Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Waktunya Menghukum Seno Dengan Cara Yang Paling Menyakitkan
Melati mengusap wajahnya kasar, lalu dengan kesal mulai menarik kursi yang ada di depan matanya.
Brak! Suara itu menggema, Kemuning menangis melihat kakaknya yang sekarang menjadi tempramental.
"Benar kata si mas, Mbak galak, Mbak nyebelin, Mbak kaya bapak!" teriak Kemuning yang kemudian berlari dengan kaki yang sedikit pincang, gadis kecil itu lari ke kamarnya dan Kemuning menutup pintu kamarnya dengan kencang.
"Aaaaaaaaa!" teriak Melati sambil terus menatap pintu kamar yang berada di ujung lorong sana.
Lalu, si mbok menghampiri, dia memeluk Melati, mengusap punggung gadis itu. "Sabar, Non. Nanti sore mbok mau pergi ke desa sebelah, katanya di sana ada orang pinter," ucapnya.
Melati menjawab dengan mengangguk pelan.
"Udah, jangan nangis lagi," sambungnya dan Melati mengusap air matanya yang terus mengalir.
Melati menghampiri kursi yang lain, dia duduk dan menyembunyikan wajahnya di sana. Si mbok menghela nafas dalam. "Mungkin, aku harus ceritakan kebenarannya, selagi aku masih ada umur," batinnya.
Sekarang, si mbok ikut duduk di salah satu kursi meja makan itu. "Lima tahun lalu, mbok pergi menemui Ibu di rumah sakit jiwa," tuturnya dan Melati yang ingin mendengarkan lebih lanjut itu mulai mengangkat kepalanya, merapikan rambutnya ke belakang telinga.
"Kenapa, Mbok? Kenapa mereka harus meninggalkan Melati dan Muning secepat ini?" tanya Melati dengan sesenggukan.
Lukanya masih menggerogoti dada, laranya tak ada satupun yang dapat mengerti. Di tambah lagi Melati baru saja mengalami pelecehan dan dia tak dapat mengadu pada siapapun. Tentu saja itu menjadi luka yang terpendam, yang siap meledak kapanpun, hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Ibu gila nggak wajar, ibu sering cerita kalau tiba-tiba lihat makanan yang mbok sajikan itu bergerak-gerak, ada cacing, belatung. Tapi, mana mungkin mbok menyajikan makanan seperti itu untuk keluarga yang sudah sangat baik sama si mbok, ini?"
Melati terdiam, dia memikirkan sesuatu, dia kira sebelumnya ibunya meninggal karena kutukan yang terus mengejar mereka.
Jika gila karena tidak wajar, maka berarti ada tersangkanya. Dalam hati, Melati mulai bertanya-tanya, siapa pelakunya.
"Lalu, apa lagi, Mbok?" tanya Melati saat si mbok berhenti bercerita.
"Ada dua mahluk yang terus mengejar ibu, mereka nggak bisa melihat ibu tenang barang sedetik pun."
"Kenapa mbok nggak nolongin ibu?" tanya Melati dengan suara yang bergetar karena menahan tangisnya.
"Andai saja ibu nggak gila, ibu nggak meninggalkan kami secepat ini, mungkin Melati dan Muning nggak akan terlalu menyedihkan seperti ini, kami masih memiliki tempat buat kami berlindung, Mbok!"
Si mbok terdiam, dia sedikit kecewa dengan apa yang baru saja Melati ucapkan. Apakah perlindungan dan semua yang sudah dia lakukan untuk Melati dan Kemuning masih kurang? Sehingga Melati tak menganggapnya seperti ibunya sendiri?
"Sekarang ada si mbok, Non. Mbok akan berusaha keras buat matahkan kutukan itu, mbok janji, mbok akan selalu ada di sisi Non Melati dan Muning," sahut Mbok Sum dengan suara lirih, terdengar sangat meyakinkan.
Melati segera memeluk tubuh wanita kurus itu.
"Maaf, Mbok. Bukan Melati nggak melihat semua kebaikan mbok, tapi Melati dan Muning sangat merindukan ibu, seperti teman-teman kami, mereka akan mengadu ketika di sekolah ada yang mengganggu kami, dengan adanya ibu membuat hidup kami lebih berarti, Mbok," tangis Melati yang semakin pecah.
Si mbok mengusap punggung Melati. "Non bisa ceritakan apapun itu sama si mbok, anggap saja si mbok seperti ibu non sendiri," kata Mbok Sum.
Lalu, Melati melepaskan pelukannya, dia menatap lekat si mbok, si mbok pun bertanya, "Ada apa, Non?"
"Kalau ada ibu, Melati akan menceritakan semua yang Melati keluhkan, lalu kira-kira apa tanggapan ibu?" tanyanya dengan suara lirih, bahkan lebih lirih dari suara jendela yang sedikit tertiup angin sepoi-sepoi.
Mbok terdiam, dia merasa ada yang berbeda dari Melati. Dari Caranya bertanya dan menatapnya.
"Kalau anak mbok bercerita, mbok akan mendengarkan, memberikan nasehat jika salah," jawab si mbok dengan sedikit mengangguk.
"Lalu, kalau ada yang mengganggu kami, apa yang akan ibu lakukan?" tanya Melati lagi.
"Kalau mbok jadi seorang ibu, mbok akan membalas sakit hati itu."
"Benarkah, mungkin seperti itu rasanya punya ibu," kata Melati seraya mengusap air matanya.
Sekarang, Melati menatap si mbok lagi, menatap dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kalau mbok jadi ibu Melati, apa mbok mau membalaskan sakit hati Melati?"
Mbok terdiam untuk sejenak.
Lalu, wanita tua berkebaya itu mengangguk, dia sudah menganggap Melati seperti anaknya sendiri, ditambah lagi dengan janji yang sudah dia buat dengan juragannya dulu, tanpa terasa cinta itu tumbuh kuat untuk dua anak-anak kecil malang tersebut, mbok juga tidak memperhitungkan soal gaji, baginya apa yang Melati berikan sudah cukup.
Apalagi Melati dan Kemuning tidak sekaya dulu, banyak tanah yang terpaksa harus dijual untuk mengobati penyakit Drajat sebelum akhirnya meninggal.
Belum lagi biaya Karsih di rumah sakit jiwa, biaya itu tak sedikit, persaingan bisnis juga semakin ketat.
"Kalau begitu, Melati ada satu permintaan sama mbok, Melati harap mbok nggak ingkar janji buat menghukum orang yang udah nyakitin Melati!" Melati menggenggam tangan si mbok yang ada di atas meja.
"Siapa yang sudah menyakiti anak si mbok? Katakan, biar mbok hukum mereka!"
"Dia Seno, sering bully Melati dan Muning di sekolah, Melati ingin melihat dia mati dengan cara mengenaskan, Mbok!"
Mendengar itu, si mbok pun tau apa yang harus dilakukan.
"Non Melati mau melakukannya dengan tangan ini atau membunuh tanpa menyentuh?"
Melati mengerutkan keningnya, dia berpikir apakah ada yang bisa membunuh tanpa menyentuh?
"Yang paling menyakitkan, mbok!" jawab Melati dengan tatapan dingin dan benar apa yang dikatakan oleh Kemuning, Melati memiliki hati seperti Drajat, terbukti sudah.
Melati hanya ingin hatinya puas, jika ada yang harus terluka ialah Seno, bukan dirinya. Apalagi untuk berpikiran pendek seperti mengakhiri hidupnya, Melati tidak mau, dia yang terluka maka yang membuat luka itu harus menderita!
Singkat cerita, sore telah tiba, Melati mencoba mengetuk pintu kamarnya, memanggil sang adik yang masih mengurung diri dalam sana.
"Muning, buka pintunya! Kamu belum makan dari siang, ayo makan dulu!" teriak Melati seraya memainkan gagang pintu.
Ceklek-ceklek, bunyinya.
Tak ada jawaban, Melati pun menempelkan Daum telinganya ke pintu. "Muning!" panggilnya lagi dan masih tetap tidak ada jawaban.
"Ya udah, kalau kamu ngga mau buka pintu, kamu pikir mbak bakalan memohon? Terserah kalau kamu nggak mau makan, mbak capek, mbak capek sama semua ini!" teriak Melati yang terdengar sangat kesal.
Lalu, si mbok datang menghampiri, dia pamit pada Melati, mengatakan kalau akan pergi ke desa sebelah untuk mencari dukun yang sanggup mematahkan kutukan itu.
"Ya, Mbok. Hati-hati," jawab Melati singkat.
Mbok mengangguk, tidak lupa berpesan supaya Melati harus lebih banyak bersabar dan Melati memalingkan wajahnya. Hatinya sudah mati, beku, tak lagi memikirkan perasaan orang lain.
Untuk apa? Bahkan dia sendiri selalu terluka, sudah begitu masih ada yang tega menodai gadis pincang sepertinya, apakah kekurangannya dijadikan kelemahan oleh mereka yang sempurna?
Tes, satu tetes air mata jatuh ke pipinya, Melati segera mengusapnya. Kali ini dia sadar, kesalahannya adalah terlalu lemah.
Sekarang, Melati akan melawan apapun yang ada di depannya, termasuk kutukan itu!
Terus saksikan kisah Melati yang ingin membalas dendam dan mematahkan kutukan yang menjeratnya, mohon dukungannya, ya. Like, komentar dan jangan lupa subscribe biar author terus semangat buat updatenya.