NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12. Wanita Masalalu Benjamin

...•••...

"Nona..." panggil Ben pelan, tapi tak ada tanda pergerakan dari Hayaning.

Ia menatap wajah perempuan itu yang tertidur dengan napas teratur di dadanya, sebelum akhirnya menghela napas panjang. Dengan hati-hati, Ben menggeser posisinya lalu menggendongnya dalam dekapan yang kokoh.

"Syukurlah, listrik sudah menyala kembali," pikirnya lega saat melihat lampu-lampu yang kini menerangi ruangan. Ia melangkah menuju kamar, memastikan Hayaning tetap nyaman dalam tidurnya.

Ben membaringkan Hayaning di ranjangnya dengan penuh kehati-hatian. Saat hendak menarik selimut, matanya tanpa sengaja menangkap sosok perempuan itu—begitu aduhai, dengan paras ayu dan rupawan khas wajah Asia yang memancarkan pesona luar biasa.

Ben mendecak pelan, lalu mengalihkan tatapannya. “Dasar bodoh...” gumamnya pelan pada dirinya sendiri, berusaha menepis pikirannya yang melantur.

Dengan gerakan cepat namun tetap lembut, Ben menarik selimut hingga menutupi tubuh Hayaning sepenuhnya. Ia menatap wajah perempuan itu sejenak, memastikan ia tertidur dengan nyaman, sebelum akhirnya melangkah keluar dengan langkah pelan, meninggalkan kamar dengan isi kepala yang mulai kacau.

•••

Paginya, mereka memutuskan untuk segera pulang. Hayaning sebenarnya masih betah disana sebab suasananya benar-benar membuatnya tenang.

"Tempatnya benar-benar membuatku enggan pulang," gumamnya pelan sambil menatap ke luar jendela, menikmati pemandangan air terjun yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi.

Ben yang sudah bersiap-siap hanya melirik sekilas ke arah Hayaning. "Nona bisa datang kemari kapan saja jika Nona mau, tapi untuk sekarang kita harus segera pulang," ucapnya, suaranya terdengar datar seperti biasa, tetapi ada nada pengertian di dalamnya

Hayaning menghela napas pelan, matanya masih terpaku pada air terjun yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Ada keengganan yang jelas dalam sorot matanya, seolah ia ingin menyatu lebih lama dengan ketenangan di tempat itu.

"Ya, terimakasih Ben. Oh ya..." Haya hendak melepas selendang di lehernya, namun Ben menahannya.

"Ben?"

"Jangan dikembalikan, saya ingin memberikannya pada Nona, selendang ini sangat cocok dan cantik dipakai Nona Hayaning."

"Tapikan ini milik peninggalan mendiang ibumu."

"Ya, tak apa Nona. Ibuku masih memiliki banyak yang lainnya."

Hayaning menatap Ben dengan ragu, jemarinya masih menggenggam ujung selendang itu dengan canggung. "Tapi... ini terlalu berharga, aku tidak bisa menerimanya begitu saja," ucapnya pelan, suaranya dipenuhi kebimbangan.

"Nona sudah menerimanya sejak pertama kali saya memakaikannya di bahu Nona tadi malam," katanya dengan senyum tipis yang terbit di bibirnya. "Lagipula, ibu saya pasti senang kalau selendang ini digunakan oleh seseorang yang menghargainya."

Hayaning terdiam, merasakan kehangatan yang menjalar di dadanya. Ia menyentuh selendang itu dengan lembut.

"Baiklah," akhirnya ia mengangguk, tersenyum kecil. "Terimakasih, Benji."

Ben menatapnya sekilas, lalu mengangguk singkat. "Sama-sama, Nona," ucapnya, sebelum berbalik dan melangkah menuju motor gedenya. "Kita harus segera berangkat sebelum hujan turun lagi."

Hayaning mengikutinya dari belakang, kembali dipakaikan helm oleh Ben sebelum akhirnya naik di belakangnya. Tangannya ragu-ragu saat menyentuh pinggang pria itu, tapi Ben tanpa berkata apa-apa menarik tangan Hayaning agar lebih erat melingkar di tubuhnya.

"Pegangan yang kuat, Nona. Jalanan turun bisa licin," ucapnya tanpa menoleh, suaranya tetap datar namun dapat membuat jantung Hayaning berdetak lebih cepat.

Perempuan itu menggigit bibirnya, lalu perlahan mempererat pelukannya di pinggang Ben. Kehangatan tubuhnya terasa di balik jaket kulit yang dikenakan pria itu, memberikan rasa aman yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Saat motor mulai melaju melewati jalan berliku yang masih basah setelah hujan malam tadi, Hayaning mendongak sedikit, matanya menatap pemandangan yang perlahan menjauh. Ada sedikit perasaan enggan meninggalkan tempat itu, tapi di sisi lain ia senang karena bisa menghabiskan waktu dengan Benjamin.

•••

Ben terengah-engah dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya, selain itu ia dapat merasakan m*liknya dibawah sana berkedut, sebab bermimpi berhubungan dengan Hayaning.

"F*ck!" Ben kesal, sebab mimpi tak be*moral itu sudah empat kali mendatanginya.

Ia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam, oh tidak, ternyata dia sudah lama tertidur sejak pukul lima sore tadi.

Ben segera beranjak dari ranjang kasur, lalu pergi menuju kamar mandi untuk menyegarkan pikirannya yang kacau balau.

•••

"Buatin gue Koktail," ucap Ben pada bartender yang sudah kenal betul dengan pelanggan setianya itu.

Bartender itu hanya mengangguk, tangannya cekatan meracik minuman sambil sesekali melirik ke arah Ben yang duduk dengan ekspresi datar khasnya.

"Udah lama lo ngga keliatan, lagi stress ni?" tanyanya santai, sudah biasa bergurau dengan Ben sebab mereka adalah teman di satu organisasi yang sama dahulu.

Ben hanya menghela napas pelan, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja bar. "Stres? Oh C'mon Javas. Apa orang datang kemari hanya untuk menghilangkan stres?" Tanyanya singkat, meskipun memang benar pikirannya penuh dengan bayangan seseorang yang belakangan ini terus menghantuinya.

Javas terkekeh kecil, meletakkan gelas berisi koktail di depan Ben. "Are you serious dude?"

Ben mengambil gelas itu, memutarnya sedikit sebelum meneguknya perlahan. Cairan itu menghangatkan tenggorokannya, tapi tidak cukup untuk mengusir keresahan yang berdiam di dadanya. "Persetan dengan kata-kata lo!"

Javas tersenyum samar. "Gue tebak, soal cewek kan?"

Ben mendengus dingin, "lo lupa siapa gue, Javas? Ah Shit! Satu lagi!" Ia memberikan gelas yang telah kosong itu untuk kembali dibuatkan koktail.

"Atau karena Louisa, sang mantan balik lagi huh?"

Ben mendongakkan kepalanya, menatap Javas dengan tatapan menyipit. "Maksud Lo?"

Javas dengan cekatan membuat kembali koktail, "dua hari lalu dia kesini, nanyain lo."

"F*ck!" Rahangnya mengeras, ia tak suka ketika perempuan itu ingin kembali mengusiknya.

"Apa yang dia omongin?"

"Ya, cuma nanya keberadaan lo aja. Gue ngga kasih tau lah, she's dangerous. (dia berbahaya), perempuan gila." Ucapnya. Tak lama itu, Javas memberikan kembali gelas yang berisi koktail padanya.

Ben meraih gelas itu dengan gerakan yang lebih kasar dari sebelumnya. Rahangnya mengatup rapat, sementara matanya menatap nanar ke dalam cairan berwarna amber di dalam gelasnya. Tanpa ragu, ia meneguk habis isinya hingga tandas, seolah berharap alkohol bisa meredakan kekacauan di kepalanya.

"Persetan dengan perempuan itu. Buatin gue lagi," ujarnya, menyodorkan gelas kosong untuk yang kesekian kalinya ke arah Javas.

Javas hanya menghela napas, sudah terlalu paham bahwa Ben sedang dilanda frustrasi. Meski begitu, ia tahu pria itu terlalu keras kepala untuk mengakuinya secara langsung.

Ben memang peminum yang tangguh. Alkohol seperti tak pernah benar-benar bisa menjatuhkannya. Berbeda dengan kakaknya, Sean—pria yang selalu menjaga pola hidup sehat dan hampir tak pernah menyentuh minuman keras. Sebagai seorang dosen, Sean memiliki batasan-batasan yang selalu ia patuhi, sementara Ben sebaliknya. Ia menikmati mabuk, menikmati pelarian dari kenyataan yang membuatnya frustasi.

"Ben, lo butuh cewek ngga?" suara Javas tiba-tiba menyelinap, penuh nada godaan khasnya. Sialan memang Javas, ia malah menawari dosa pada Ben.

Ben melirik tajam. "Shut up Javas!"

Javas berdecak. "Jangan sok suci gitu, lo! Mau ngga gue kenalin cewek bule, sama kayak lo, cuma bedanya lo mix asli Indonesia. Beh, m4ntep deh!" katanya sambil tertawa kecil, menuangkan minuman ke dalam gelas.

"Shit! "F*ck you bastard!"

Javas terkekeh geli, senang sekali melihat teman nya ini tantrum.

"Well, yang gue omongin datang juga." Ujarnya sambil melirik ke arah pintu. Mata Javas menangkap sosok perempuan bule berambut pirang dengan pakaian yang kadung terbuka, duduk disebelah Ben.

"Javas, I want one cocktail, seperti biasa," ujar perempuan itu dengan suara lembut.

Damn! Ben mengenal suara itu. Seketika ia menoleh, dan benar saja, itu Veronica.

"Oh Gosh, akhirnya kita bertemu, honey! Kamu datang juga ke sini!" seru Veronica dengan mata berbinar.

Sial. Ini pasti bukan kebetulan, sebab menangkap ucapan Veronica yang memang seperti menunggunya, ia yakin bahwa mantan kekasih selama satu bulannya ini sengaja mencarinya di Bar yang biasa Ben kunjungi.

Ia masih mengingat pertemuan terakhir mereka, di apartemen Sean.

Tatapan Ben menggelap. "Untuk apa kamu mencariku?" tanyanya dingin, ekspresinya kaku tanpa emosi.

Veronica tersenyum, matanya berbinar genit. "Aku rindu kamu," bisiknya menogoda.

Ben mendengus, mencoba mengendalikan amarah yang tiba-tiba muncul di dadanya.

"Cewek gila!" desisnya, kehilangan selera untuk terus berada di sana. Ia beranjak dari kursinya, berniat pergi, tapi Veronica dengan cepat menghadangnya.

"Minggir dari jalan saya!" suara Ben terdengar tajam dan tegas.

"Aku ngga mau," Veronica menjawab dalam bahasa Indonesia yang cukup lancar, membuat Ben semakin kesal.

Tangan Veronica mulai bergerak, hendak menyentuh perut bawah Ben. Namun, secepat kilat, Ben menepis tangan perempuan itu dengan kasar.

"Kenapa, Ben? Bukannya kamu suka melakukannya denganku, hmm?" suaranya penuh godaan.

"Damn! You're crazy!" pekik Ben dengan nada kesal, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh penasaran.

Tanpa banyak bicara lagi, Ben bergegas pergi, meninggalkan Veronica yang hanya bisa memandang punggungnya dengan tatapan tak terima.

Javas tertawa pelan, "look, dia sudah tidak menginginkan tubuhmu lagi lagi Vero, well, aku setengah jam lagi free, bagaimana?"

Veronica kembali duduk lalu menegak koktail yang sudah dibuat Javas. "Oke, aku sedang butuh sent*uhan."

"CK! Kamu benar-benar perempuan m*rahan!"

Veronica terkekeh pelan, "tapi kamu puas kan?"

•••

Ben keluar dari bar dengan langkah cepat, merasa muak dengan dirinya sendiri. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tapi itu tidak cukup untuk mendinginkan gejolak yang berkecamuk di dadanya. Louisa, Veronica dan segala kenangan masa lalu yang seharusnya sudah ia tinggalkan, kini kembali mengusiknya seperti hantu yang enggan pergi.

Ia berjalan menuju motornya, meraih helm lalu memasangnya dengan kasar. "Sial," gumamnya, sebelum menyalakan mesin dan melajukan motor besar itu menerobos jalanan malam yang sepi.

Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar pada satu nama—Hayaning. Nama yang kesalnya mulai menguasai pikirannya. Tidak seperti perempuan lain yang hanya datang dan pergi untuk sekadar bersenang-senang, Haya berbeda. Ia begitu lembut, tapi juga keras kepala. P0los, tapi juga menyebalkan.

Ia mengusap wajahnya dengan kesal, menyadari bagaimana perempuan itu diam-diam merasuk ke dalam pikirannya tanpa bisa ia cegah. Tidak, ia perjelas ia tak menyukainya, apapun itu tentang segala rasa picisan, Ben tidak menyukainya.

Hanya saja, sejak malam itu—malam ketika ia mengambil sesuatu yang paling berharga dari Haya, Ben seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Tidak ada lagi perempuan lain yang bisa membuatnya menarik kelelakiannya atau bahkan sekadar tertarik. Setiap kali ia mencoba mendekati perempuan lain, bayangan Haya selalu muncul di kepalanya, menghantuinya seperti kutukan yang tidak bisa ia lawan.

"Apa kamu gila Ben?" tanyanya pada diri sendiri, suaranya tenggelam oleh deru mesin motornya.

Ia tak pernah menginginkan keterikatan seperti ini. Hidupnya terlalu bebas untuk diisi dengan perasaan yang rumit. Namun sialnya, sejak malam itu, ia tak bisa menyangkal bahwa Hayaning seperti mengikat dirinya.

Apa...apakah bisa disebut sebagai kekutan manipulasi seorang gadis? Ah pikirannya terlalu bar-bar. Namun benar memang, pengalaman dengan Hayaning itu adalah kali pertamanya merasakan perempuan yang masih tersegel.

Ben akhirnya sampai dan menghentikan motornya di depan paviliun. Ia duduk diam di atas motor yang masih menyala, matanya memandangi langit gelap.

"Huft..." Dengan napas berat, akhirnya ia mematikan mesin motornya dan masuk ke dalam, melempar helm ke sofa lalu menjatuhkan diri ke atas ranjang.

TOK...TOK...TOK...

"Benji..."

"Sial! Pikiranku semakin dungu!" umpat Ben kesal saat suara Hayaning terdengar seolah memanggilnya dari balik pintu. Ia menggeleng pelan, menyalahkan efek alkohol yang masih mengalir di kepalanya.

"Benji..."

Sebentar... suaranya terdengar nyata.

"Ben..."

"Tunggu, ini beneran?" Ben segera bangkit dari rebahannya. Ia mengintip melalui jendela, dan benar saja—Hayaning berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang tampak tidak baik-baik saja.

Tanpa pikir panjang, Ben langsung membuka pintu dan menarik tangan Hayaning dengan cukup kuat ke dalam, menutup pintu dengan cepat setelahnya.

"Apa yang Nona lakukan malam-malam di depan paviliun para pengawal?" tanyanya dengan suara berat dan tercekat.

"Benji..." Hayaning menatapnya dengan mata berkaca-kaca, sebelum akhirnya ia merengkuh Ben erat-erat dan menangis tersedu dalam pelukannya.

1
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!