Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 12.
Setelah kejadian air mata pada hari itu, kemudian terbitlah perubahan yang cukup nyata dalam kehidupan Elio. Biasanya ia akan selalu menolak dari setiap apa yang dilakukan Fio untuk dirinya, namun kini berubah menjadi selalu mencari-cari dan membutuhkannya.
Disaat Fio belum datang, dirinya selalu saja mencari berbagai hal yang dapat membuat wanita itu sibuk dan segera datang. Bahkan, ponsel milik Fio harus ia silent untuk menghindari telpon yang berasal dari tuannya.
"Selamat pagi, tuan. Mau sarapan dulu atau mandi?" Fio yang baru saja memasuki kamar dengan membawa sarapan.
"Aku masih mengantuk." Alasan yang cukup mendukung, Elio pun masih berada di atas kasurnya.
"Tidak baik kalau masih tidur di waktu saat ini, tuan. Apa anda tidak mau bersaing dengan burung di luar sana? Mereka sudah terbang kesana kemari, mencari makanan di pagi hari." Fio yang sudah mulai terbiasa dengan sikap Elio, melanjutkan untuk berbenah kamar itu.
Tirai penutup jendela besar sudah terbuka, menampilkan pantulan sinar matahari yang menyinari bumi. Suara kicauan burung-burung terdengar, membuat semakin indahnya hari itu.
Ketika Fio telah selesai dengan semuanya, namun tidak ada pergerakan apapun dari pria yang masih betah terbaring di atas tempat tidurnya.
"Aaaa! Apa-apaan kamu, hah? Kenapa menarik ku?" Tubuh Elio berpindah tempat, karena Fio menarik kakinya dan berhasil membuat pria itu untuk bangun.
"Sarapan anda sudah dingin, tuan. Mubazir kalau tidak segera dimakan, ayo. Saya bantu, malu sama burung di luar."
"Apa maksudmu?" Kening Elio berkerut atas ucapan Fio.
"Maksud saya, itu. Burung di luar sana sudah pada bekerja mencari makanan, terbang kesana kemari. Lah tuan, masih betah tidur." Fio menarik Elio dan membantunya untuk duduk di kursi rodanya.
"Aku manusia, bukan burung." Bantah Elio yang tidak terima disamakan dengan burung.
"Bawel." Fio mendorong kursi roda itu menuju balkon.
"Kau!" Geram Elio.
Menulikan telinganya, Fio terus berjalan membawa pria yang begitu cerewet sekali itu menuju balkon. Saat disana, sarapan pun dihidangkan dan dengan penuh paksaan. Fio membujuk Elio untuk memakan sarapannya dan meminum obat, cukup memakan waktu yang lama untuk menghabiskan sarapan yang ada.
Dilanjutkan dengan terapi pijatan kecil dari Fio, membuat Elio menarik sudut bibirnya
"Tuan, kata nyonya. Ada terapi dari rumah sakit untuk kaki anda, ada kemungkinan jika saraf-saraf kakinya masih bisa berfungsi." Ucap Fio dengan tangan yang terus memberikan pijatan pada kedua kaki itu.
"Sok tahu." Dengan malas, Elio mengabaikan ucapan Fio.
"Tidak ada salahnya untuk di coba, tuan. Segala kemungkinan itu pasti ada, mau ya." Bujuk Fio dengan harapan berhasil.
"Untuk apa?" Datar, namun kalimat itu penuh dengan arti.
"Kalau belum dicoba, belum tahu akan hasilnya. Nanti akan saya temani, tuan." Fio terus membujuk agar Elio mau.
Tiba-tiba saja, tangan Fio ditepis dengan cukup kuat. Lalu Elio menjauhkan dirinya, helaan nafas berat itu Fio keluarkan. Dirinya tidak mungkin untuk berbicara dengan tuannya dalam keadaan seperti ini, Fio mengerti akan apa yang dirasakan oleh tuannya.
Dimana, hal yang hampir serupa ia rasakan bersama sang adik. Namun, keinginan dan harapan mereka untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik untuk Arsen. Dan itu terhalang oleh perekonomian yang belum memadai, namun berbalik untuk Elio. Pria itu mempunyai segalanya, akan tetapi ada sisi lain yang tidak dapat dipahami oleh orang lain .
Fio hanya bisa menjalankan tugasnya saat ini, memberikan waktu untuk Elio meredam semua rasa amarah dalam dirinya. Hingga waktu makam siang tiba, di kembali menghampiri tuannya. Berharap, semuanya telah reda.
Secara perlahan, Fio memastikan kondisi Elio yang masih berada di dalam kamarnya. Saat pintu kamar itu terbuka, betapa kagetnya Fio melihat keadaan kamar yang begitu berantakan.
"Tuan, tuan Elio?" Fio mencari keberadaan dari tuannya.
Dengan sangat hati-hati melangkah melewati semua yang ada, pecahan dari benda berbahan kaca berserakan. Membuat Fio harus menyingkirkannya agar tidak melukainya, sungguh tidak disangka. Elio berteriak seakan-akan sedang mengeluarkan semua apa yang ia rasakan, dan yang menjadi tatapan utama adalah sebuah ponsel ditangannya.
Brakh!!
Ponsel itu melayang di udara dan terbentur pada dinding dengan cukup keras, hancur. Itulah yang bisa menggambarkan ponsel tersebut, sungguh sangat disayangkan. Dari kejauhan, Fio meringis melihat kondisi ponsel tersebut, dimana harga benda itu bisa setara dengan biaya untuk dirinya kuliah sampai selesai. Namun kini, benda itu hancur tak berbentuk.
"Tuan, anda." Belum saja kaki itu melangkah.
"Keluar! Aku tidak butuh kalian, jangan pedulikan aku. Keluar!" Teriak Elio dengan kondisi tubuh yang berada di lantai.
Sangat miris untuk dilihat, namun Fio teringat akan cerita perjalan kehidupan pria itu melalui ibu dan orang-orang terdekatnya. Kasihan? Tentu rasa itu ada, akan tetapi bagi Fio. Ia menempatkan dirinya jika berada diposisi tersebut, betapa hancur dirinya.
Kembali menulikan telinga dan membuang semua pikiran buruk yang ada, Fio tetap melangkahkan kakinya mendekati pria itu. Entah kekuatan darimana, yang membuat Fio berubah menjadi wanita berkarakter tegas.
"Mau keluar atau tidak, saya tetap melaksanakan tugas saya tuan. Ayo berdiri, jangan sampai anda terluka." Fio mencoba membantu walaupun selalu ditolak dengan kekerasan fisik.
"Apa pedulimu pada orang cacat ini? Jika uang alasannya, akan aku berikan dengan jumlah yang kamu mau. Setelah, pergilah." Tegas namun ada kesedihan dari ucapan tersebut.
"Uang, tentu tuan. Tapi itu saya dapatkan dari bekerja, jika mendapatkan dengan cuma-cuma. Hidup saya sangat hina, tuan." Dengan usaha kerasnya, akhirnya Fio dapat memindahkan Elio ke atas kursi rodanya.
"Jika anda berpikiran kondisi kaki anda seperti ini, yang sudah membuat hidup anda hancur. Bagaimana dengan orang lain yang masih berjuang diantar hidup dan mati di luar sana? Bahkan, untuk bernafas pun mereka terasa begitu sulit dan bergantung dengan alat-alat rumah sakit." Kursi roda itu berjalan menuju balkon, dan Fio menempatkan Elio disana.
Masih dalam emosi yang belum stabil, Elio nampak geram pada Fio yang berani menentang nya.
"Tuan, masih kepikiran dengan wanita yang tuan cintai itu? Jika memang benar, maka berusahalah untuk sebuah dan buktikan pada semuanya jika anda bisa. Bungkam semuanya itu dengan bukti, bukan hanya sekadar kalimat-kalimat yang tidak akan ada habisnya untuk diperdebatkan." Memastikan keadaan Elio dan tidak ada luka, Fio memberikan pria itu segelas air untuk menenangkan.
Dalam kondisi seperti itu pun, pria itu masih bisa menghabiskan air dalam gelas di tangannya.
"Tenangkan diri tuan, saya mau membereskan semua yang di dalam." Beranjak dari tempatnya, namun sebuah tangan menahannya untuk tidak pergi.
"Darimana kamu tahu semuanya tentangku?" Dengan wajah menatap ke arah lain, Elio merasa jika Fio tahu mengenai dirinya.
"Bisa lepaskan tangan tuan? Orang lain akan berpendapat yang tidak-tidak jika melihatnya, saya tahu itu dari wanita yang sudah melahirkan tuan dengan membesarkan tuan dengan penuh kasih sayang." Jelas Fio.
"Dan kamu merasa kasihan?" Tangan itu semakin kuat mencengkram lengan Fio.
"Percuma bicara dalam keadaan emosi, tuan bisa berpikir dengan baik mengenai semuanya. Gunakan semuanya yang tuan miliki untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginan tuan itu, tapi jangan membuat orang-orang yang mencintai tuan dengan tulus merasa sedih dan kecewa atas semua sikap tuan itu."