Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Lepaskan aku! tidak sopan membaca barang pribadi orang!" Alina ingin melepas pelukan, tapi Brayn mendekap semakin erat.
"Kenapa harus disembunyikan? Kenapa kamu harus berpura-pura kuat dan menanggung semuanya sendirian? Kenapa tidak berbagi padaku? Apa kamu pikir aku akan senang kalau kamu merahasiakan sesuatu?" Brayn berbisik lirih di tengah isak tangis.
Sebisa mungkin Alina menahan air mata. Tetapi gagal. Semakin ditahan cairan bening itu mengalir lebih deras dan membuatnya sesak. Ia takluk dalam pelukan suaminya.
Terlebih, seumur hidup ini adalah pertama kali Alina melihat seorang Brayn Hadiwijaya menangisi seseorang.
Selama ini lelaki itu terlihat kuat dan tenang. Bahkan ia tidak menunjukkan air mata saat adik kesayangannya, Zahra, menghilang di tengah derasnya aliran sungai.
"Aku suamimu, seharusnya menjadi tempatmu bersandar, seharusnya menjadi orang pertama yang melindungimu, seharusnya menjadi orang pertama yang tahu apapun tentangmu. Pada saat namamu kusebut di ijabku, telah ada perjanjianku dengan Rabb-ku untuk menjagamu. Aku adalah orang pertama yang akan dimintai pertanggungjawaban atas dirimu nanti."
Brayn melepas pelukan sejenak. Membelai wajah istrinya dan menghapus air mata yang bercucuran. Mengecup kening, memeluk sekali lagi.
"Kamu sakit, aku akan selalu menemanimu. Setidaknya biarkan aku berusaha untukmu. Kita akan berjuang bersama, melakukan pengobatan terbaik, bukan dengan menyembunyikan semuanya."
"Tapi, bagaimana kalau nanti takdir berkata lain? Bagaimana kalau aku tidak bisa bertahan? Aku hanya akan melukai semua orang, melukaimu."
"Apa kamu pikir dengan menyembunyikan ini kami tidak lebih sedih? Ibumu akan menangis sepanjang waktu, Ayahmu akan menyesal karena merasa gagal menjaga anaknya, dan suamimu akan merasa bersalah seumur hidupnya. Apa seperti itu?"
"Aku pikir setidaknya dengan begini tidak perlu ada yang terbebani olehku. Setiap hari aku merasa sedang berjalan ke arah detik terahir dalam hidupku. Aku takut sekali. Sangat takut."
Brayn mengusap air mata yang berguguran di pipi sang istri, merangkum wajahnya dan menatap matanya.
"Sayang, dengar aku. Kematian adalah sesuatu yang pasti. Aku, kamu, Ibu, Ayah, semua akan menghadapinya. Tapi, sebelum itu manusia perlu berusaha."
"Bagaimana? Kemungkinanku untuk bertahan sangat kecil, bukan? Jangan membuatku berharap akan punya waktu lebih panjang."
"Kalau begitu biarkan aku menemanimu di saat yang berat. Kita akan berjuang bersama."
Air mata Alina semakin terburai. Isak tangis kembali memenuhi kamar. Ia membenamkan diri ke pelukan suaminya.
Brayn membelai rambut, mengusap punggung dan menenangkan wanita itu.
Tubuh lemah Alina membuatnya kembali membaringkan sang istri dan memeluknya.
Alina terbaring di pelukan suaminya dengan menjadikan lengannya sebagai pengganti bantal.
Suasana perlahan tenang. Isak tangis terhenti.
"Aku mau minta satu hal," bisik Alina. "Boleh?"
Brayn tersenyum, menyatukan tangan mereka hingga jemari saling bertaut.
"Apapun untuk istriku yang istimewa ini."
"Soal ini jangan beritahu Ibu dan Ayah dulu. Aku belum siap. Aku tidak mau lihat mereka sedih."
Brayn menarik napas. "Keluarga kita harus tahu. Mereka akan lebih sedih kalau tahu belakangan. Kita akan cari dokter terbaik untuk kamu. Setidaknya usaha dulu."
Alina mendongak sejenak menatap paras sempurna yang sedang memeluknya. Menyesap aroma tubuh yang selalu mampu mendamaikan hati.
Sampai detik ini Alina belum paham apa yang membuat lelaki sesempurna ini memilih dirinya sebagai teman hidup.
"Boleh aku tanya sesuatu?"
"Boleh," balas Brayn tanpa melepas pelukan.
"Kenapa memilih aku? Padahal di sekelilingmu banyak perempuan baik dan sempurna dalam segala hal. Banyak di luar sana yang sesuai dengan harapanmu."
"Karena jatuh cintanya sama kamu."
"Semudah itu?"
"Jatuh cinta itu tidak mudah, Alina. Yang mudah itu nafsu. Makanya banyak yang mudah menyukai lawan jenis karena keindahannya."
Brayn membelai wajah wanita itu. Menatap wajahnya lekat-lekat.
Kalau boleh jujur, ia sangat menyukai wajah Alina yang polos tanpa sentuhan riasan. Terlihat cantik dan lebih alami.
Brayn mengikis jarak. Udara seperti terhenti di sekitar mereka.
Mata Alina terpejam merasakan hangat dan lembutnya bibir lelaki itu. Wajah yang semula pucat perlahan menampakkan rona merahnya.
Alina tidak tahu ada apa dengan dirinya. Padahal, ia ingin menjauh, tetapi lelaki itu semakin menarik dirinya.
Anehnya, ia pasrah bak anak kelinci yang diterkam elang.
Tangan lelaki itu bahkan telah menyusup di balik pakaian. Mengusapkan jemarinya pada kulit halus nan lembut. Namun, Brayn berhenti sebelum menjelajah semakin jauh.
Sadar bahwa kondisi fisik istrinya belum memungkinkan untuk menjalankan peran sebagai istri yang seutuhnya.
"Ayo tidur. Kamu tidak boleh lelah. Besok, kita konsul ke dokter. Katanya kamu sudah melewatkan beberapa pemeriksaan lanjutan."
"Tidak mau. Aku takut."
"Aku temani, Sayang."
**
**
Suasana pagi itu terasa berbeda. Brayn bangun lebih awal dari biasanya.
Saat terbangun, yang pertama kali ia lakukan adalah memeriksa tubuh istrinya yang masih terlelap.
Ia mencatat beberapa gejala yang dilihatnya beberapa hari ini, termasuk saat menemukan Alina pingsan.
Semalam saat tidur, Alina juga terbangun karena mual. Baru bisa tidur kembali setelah Brayn melakukan pijatan pada kaki dan tangan.
Pagi ini ia berencana membawa Alina ke rumah sakit untuk berkonsultasi.
Jika memungkinkan ia ingin membawa Alina berobat keluar negeri untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik.
Apapun agar Alina membaik.
Brayn berdiri di ambang pintu dengan membawa segelas susu. Ia menatap istrinya yang sedang duduk di meja rias.
Memoles wajahnya dengan makeup untuk menyamarkan wajah yang pucat, seperti yang ia lakukan selama ini.
Brayn baru paham mengapa selama ini Alina begitu gemar memoles wajahnya, ternyata hanya untuk menutupi wajahnya yang pucat.
"Kurang cantik," ucap Brayn berdiri di belakang istrinya. "Mau cantiknya bertambah tidak?"
"Caranya?"
"Pakai hijab, ya."
Alina menatap wajah suaminya.
Brayn mengulas senyum. Ia beranjak menuju lemari dan mengeluarkan sebuah kotak kecil.
Lalu, mendekati sang istri dan duduk tepat di sebelahnya, memakaikan hijab yang menutupi rambutnya.
"Lihat kan, sekarang cantiknya sempurna."
"Kenapa harus pakai hijab?"
"Karena dengan memakai hijab, berarti kamu ikut melindungi para lelaki dari tatapan buas yang membuat mereka berdosa tanpa sadar."
"Hijab bagi wanita adalah pakaiannya, sedangkan hijabnya kaum laki-laki adalah menjaga pandangan dari perhiasan dunia yang menyesatkan. Sayangnya, karena terlalu indah, laki-laki kadang lupa menggunakan hijabnya dan menatap tanpa sadar sampai memunculkan syahwat."
**********
**********
up lagi thor