NovelToon NovelToon
Pesona Dokter Duda Anak Satu

Pesona Dokter Duda Anak Satu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta setelah menikah / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: My Starlight

"Itu hukuman buat kamu! Jangan sampai kau melanggar lagi aturan sudah yang aku buat. Kalau tidak …." Kalimatnya menggantung.

"Kalau tidak apa, Kak?" tanya Lyana mulai berani.

"Sesuatu yang lebih buruk dari ini akan terjadi." Anggara berlalu dari hadapan Lyana. Aliran darahnya mulai memanas.

"Hah, sesuatu yang buruk? Bahkan kakak sudah mencuri ciuman pertamaku, menyebalkan." Kini giliran Lyana yang marah. Dia membuka dan menutup pintu kamar dengan keras. Sirkuasi udara di dalam kamar seolah berhenti seketika.

"Ciuman Pertama? Hah, pandai sekali dia berbohong."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon My Starlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hujan di mata Lyana

Apa maksud anda tuan? surat apa ini?" Lyana menggeserkan pantatnya, memberi jarak aman. Ada sesuatu yang ingin meledak di dadanya, peraaaan kesal, kecewa, marah bercampur jadi satu. Namun entah pada siapa harus meluapkanya. Sudut matanya mulai berakhir tapi dia tahan, ingin mendengar jawaban Atmojo.

"Kau benar-benar lupa?" Lihat tanda tanganmu ada disini, " tunjuk Atmojo di coretan bawah ada nama Lyana.

"Saya tidak pernah menandatangi itu," jawab Lyana lebih berani, walaupun suaranya lantang mengantakan itu, tapi tidak hanya sudut hatinya yang terluka tapi seluruhnya hancur.

"Sialan, Anggara atau Hardianto yang memalsukan tanda tangan ini. selidiki cepat ! " perintahnya pada laki-laki yang hanya menggunakan kemeja coklat itu. Atmojo marah, dia melemparkan gelas es jeruk yang sudah habis ke sisi kanan Lyana.

" Jadi sekarang katakan, kau sudah hamil atau belum?" Atmojo tak sabar ingin tahu.

"Belum, tapi .... " Lyana menggantungkan kalimatnya.

"Tapi apa?" Atmojo penasaran.

"Tapi kenapa anda melakukan ini ?" air matanya kini sudah tak terbendung lagi.

"Cih, hapus air matamu. Kau tanyakan langsung pada Ayahmu itu." Atmojo berdiri dan berlalu begitu saja keluar dari kediaman Anggara.

Langit menghitam, angin menyapu dengan kerasnya. Debu dan daun-daun yang sudah kering berterbangan, seketika sirkulasi udara terasa pengap. Ditemani nyanyian ranting pohon mangga yang saling bergesek, perlahan tetesan air dari langit itu mulai terjatuh. Sebagian mendarat di pipi Lyana luruh bersama air matanya.

"Hah, perasaan apa ini kenapa rasanya sakit sekali," Lyana mencoba menghapus air matanya. Kecewa, Ayahnya bahkan tidak mengatakan apapun saat kemarin di rumah sakit kecuali permintaan maaf. Anggara dia juga terlalu sibuk dengan dunianya, harusnya Lyana tetap tinggal di rumah Popy tadi.

Hujan mulai deras, Lyana masih duduk di saung. Kaki yang masih menjuntai di tanah itu ditarik ke atas, menekuk lututnya. Semilir angin yang berhembus bersamaan dengan deras nya hujan membuat tubuh Lyana basah.

Bi Nina yang baru saja keluar kamar Reno, mengucek matanya pelan. Samar-samar melihat Lyana masih di sana.

"Ya ampun, Mbak Ly !" pekik Bi Nina sambil berlari mengambil payung. Angin yang kencang membuat langkah kaki Bi Nina terasa berat, pelan-pelan dia berhasil sampai ke arah saung.

"Mbak Ly, ayo masuk," ajak Bi Nina sambil menyodorkan gagang payung ke depan wajah Lyana. Lyana hanya mendongkak, dan membenamkan lagi wajahnya. Lyana cuma mau Anggara yang datang menjelaskan semuanya. Bi Nina melihat mata yang memerah itu jadi merasa iba.

"Ayo mbak, hujanya semakin deras." imbuhnya lagi dengan suara yang lebih keras. Namun Lyana hanya menggeleng, dia memilih mundur dan bersandar pada dinding yang terbuat dari bambu itu.

"Mbak, ayo ! disini dingin nanti mbak bisa sakit." Ajak bi Nina lagi, dia mulai khawatir kemudian ikut duduk di samping Lyana. Perempuan itu cemas, dia takut jika nanti terjadi apa-apa sama Lyana, apalagi baru saja pulang dari rumah sakit.

"Aku nggak papa bi, Bibi masuk aja ya, " pinta Lyana.

"Aku mau nunggu Kak Anggara pulang." ucapnya kemudian, pandangan matanya sekarang beralih ke jendela kamar miliknya yang ada di lantai atas. Bukan miliknya, tapi milik Anggara. Lyana tersenyum getir, mengingat beberapa hari yang lalu melakukan banyak hal di kamar itu.

"Apa yang kamu harapkan Ly? bahkan Kak gara juga cuma jadiin kamu pelampiasan nafsunya saja." batinya membenarkan itu, seperti luka yang disiram air asam, rasanya semakin perih terbakar.

"Kita masuk bareng Mbak, Ayo !" Bi Nina menarik tangan kanan Lyana, menatap cincin yang melingkar dijari manisnya.

"Sepertinya Mas Anggara sudah membuka hatinya untukmu Mbak," gumam Bi Nina, bibirnya tersenyum tipis.

"Bi, aku masih mau sendiri. Masuklah dulu, nanti aku nyusul," ujar Lyana sambil melepaskan tangan Bi Nina.

"Hmm, baiklah, jangan terlalu lama Mbak." Bi Nina meletakan satu payung yang masih tertutup di samping kaki Lyana .

*

Unit Gawat Darurat hari ini masih ramai, walaupun ranjang tidak penuh seperti semalam tapi beberapa orang berdatangan untuk memeriksa keadaan kesehatanya pasca kebakaran yang terjadi kemarin. Polisi yang masih menyelidiki kasus itu mondar-mandir bergantian menjaga para korban yang dua diantaranya adalah saksi.

Di sebuah lorong yang menguhubungkan antara kantin dengan ruang tunggu pasien dengan sedikit berlari Anggara menghubungi Bi Nina. Panggilan terhubung namun tidak di angkat. Beberapa kali mencoba tetap tak ada jawaban.

Hari ini berjalan dengan sangat cepat, setelah dari poliklinik dia membantu teman sejawatnya di UGD. Dokter magang sedang ijin, sementara dokter seniornya memang sedang cuti.

Pasien terakhir adalah perempuan muda yang menjadi korban KDRT oleh suaminya. Luka bakar karena setrika itu sudah merusak jaringan kulit wajahnya. Entah penyiksaan seperti apa yang di lakukan suaminya, hampir seluruh tubuh perempuan itu membiru. Bahkan di leher perempuan itu membekas tiga luka sundutan rokok yang masih baru.

Perempuan itu hanya terdiam ketika Anggara mengobati lukanya. Dia sudah tidak menangis lagi seperti tadi pertama kali datang. Melihat rambutnya yang bergelombang, Anggara jadi teringat Lyana dan panggilan dari Bi Nina. Setelah memberikan beberapa resep obat kepada perawat yang ada di depanya, Anggara berpamitan.

Baru sampai parkiran rumah sakit, ponselnya kembali berdering.

"Halo bi, ada apa? maaf tadi banyak pasien," ucap Anggara ketika panggilan itu sudah terhubung.

"Mbak Lyana Mas... " suara bibi terdengar bergetar.

"Kenapa bi?" tanya Anggara mulai khawatir, namun yang disebrang telfon malah terdiam.

"Mas Anggara cepat pulangnya. Bibi mau siapin mandi Reno dulu," jawab Bi Nina akhirnya memakai nama Reno.

"Ya sudah, aku pulang sekarang." ucap Anggara kemudian setelah duduk di belakang pengemudi.

"Hati-hati di jalan Mas," panggilan itu langsung terputus, tapi tidak dengan rasa penasaran Anggara.

Jam pulang kerja membuat jalanan di Ibu Kota semakin padat, Anggara beberapa kali menekan klaksonya tak sabar ingin sampai rumah. Begitu ada kesempatan, Anggara menambah kecepatan. Selain Reno, Lyana sekarang menjadi alasanya untuk terus memacu kendaraanya.

*

Di depan pintu kamar.

Anggara menghembuskan nafasnya kasar, setelah lama terdiam dia akhirnya masuk kedalam. Baru beberapa langkah kakinya terhenti hampir saja dia terjatuh, genangan air dimana-mana. Samar, dia juga mendengar suara gemricik air dari dalam kamar mandi. Anggara mengendurkan dasinya, setelah kancing di pegelangan tangan itu terbuka dia menariknya sampai ke sikut. Turun kebawah mengambil kain pel kemudian membersihkanya.

Lama dia menunggu pintu kamar mandi itu terbuka. Lyana keluar dengan handuk di atas kepalanya, berjalan melewati Anggara begitu saja. Tatapan matanya kosong, bahkan Lyana tanpa ragu melepas handuk piyamanya dan memakai baju di depan Anggara.

Sementara Anggara melihat Lyana penuh tanda tanya. Ada apa?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!