Revan ada?" tanya Kian.
"Ada, Den. Den Revan di halaman belakang bersama temannya," jawab pelayan itu sopan.
Kian mengangguk dan segera melangkah menuju halaman belakang. Dari kejauhan, ia sudah bisa melihat Revan dan Damian duduk di sofa, dengan wajah tegang.
Revan dan Damian melihat Kian datang. Mereka tidak tersenyum. Damian hanya menatapnya dengan pandangan serius.
"Lo udah lihat kan?" tanya Damian begitu Kian mendekat.
Kian mengangguk. "Udah. Dan ini gila."
Mereka bertiga duduk, dikelilingi keheningan malam yang terasa berat. Mereka tahu ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar gosip. Ini adalah serangan pribadi, dan mereka harus membalas.
Kian mengangguk. "Gue akan coba cari tahu siapa 'Noname' itu. Gue akan minta bokap gue lacak. Dia punya banyak kenalan orang-orang yang bisa melacak nomor handphone."
"Ya, kalau lo udah tahu, kasih tahu gue secepatnya," kata Revan.
Damian menggelengkan kepalanya. "Yang nggak habis pikir... Aluna."
Revan menatap Damian dengan serius. "Gue juga mikir hal yang sama, Dam. Tapi lo lihat kan tadi sore? Dia ketakutan banget. Dan tadi malam gue telepon, suara dia aneh. Kayak dipaksa ngomong."
"Jadi lo pikir ini bukan dia?" tanya Damian.
"Entahlah," jawab Revan. "Tapi gue rasa, ada yang maksa dia. Fara pasti ada di baliknya. Gue harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi sama dia."
Kian yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Gue setuju sama Revan. Ini terlalu rapi. Risa... yang pasti dalang dibaliknya Fara. Tapi Aluna... ini aneh. Gue rasa Fara mengancam dia."
"Jadi kita harus gimana?" tanya Damian.
"Gue bakal terus coba hubungin Aluna," kata Revan. "Dan lo, Ki, lo lakuin yang lo bilang tadi. Kita nggak bisa ngasih tahu Valeria soal ini. Dia pasti lagi hancur banget sekarang."
Mereka bertiga mengangguk. Misi mereka kini bertambah. Selain mengalahkan Diandra, mereka juga harus menyelamatkan Aluna dan membuktikan kebenaran kepada Valeria.
Kian mengangguk. "Oke, kalau begitu gue balik sekarang."
Setelah Kian pergi, Damian mengusulkan, "Gimana kalau kita ke rumah Aluna aja?"
Revan melihat jam di ponselnya. "Ini sudah malam, Dam."
"Kita pantau aja dari jauh," kata Damian, meyakinkan. "Gue nggak yakin Aluna baik-baik aja."
Revan berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Oke, lo benar."
Mereka pun bergegas menuju mobil. Revan menyetir dengan kecepatan sedang, membelah jalanan malam yang mulai sepi. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang Aluna dan Valeria.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan rumah Aluna. Revan mematikan mesin mobil dan mereka berdua duduk dalam diam, mengamati dari kejauhan.
Mata-Mata di Malam Hari
Setelah memastikan Aluna berada di kamar, Fara mengunci pintu dan berjalan menuju ruang tamu. Ia melirik ke arah jendela dan menyadari gordennya tidak tertutup rapat. Ia bergegas berjalan ke arah jendela, lalu menutupnya dengan kasar.
Ketika berbalik, ia merasa melihat sesuatu dari sudut matanya. Ia kembali ke jendela, mengintip dari celah kecil di antara gorden. Terlihat sebuah mobil terparkir di ujung jalan. Fara merasa penasaran. Siapa yang ada di dalam mobil itu? Ia terus mengamati.
Di dalam mobil, Revan dan Damian mengamati rumah Aluna. Namun, mereka tidak menemukan hal yang aneh.
"Kayaknya nggak ada apa-apa, Dam," kata Revan. "Mungkin kita cuma paranoid."
"Gimana kalau kita pantau sebentar lagi?" usul Damian.
"Nggak bisa, Dam. Kalau kita di sini terus, bisa dicurigai," kata Revan. Ia membuka pintu mobil dan keluar. Ia berjalan perlahan, mencoba melihat ke sekeliling.
Di dalam rumah, Fara terkejut. Ia melihat Revan keluar dari mobil. Wajahnya langsung tegang.
Misi Rahasia Kian
Di rumah Kian, ia berlari menuju ruangan gelap yang tidak pernah ia gunakan. Begitu masuk, ia segera menyalakan komputernya. Layar-layar menyala, memancarkan cahaya biru yang menerangi wajahnya. Kian mulai melakukan aksinya sebagai seorang peretas.
Di luar ruangan, ayahnya, Rex Adrian, melihat cahaya dari celah pintu. Ia heran, karena tidak biasanya Kian berada di ruangan itu. Rex Adrian berjalan pelan, lalu mengetuk pintu.
"Kian?" panggilnya.
Kian menoleh kaget. "Pa!"
Rex Adrian membuka pintu dan masuk. Ia memandang Kian, lalu menatap layar komputer yang menampilkan kode-kode rumit. "Kamu sedang apa di sini? Tidak biasanya kamu di sini," tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. "Apa yang akan kamu lakukan? Apa yang akan kamu lacak sekarang?"
Kian tahu ia tidak bisa menyembunyikan ini dari ayahnya. Ia memutar kursinya menghadap Rex Adrian.
"Ada masalah, Pa. Ada gosip kejam yang disebar tentang Valeria di grup chat sekolah," jelas Kian. "Pelakunya anonim, pakai nama 'Noname'. Aku mau melacak siapa di balik nama itu."
Rex Adrian terdiam, mencerna informasi. "Gosip? Tentang Valeria?"
Kian mengangguk dan mengatakan, "Ya, Pa. Ini fitnah. Dan aku rasa ini ada hubungannya dengan Fara. Tapi yang paling aneh, yang menyebarkan gosip itu... Aluna."
"Aluna? Fara?" tanya Rex Adrian, ekspresinya bingung. "Siapa Aluna dan siapa Fara?"
"Aluna teman sekelasku, Pa. Dan Fara, dia mantan dari temanku," jawab Kian.
"Tapi apa masalahnya?" tanya ayahnya.
"Kian nggak tahu, Pa, tapi Kian yakin Aluna tidak menyebarkan gosip itu kecuali..." Kian tidak melanjutkan kalimatnya.
"Kecuali siapa?" kata ayahnya.
"Fara!" kata Kian, dengan nada yakin.
"Kamu yakin?" tanya ayahnya lagi.
"Kian yakin, Pa. Makanya Kian mau cari bukti agar tidak asal menuduh. Aluna tidak mungkin melakukannya, Pa. Dia ketakutan. Revan curiga ada yang mengancamnya. Aku harus mencari tahu siapa yang menggunakan namanya," jelas Kian.
Rex Adrian menatap Kian. Ekspresinya melunak. Ia menghela napas. "Baik. Kamu tahu, melacak identitas anonim itu bukan hal yang mudah. Itu butuh alat dan koneksi yang rumit." Ia menepuk pundak Kian. "Biar Papa yang urus. Papa punya kenalan di bidang ini."
"Nggak, Pa, Kian mau coba sendiri," Kian menolak dengan halus. "Walaupun sudah lama, Kian mau coba. Siapa tahu Kian belum lupa."
Rex Adrian tersenyum bangga. "Baiklah, tapi jika menemukan kendala, beritahu Papa."
"Iya, Pa," jawab Kian.
Rex Adrian meninggalkan Kian sendirian di ruangan itu. Kian segera mengambil ponselnya dan mulai beraksi, melacak nomor di balik nama "Noname".
Kian mulai mengutak-atik, Jemari Kian menari di atas keyboard dengan kecepatan luar biasa. Layar-layar di depannya dipenuhi dengan barisan kode yang mengalir cepat. Dia masuk ke dalam sistem, mencoba mencari celah untuk melacak jejak anonim dari akun "Noname".
...Hanya ilustrasi gambar....
Kian tidak mencari nama atau nomor ponsel. Dia tahu, cara paling efektif untuk menemukan pembuat akun anonim adalah melacak alamat IP yang digunakan saat pesan pertama kali dikirim. Dia menyelam lebih dalam, melewati firewall dan server yang rumit, mengikuti jejak digital yang samar.
Kian tersenyum tipis. Dia berhasil. Jejak itu membawanya ke sebuah alamat IP. Namun, saat dia mencoba melacaknya lebih dalam, dia menyadari sesuatu. Alamat IP itu hanyalah sebuah proxy server. Pengirimnya cerdik, menyamarkan identitas asli mereka. Ini bukan pekerjaan amatir, melainkan pekerjaan profesional.
Kian tidak menyerah. Dia melacak lagi, mencari sisa-sisa jejak yang mungkin tertinggal. Matanya terpaku pada detail kecil yang tersembunyi: metode pembayaran yang digunakan untuk menyewa layanan proxy tersebut. Dia berhasil menemukan nama perusahaan yang membayar layanan itu. Sebuah nama yang ia kenal.
PT Cahaya Sukses Mandiri.
Jantung Kian berdetak kencang. Ia mengenali nama itu. Itu adalah nama salah satu perusahaan klien ayahnya. Dan, lebih penting lagi, itu adalah nama perusahaan yang sering disebut-sebut oleh papanya dalam percakapan bisnisnya.
"Risa..." gumam Kian, matanya melebar. Dia punya bukti. Ini bukan hanya gosip biasa, ini adalah bagian dari skema yang jauh lebih besar. Risa bukan dalang utamanya, ia hanyalah alat.
Kian kini memiliki bukti kuat yang bisa membuktikan siapa dalang di balik semua ini.
Bersambung....